Gerakan Keagamaan Kontemporer—New Religious Movement—adalah salah satu studi untuk menganalisa segala macam perpecahan-perpecahan agama—sebagai sebuah nilai—yang tentu banyak sekali penafsiran dialektis-filosofis. Bahkan, sebenarnya dengan alasan ini pula semestinya agama mainstream—Agama-agama besar—harus mampu mengimbanginya dengan multi-selektif—meminjam bahasa Musthafa Bisri (Gus Mus), apakah dengan beragam perpecahan-perpecahan inilah kemudian agama mainstream kian memperbaiki nilai-nilai yang diajarkan.
Persoalan di atas hanya cuplikan sementara untuk memulai representasi Gerakan Keagamaan Baru—atau Ahmad Muttaqin lebih memilih Gerakan Keagamaan Kontemporer dalam konteks ini, yang selanjutnya akan dijelaskan mengenai Gerakan Keagamaan Baru sebagai sebuah pengantar Mata Kuliah Gerakan Keagamaan Baru.
Kita akan kembali pada tahun 1980 di mana istilah New Religous Movement masuk dalam nomenklatur—tata nama—kajian studi agama. Maka tak mengherankan, jika istilah New Religious Movement merujuk kepada kelompok-kelompok keagamaan yang muncul sejak Perang Dunia II, yang juga pada saat itu merupakan representasi kelompok marginal yang tidak puas terhadap sistem keberagaman kelompok mainstream. Di satu sisi, menawarkan alternatif jawaban atas pertanyaan fundamental agama mainstream, dan di sisi yang lain merupakan political correctness dari sekte atau aliran baru dalam agama. (Hal. 635).
Political Correctness muncul sebagai bentuk terhadap kajian sekte atau kultus dalam agama—sect and cult studies—yang seringkali memposisikan sekte sebagai kelompok sesat akibat pendekatan teologis. Maka dengan persoalan di atas, New Religious Movement hadir dengan paradigma baru—the new paradigm—menggunakan pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, yang mencoba memahami pertumbuhan dan perkembangan beragam aliran dan gerakan keagamaan secara komperehensif—menurut Ahmad Muttaqin menyebutnya—tidak hanya dari perspektif luar—outsider etic—namun juga menggunakan inti terdalam—from within, insider/emic. (Hal. 634).
Oleh karena itu, New Religious Movement ada yang tumbuh berkembang dalam semua institusi besar agama (Mainstream), sebagai bentuk revitalisasi dari agama lokal, sebagai bentuk perkembangan dari tradisi non-agama seperti budaya adalah merupakan salah satu tujuan dengan memperoleh sentuhan nilai-nilai keagamaan dan spiritualitas.
Selain daripada itu, Gerakan Keagamaan Baru/Kotemporer merujuk pada gerakan keagamaan dengan berbagai spesifikasinya (Politik, Ekonomi, Psikologi, Spiritual, dan campuran dari berbagai aspek sosial keagamaan). Oleh karena itu, dalam penjelasan selanjutnya dijelaskan setidaknya ada 5 (lima) istilah terkait Gerakan Keagamaan Baru (Direct/Indirectly NRM) seperti New Religious Movement (NRM), New Age Movement (NAM), New Spiritual Movenment (NSM), New Age Spiritual Movement (NASM), dam Human Potential Movement (HPM).
Perkembangan New Religious Movement
Bersamaan dengan itu, New Religious Movement yang menggunakan beragam pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora tentu tak sedikit menyampingkan faktor-faktor perkembangan Gerakan Keagamaan Baru di atas. Ketidakpuasan terhadap kinerja agama-agama yang bermula dari beragam kekecewaan terhadap pemikiran dan tindakan para pemimpin agama yang dinilai tidak mencerminkan spirit dari agama sebenarnya. Dari kekecewaan itulah yang mendorong individu atau bahkan kelompok memisahkan diri dari kelompok besarnya (membuat grup sendiri). Kekeringan dunia Modern pada konteks barat terutama yang memiliki orientasi gerakan spiritual sebagai respon terhadap tradisi barat yang dinilai kering Filsafat, Sains, maupun Tekhnologi. Dan Ketidakstabilan ekonomi, politik, dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Ketiga hal di atas adalah salah satu faktor yang seringkali menjadi penyebab Gerakan Keagamaan Baru terus berkembang sampai saat ini.
Jika didasarkan kepada pengikutnya, mereka banyak didominasi oleh dari generasi pertama—biasanya pengikut generasi pertama ini menjadi pengikut setia baik sebagai anggota maupun pengurus. Bahkan sebagian besar anggota Gerakan Keagamaan Baru ini berusia muda, dan secara ekonomi berasal dari kelas menengah dengan latar belakang pendidikan di atas rata-rata. Dijelaskan pula, di usia inilah seseorang mengalami dinamika internal dalam rangka mencari jati diri, dan masih mencari jawaban terhadap dan orientasi hidup. Anak muda yang memiliki “Kelebihan energi” semacam ini berorientasi pada pemenuhan hidup—Meaning of life (Hal. 637).
