Sepuluh tahun sebagai Pekerja Seks Komersial baru kali ini Panama kesulitan mencari uang. Senjata Excalibur-nya karat tak difungsikan selama hampir 5 bulan.
***
Sejak virus korona ditemukan di Jakarta, Panama mencoba sekreatif mungkin beralih ke layanan seks online. Hanya berhasil beberapa pekan, lama-lama sepi kemudian nol. Tak ada cara lain untuk menggantikan hubungan fisik. Ketika berembus wacana pemerintah provinsi DKI Jakarta akan kembali membuka restoran dan kafe pada awal bulan Juni, ia sungguh berharap tempat-tempat hiburan malam tempatnya berkencan turut dibuka. Namun kenyataannya tidak. Lama tak menemani tamu, tabungannya habis terkuras.
Televisi yang selalu dibiarkan nyala seharian oleh pak Maman, penjaga rumah kontrakan menyiarkan sebuah berita dari mancanegara. Pemerintah Australia memberikan bantuan keuangan bagi warga yang kehilangan pekerjaan karena krisis Covid-19. Tetapi, untuk memenuhi syarat penerima bantuan mereka harus dapat menunjukkan bukti pembayaran pajak. Para pekerja seks dan pekerja migran yang tidak terdaftar, bukan termasuk penerima bantuan. “Ohh sungguh malang nasib PSK di seluruh dunia akibat pandemi ini,” batin Panama.
Ia mengalihkan pandangan ke layar ponselnya. Melihat status WhatsApp para pelanggannya. Banyak yang menulis status baru “Work from home”, “Stay at home”, “Home Sweet Home”, ada juga yang menulis “Quality time with family”.
Panama tersenyum skeptis. “Untung aku tak dilahirkan sebagai laki-laki yang selalu mau menangnya sendiri”.
Dulu di kandungan ibunya, Panama sempat disangka laki-laki. Saking senangnya sampai-sampai ayahnya yang seorang pencinta tinju akan memberinya nama “Roberto Duran”, diambil dari nama petinju paling ikonis sepanjang masa. Mendapat gelar dunia pada usia 21 tahun dan dijuluki hands of stone karena selalu menang dengan memukul KO lawan-lawannya. “Panama” masih terkait erat dengan sosok Duran yang tak terpisahkan dari kisah bangsa Panama. “Seandainya saja kamu laki-laki, hidup keluarga kita pasti tak akan sesulit ini”. Itu kata-kata terakhir ayahnya sebelum Panama putuskan pergi dari rumah, tepat setelah pesta kelulusan SMK. Tanpa pamit, Panama tinggalkan ibu dan semua kenangan masa kecilnya.
“Sabar ya selesai COVID ini pasti kita ketemu lagi,” hibur Zeus salah seorang pelanggannya yang rutin berkirim kabar. Panama adalah inspirasi bagi Zeus yang tengah menyusun tugas akhirnya di Magister Ilmu Hukum. Berbagai tema kasus hukum tak mengena hingga ia bertemu Panama dan terpikir untuk mengambil penelitian tentang human trafficking! Berharap mendapat nilai tesis terbaik, ia lakukan riset hingga Bangladesh. Di Daulatdia, salah satu rumah bordil terbesar di dunia yang diyakini banyak terjadi praktik-praktik perdagangan manusia. Para perempuan diculik saat masih anak-anak dan dijual di sana. Rumah bordil Daulatdia terletak di kawasan kumuh, terdiri dari gudang timah, gang-gang sempit dan merupakan rumah bagi seribu lebih perempuan dan anak-anak mereka. Pada masa pandemi, rumah bordil itu tutup. Polisi menjaga pintu masuk selama 24 jam. Untuk hidup sehari-hari mereka bergantung dari dana bantuan pemerintah dan sumbangan dari lembaga-lembaga bantuan sosial.
“Kamu beruntung, tidak ada yang memaksamu jadi PSK dan lebih beruntungnya lagi kamu jadi kenal aku kan?” goda Zeus. Nama lengkapnya Zeus Kennedy, orang tuanya pengagum tokoh-tokoh besar. Tak cukup satu, dua nama besar secara literatur dan sejarah itu digabungkan sekaligus. PSK, Pelacur, Lonte, Wanita Tuna Susila, Wanita P, apa pun sebutannya Panama tak pernah ambil pusing. Kata-kata punya sejarahnya sendiri, punya eufemismenya sendiri. Yang penting baginya, laki-laki yang menggunakan jasanya tak main kasar.
Suara langkah kaki menghampiri kamar Panama. Berhenti tepat di depan pintu. Seolah ragu untuk mengetuk. Panama diam, menunggu dengan berdebar. Hanya satu orang pelanggan yang tahu di mana ia tinggal. Yang ia perbolehkan untuk singgah ke rumah kontrakannya, kapan saja ia mau, Karna. Hanya dengan Karna ia berciuman bibir. Satu-satunya batasan yang ia langgar karena ia jatuh hati dengan duda yang baru bercerai itu. Berciuman menyatukan dirinya dan Karna pada ruang yang memuat banyak perbedaan.
Sepasang kaki itu masih tegak berdiri di depan pintu kamarnya. Terdengar hembusan nafas berat sebelum akhirnya melangkah pergi. Siapa dia? Panama terlalu malas membuka pintu kamar dan mencari tahu. “Ah percuma, kontrakan sepi. Pak Mamat, yang rabun kalau malam-malam begini juga paling tak melihat dengan jelas,” batinnya.
Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB. Sebentar lagi Estelle, teman kontrakannya pulang. Estelle bekerja di hotel bintang lima di kawasan Thamrin. Biasanya ia membawa roti, minuman kotak dan buah-buahan jatah karyawan ataupun yang tersisa dari restoran hotel. Tanpa bertemu, Estelle dengan penuh pengertian meletakkan makanan-makanan itu di depan kamar Panama, di bangku panjang kayu Mahogani tempat mbak Mar menaruh keranjang pakaian yang telah disetrika. Jam 20.00 WIB, belum terdengar juga tanda-tanda Estelle memasuki kamarnya. Tak terdengar gemericik air shower atau alunan piano klasik Mahler atau Brahms dari piringan hitam yang mereka beli bersama di Jalan Surabaya. “Mungkin, diskotek tempat ia nyambi sebagai bartender telah kembali buka,” pikir Panama, merasa tak seberuntung Estelle.
Salah memang jika ia membandingkan dirinya dengan Estelle yang campuran Indo Australia itu. Kakinya jenjang, kulitnya cerah, matanya coklat keturunan ayahnya. Rambutnya gelap, hidung tak terlalu bangir didapat dari ibunya. Sambil mematut diri di depan kaca ia pandangi wajahnya. Bulat, pipi tembem dengan dua lesung pipit, dibungkus kulit kusam sawo matang dan…. buah dada besar! “Nah ini dia kelebihanku, yang tak dipunyai Estelle hahaaa,” sambil meremas-remas payudaranya, Panama memuji dirinya sendiri.
“Yang penting kamu sehat, bertahan dan tetap cantik yaa,” kata Zeus malam itu. Malam terakhir mereka bersama, 10 April 2020. “Bayangkan jika kamu punya penyakit bawaan. Tidak terserang COVID, namun dengan ekonomi yang sulit dan berkurangnya akses ke layanan kesehatan akan memperparah penyakit-penyakit itu. Di berbagai negara, banyak penderita diabetes yang tidak bisa mendapatkan insulin untuk obat, banyak yang tidak bisa membeli obat tekanan darah karena total lockdown, dan masalah-masalah itu semakin parah di daerah di mana ada permintaan tinggi untuk obat anti virus reguler dari mereka yang hidup dengan HIV,” terangnya sambil sesekali meringis menahan sakit perut dan dada yang katanya sesak seperti habis tertimpa karung beras. Mereka tidak bersetubuh malam itu, tapi Zeus membayar Panama lebih. “Sekalian untuk tes PCR,” pesannya.
Suara langkah kaki kembali terdengar. Seperti tadi, berhenti di depan pintu kamarnya. Laki-laki, sedang bicara di telepon. Suaranya pelan, namun terdengar cukup serius. Laki-laki itu kemudian melangkah ke kamar Estelle, di samping kamar Panama. Ia ketuk pintu. Ia tak tahu tak ada siapa pun di kamar itu. “Estelle, sudah pasti ia telah bekerja lagi di diskotek”, gumam Panama. Laki-laki itu terdengar mengakhiri percakapannya di telepon. Ia membuka pintu kamar Estelle. Suara gemerincing logam, ia punya kunci kamar Estelle. Hening. Suara saklar lampu dinyalakan. Terdengar beberapa laci dibuka tutup, suara koper dikunci, tak berapa lama suara koper didorong, mendekat ke pintu, suara pintu kembali dikunci dari luar. Gemerincing suara logam, koper yang ditarik, langkah kaki cepat-cepat. “Siapakah dia? Pacar Estelle? Ia tak pernah membawa laki-laki ke rumah kontrakan ini. Haruskah aku lapor pak Maman? Ah sudah malam, lebih baik besok pagi saja. Besok, ya besok, harapan untuk bangkit dari keterpurukan ini tampaknya belum akan terjadi dalam waktu dekat. Tapi setidaknya, besok ada hal penting yang bisa aku lakukan. Mencari tahu keberadaan Estelle”, tekad Panama.
Wangi Sedap malam tiba-tiba tercium menenangkan. Panama mendongakkan kepala, berpikir keras. “Hari apa ini? Sudah berapa lama aku di kamar ini? Sejak kapan aku tak merasakan hangatnya mentari pagi?” Sepasang kaki berdiri di depan pintu kamarnya. Membuka kunci dari luar. “Siapa itu? Siapa yang berani memasuki kamarku tanpa permisi?”, protesnya kebingungan. Tampak raut wajah yang tak asing baginya. “Karna? Didampingi pak Maman? Kenapa ia membawa satu vas bunga sedap malam segar? Hendak menyatakan cinta?” Panama semakin bingung.
“Saya janji ini terakhir kalinya pak….,” kata Karna kepada pak Maman.
“Benar ya bang, biarkan neng Panama beristirahat dengan tenang di kuburnya. Teman-teman kontrakannya pada takut tidur di rumah ini”.
Panama tercekat, kepalanya terasa berat. Terbayang sungai Padma di dekat terminal feri utama, pusat transportasi yang menghubungkan Dhaka dan distrik selatan Bangladesh, seperti yang digambarkan Zeus. Mereka duduk-duduk di tepiannya dan menikmati senja. “Aku janji akan mengajakmu jalan-jalan ke sana, melihat Daulatdia dan mensyukuri hidupmu,” sambil batuk-batuk itulah kalimat terakhir Zeus.
SELESAI
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari
Menyukai ini:
Suka Memuat...