Demokrasi adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atau negara yang dijalankan oleh pemerintah. Setiap warga negara setara atau diperlakukan sama tanpa adanya diskriminasi, bebas berekspresi, bebas menyampaikan kritik terhadap pemimpin atau lembaga negara, dab bebas berpendapat. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa kedaualatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang. Namun, bagaimana implementasi demokrasi saat ini di Indonesia? Bagaimana tantangan penegakan prinsip demokrasi konstitusional? Apakah Indonesia mengalami regresi demokrasi?
Tantangan terhadap demokrasi dilihat dari proses legislasi yang ugal-ugalan dan kebebasan sipil yg menjadi sentral dalam demokrasi. Survei Lantern Law Community (LLC) menyebutkan bahwa ada lebih dari 40% responden yang menyatakan mereka merasa takut bicara politik dan merasa khawatir dengan penangkapan aparat yg semena-mena terhadap sipil. Demikian halnya dengan media/peliput berita saat ini tidak bebas lagi karena diintervensi oleh penguasa yang sewenang-wenangan terhadap mereka. Namun, upaya yg dapat dilakukan adalah turbulansi demokrasi yang sangat kuat dan konsolidasi demokratisasi untuk cita-cita reformasi tahun 1998.
Tantangan yang muncul saat ini juga adalah politik lebih determinan dari hukum. Saat ini hukum kalah dari adanya politik dari negara. Sedangkan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945, berbunyi Indonesia adalah negara hukum. Politik determinan dari hukum dapat dilihat dari tindakan para pendemo yang telah terjadi di Indonesia yaitu Ominibus Law Cipta Kerja, mereka yang berpikir kritis dilakukan dengan cara represif atau kekerasan.
Tampaknya pelembagaan sebagai negara belum demokratis, yaitu belum cukup kuat untuk menopang pemerintahan Jokowi. Ketika beberapa UU dibahas dengan diam-diam tanpa melibatkan akademisi yang ahli di bidang itu dan undang-undang dikejar serta diselesaikan dalam 2 hari. Namun, masalah paling serius adalah ketika beberapa UU makin dijauhkan dari partisipasi masyarakat dan daya kritis para ahli, seperti UU KPK, UU MINERBA, UU CIPTA KERJA dijauhkan dari norma-norma berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang pembentukan peraturan perundang-undangan JO UU No. 15 Tahun 2019. Bahkan, pengesahannya dilakukan di tengah malam dan konsepnya yang otoriter.
Terkait dengan Omnibus Law Cipta Kerja saat ini menjadi kegelisahan setiap masyarakat terutama buruh. Karena mereka menganggap bahwa Omnibus Law Cipta Kerja tersebut sangat merugikan kaum buruh dan menguntungkan para pengusaha. Terlepas dari hal tersebut, Omnibus Law Cipta Kerja dipandang tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat. Harusnya dalam tahap penyusunan sampai dengan penetapan undang-undang harus berdasarkan prinsip keterbukaan sesuai dengan aturan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, UU No. 12 Tahun 2011 menjadi patokan dalam pembentukan UU atau selama UU No. 12 Tahun 2011 belum direvisi maka prinsipnya harus transparan.
Salah satu cara untuk membatalkan omnibus law adalah dengan mendesak presiden mengeluarkan Perppu. Namun sangat disayangkan presiden sudah mengesahkan Omnibus Law tersebut. Apakah ini yang disebut dengan negara hukum atau menjunjung tinggi demokrasi? Bukankah setiap pembentukan UU harus melibatkan rakyat dan harus sesuai kebutuhan masyarakat?
Kelemahan hukum makin lengkap dengan tidak adanya “VOLGEIST” para penegak hukum yaitu hakim, jaksa, polisi, dan pengacara. Kultur budaya yang feodal saat ini merupakan permasalahan demokrasi, mengenai bebas ekspresi yang otonom dan diktator, sehingga Indonesia mengalami regresi demokrasi yang mendalam.
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Riau