Pendahuluan
Pada masa pemilihan pemimpin negara, masyarakat memang terlarut dalam euforia pesta rakyat. Saling menjatuhkan dan mengolok-olok, dengan strategi ad hominem yang begitu mengemuka. Politik identitas menjadi senjata, agama dan ayat-ayat berserakan untuk mencapai puncak kekuasaan, polarisasi tercipta serupa perang saudara. Untung saja, masyarakat sipil kita tidak boleh sembarangan memegang senjata, kalau tidak mungkin pesta rakyat akan berubah menjadi tumbal darah, seperti yang kerap terjadi dalam sejarah.
Apa yang kemudian terjadi pasca perseteruan dua kubu yang sudah tidak sehat lagi? Pemenang kontestasi kemudian menempatkan lawannya dalam kubu pemerintahan, meninggalkan para pendukung dalam kemasygulan. Ada yang merasa tertipu, merasa bahwa dukungannya terkhianati, dan tak sedikit yang menyimpan syak wasangka. Rakyat seolah tak dapat pulih dari keadaan saling benci, karena apa pun yang kemudian pernyataan kritik dalam berbagai bentuk, terbentur tuduhan sebagai pihak yang tak menerima kekalahan.
Pemerintahan Melenggang Tanpa Oposisi
Pemerintahan yang sudah saling merangkul ini jadi membingungkan. Alih-alih mewujudkan kerja kolaboratif dan kooperatif, malah terkesan balas budi politik. Entah ada janji-janji apa yang tercetus untuk mencapai kemenangan, sehingga yang duduk di pemerintahan tak banyak yang berkompetensi. Walhasil, pencapaian visi misi berbasis kepentingan rakyat menjadi tersendat dan malah cenderung terabaikan. Masalah ini menjadi lebih nyata dalam masa pagebluk, di mana setiap pihak seolah memiliki kepentingan tersendiri, yang berlanjut hingga mendekati masa pemilihan umum berikutnya.
Sejak periode kedua ini memang tersinyalir keinginan untuk meninggalkan nama besar dalam sejarah. Namun, selain kinerja dalam pembangunan infrastruktur yang masif, yang juga merupakan prestasi salah satu menteri, penorehan sejarah tersebut condong pada hal superfisial, seperti tindakan bermegah-megahan meskipun program kerakyatan belum dapat 100% menyelesaikan masalah kemiskinan dan kebodohan. Hal serupa sebenarnya terjadi di masa pemerintahan Presiden Soekarno, saat krisis pangan mencengkram kehidupan masyarakat, namun beliau memilih untuk membangun infrastruktur besar-besaran demi gengsi Indonesia sebagai penyelenggara Asian Games IV tahun 1962.
Terlepas dari nama Indonesia yang harum di mata dunia saat itu, permasalahan-permasalahan nyata di Indonesia masih membelit. Satu per satu mengemuka, mulai dari permasalahan di tubuh penegak hukum hingga ke pengatur keuangan negara yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan masif di tengah masyarakat. Suara-suara bersahutan, namun tidak menjadi satu sebagai sebuah oposisi yang layak didengar. Hanya timbul tenggelam, ditingkahi dengan bombardir pembelaan para pencinta mati. Pun memang ada gerakan-gerakan dari kelompok-kelompok tertentu, karena arahnya dan penggeraknya tak jelas, maka gerakan tersebut akan mudah hilang dan tertuduh sebagai kelompok bayaran.
Permasalahan Nyata di Indonesia
Ada permasalahan utama yang seharusnya menjadi sorotan semua anggota masyarakat secara rasional, yaitu ketika regulasi dan kebijakan ditengarai dapat menjadi pintu masuk kapitalisasi dan globalisasi yang berefek negatif bagi kehidupan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas masyarakat Indonesia belum dapat bersaing dalam dunia perdagangan bebas, di mana persaingan kerja bukan lagi hanya terbatas di antara anak bangsa, namun juga dengan para pekerja asing. Hal ini sendiri sebenarnya terjadi karena kesepakatan perjanjian AFTA dan AC-FTA yang terjadi sejak tahun 1992.
Pemerintah sendiri memang berupaya membatasi gelombang pekerja asing dengan regulasi yang hanya memperbolehkan 20% warga asing kerah putih untuk bekerja dalam suatu perusahaan multi nasional. 80% dari komposisi pekerja perusahaan harus melibatkan warga negara Indonesia. Para pekerja asing kerah biru bisa bekerja untuk pembangunan infrastruktur pertambangan dalam waktu yang sangat terbatas. Namun kemudian, pemerintah membuat omnibus law dalam wujud RUU Kesehatan. Tenaga kesehatan asing menjadi lebih mudah untuk bekerja di Indonesia dan juga melanggengkan praktik kapitalisasi pelayanan kesehatan. Regulasi mengherankan dari pemerintah ini lantas mendapatkan perlawanan khususnya dari para tenaga kesehatan di Indonesia.
Dalam regulasi RUU Kesehatan ini, yang tampak bukan lagi keberpihakan pada masyarakat. Keberpihakan sudah condong pada para kapitalis yang merambah di dunia kesehatan. Hal ini kemungkinan besar juga mengarah pada dunia pendidikan; dua hal mendasar yang menguatkan eksistensi sebuah bangsa.
Lagi-lagi, kekhawatiran ini seolah terabaikan dengan pengesahan RUU Kesehatan tersebut menjadi Undang-undang. Pihak pemerintah sebagai eksekutor dan pembuat regulasi bergerak bebas. Hal ini terjadi karena fungsi pengawasan dari lembaga legislatif pun menjadi tumpul karena pemegang suara mayoritas adalah pendukung pemerintahan. Lantas, pada siapa rakyat akan berharap saat semua sudah saling tahu sama tahu dalam kekacauan? Siapa yang akan benar-benar menyuarakan kekhawatiran sebelum terwujud jadi kenyataan? Tidakkah mereka akan berasyik masyuk dalam kekuasaan dan gelimang harta, selama semuanya sepakat berkata iya, persetan amanat rakyat?
Penutup
Negara yang sehat jelas butuh oposisi, bukan untuk saling menjegal dan mencari-cari kesalahan seperti yang tercetus dengan arogan karena enggan menerima masukan. Oposisi adalah mereka yang akan terus memantau ketat setiap pergerakan, kebijakan, alur keuangan. Mereka harus menjadi orang yang independen dan tak mudah kongkalikong. Mereka harus ada untuk benar-benar memastikan bahwa amanat rakyat tersampaikan dan terwujudkan. Oposisi seharusnya adalah kita semua, yang mengawal amanat untuk kita dan anak cucu bangsa ini.
Menyukai ini:
Suka Memuat...