Di sisi lainnya, gerakan keagamaan baru menawarkan kepercayaan yang sesuai dengan expektasi dan orientasi yang khas dan spesifik dibanding kelompok mainstream. Hingga kemudian gerakan keagamaan baru banyak didirikan oleh pemimpin kharismatik yang ide dan pemikiran yang pada mula-mulanya biasa menjadi tampak luar biasa dan menarik perhatian banyak orang. Meski demikian, kelompok baru ini menjaga jarak dengan masyarakat umum. Dalam arti, ada batas yang jelas antara anggota dan non-anggota. Secara sosiologis, penciptaan identitas kelompok dan sikap tertutup adalah bagian dari strategi untuk menjaga keutuhan kelompok.
Dari segi ide, sebenarnya gerakan keagamaan baru ini tidaklah benar-benar baru. Sebagian besar adalah merupakan manifestasi dari kepercayaan lama, atau reinterpretasi dari ajaran-ajaran agama yang telah ada pada masa lalu (Hal. 638). Oleh karenanya, ia bahkan menentang atau sikap quo dari maisntream agama, atau bahkan mereka menawarkan hal baru yang berbeda dari ajaran mainstream yang mereka nilai usang, tidak responsive terhadap kebutuhan zaman (Hal. 639).
Secara sosial politik, gerakan keagamaan baru ini menjadi korban diskriminasi dari masyarakat dominan. Identitas yang berbeda serta sikap yang bertentangan dengan kelompok mainstream menjadikan gerakan ini rawan terhadap ketidakadilan—dianggap sebagai ancaman besar. Di samping itu, dalam konteks sosiologis mayoritas gerakan ini berkembang di perkotaan berkontestasi dengan, atau bahkan berusaha melawan sistem.
Respon Mainstream terhadap New Religious Movement
Karena ketidakpuasan di atas mendorong mereka untuk memisahkan diri dari aliran besar. Namun karena pemimpin kelompok mainstream di atas acuh tak acuh dan tidak responsive terhadap beragam tuntutan kelompok kecil, lambat laun ketidakpuasan akan berujung pada kritik dan saling menyalahkan. Oleh karenanya, kelompok mainstream tidak akan tinggal diam sebagai bagian dari membela diri. Kelompok kecil ini disebut sebagai ancaman eksistensi kelompok-kelompok mainstream.
Banyak cara yang mereka lakukan, seperti mengeluarkan “fatwa” sesat terhadap aliran tersebut, mengajak pimpinan dan anggota aliran baru tersebut untuk insyaf—kembali pada ajaran yang dianggap paling benar, mengintimidasi, melarang persebaran dan perkembanganya, mempidanakan atau bahkan tidak jarang melakukan kekerasan pada pengikut, pemimpin dan markas gerakan keagamaan tertentu.
Penulis berpikir, bahwa sebenarnya ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan oleh beberapa pemangku agama mainstream tentang bagaimana menyikapi kelompok-kelompok keagamaan baru bagi mereka. Pertama, para pemangku agama mainstream harus melihatnya dengan pandangan dialektik-filosofis tentang bagaimana kelompok kecil memaknai ajaran yang selama ini mereka anggap kurang proporsional—atau bahkan kurang mencerminkan spirit dari agama sebenarnya. Dengan tujuan, menganalisa apakah mereka memisahkan diri dengan membuat kelompok kecil untuk memperbaiki nilai agama yang mereka anggap masih belum proposal dan ideal. Tentu dengan pembagian yang jelas.
Pembagian yang jelas ini harus dilihat objektif karena selama ini kita pahami bahwa ilmu-ilmu agama merupakan gejala-gejala keagamaan sebagai bentuk ekspresi keimanan dan pemahaman mereka atas teks suci yang dilakukan dengan pengamatan yang kompleks. Oleh sebab itu, jika mereka membangun kelompok kecil demi keutuhan yang sesuai dengan expektasi dan orientasi yang jelas demi “saling-melengkapi” antara kelompok kecil dengan kelompok mainstream penulis pikir sah-sah saja dan hal demikian harus disikapi dengan positif.
Kedua, ada bentuk ajaran-ajaran mainstream—agama—yang harus diikuti dengan keyakinan iman bagi mereka, dan itu menjadi kewajiban mutlak yang harus diikuti oleh umat beragama manapun. Hal demikian tidak boleh dikreasikan oleh berbagai macam tindakan ataupun sikap yang bisa mengubah keaslian ajaran. Karena selama ini yang menjadi konflik adalah mereka—kelompok kecil—membuat ajaran-ajaran baru yang menyimpang. Tidak sesuai dengan keaslian ajaran yang harus diikuti seperti kita mengubah cara ibadah sholat, misalnya, contoh sederhana yang kemudian menimbulkan sikap negatif.
Jika semisal yang kedua terjadi itupun harus disikapi dengan cara memanusiakan manusia—meminjam bahasa Musthafa Bisri—seperti mengajak mereka berdialog bersama, memberikan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya ia lakukan sebagai umat yang menghargai dan mengikuti semua ajaran atas teks-teks suci yang harus mereka lakukan. Sikap dialektis seperti ini bisa kita kategorikan dengan pendekatan dialektis-teologis untuk memberikan kesadaran bersikap yang baik sebagai umat beragama.
*Mahasiswa Studi Agama-Agama, saat ini tercatat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Insan Pilihan Tanda-tanda kerasulan Terlahir tanpa sandaran Cinta yang dipisahkan Hadirmu cahaya penuh keyakinan Diuji dan ditempa penuh cabaran Ikhlas