Tak pernah kubayangkan sebelumnya aku akan se-attach ini dengan poni. Poni bagiku agama, sebuah keimanan yang tak seorang pun boleh mengusiknya. Aku sendiri lupa sejak kapan tepatnya punya rambut poni yang menutup sempurna dahiku yang lebar ini.
***
Dari berbagai artikel yang pernah aku baca. Di banyak bangsa dengan sejarahnya yang kuat, urusan rambut tak sekadar untuk penampilan saja. Dari Inggris hingga Cina, rambut mendapat perhatian khusus para penguasa dengan argumentasinya masing-masing. Di Amerika tahun 1950-an model rambut berponi masih timbul tenggelam bersama trend model rambut lainnya. Orang-orang berpengaruh seperti The Beatles dan Elizabeth Taylor dalam filmnya yang legendaris, Cleopatra, membawa pengaruh potongan rambut berponi ke seluruh dunia. Rambut, menjadi bagian penting dalam perdebatan tentang pembentukan kepribadian bangsa. Bung Karno dalam pidatonya pernah melarang gaya rambut sasak bahkan menginstruksikan polisi untuk menahan para pemuda yang meniru gaya rambut The Beatles. Rebellion, kata Bung Karno.
Bersyukur aku tak hidup di era baby boomers yang kolot itu. Aku sangat nyaman berponi. Dengan poni aku menjadi diriku sendiri, sunyi, menenteramkan. Dunia yang kupandang dari balik poniku tampak lebih istimewa. Seperti pemandangan menuju puncak Kuil Paro Takstang Bhutan, di ujung pegunungan Himalaya. Sakral, dicengkeram bibir tebing yang menjulang tinggi di atas lembah.
Aku terus mengutuk hari itu. Hari di mana aku terpaksa ke salon lain gara-gara stylist salon langgananku di Mall Taman Anggrek sedang menjalani terapi tangan kanannya yang cedera cukup lama. Aku ingin tampil paripurna untuk hadir di acara sidang ujian disertasi Amery di Universitas Groningen, Belanda. Ia sudah tak pulang satu tahun karena disertasi yang katanya penuh revisi. Dan aku sudah janji, aku pasti datang.
Sialnya, dicela karena poni yang kependekan tak membuat Amery membelaku. Alasannya, “Lho, mereka itu kan teman-teman dekat kita, itu namanya perhatian, akrab.” Di akhir acara pun ia asyik dengan para penguji, dosen pembimbing, dan guru besarnya. Ketika aku hanya duduk diam menunggunya di lobby kampus, dia bilang aku marah. Kenapa laki-laki tak bisa bedakan antara marah dan sedih? Jauh-jauh datang ke sini hanya sebagai tamu tak diundang? Insignificant person?
“Ronald Reagan pernah membela istrinya, Nancy yang dikritik karena memborong keramik untuk Gedung Putih. Bill Clinton pernah begitu marah sampai hampir meninju seorang kolumnis karena menulis Hillary dilahirkan sebagai pembohong. George Bush senior juga mengungkapkan kemarahannya kepada mahasiswa yang mengatakan Barbara keluar dari sekolah gara-gara ingin menikah.”
“Sayang, jangan bandingkan aku dengan para pemimpin besar itu.” Amery mengiba, meski sepertinya tak mengerti bagaimana memperbaiki kesalahannya.
“Aku belum selesai. Bahkan, Trump yang selalu kamu kritik itu, dia belain Melania yang sering kena bully di media sosial karena cara berpakaiannya. Trump mengatakan, kritik kepada Melania berlebihan. Melania ingin selalu tampil keren semata-mata untuk menghormati Gedung Putih.”
Mulutku masih saja merepet sepanjang trotoar menuju stasiun kereta. Lumayan, 4 kilometer dengan sepatu boots runcing. Hawa dingin dan lapar tandas dengan rentetan sejarah para pemimpin dunia yang pasang badan ketika pasangan mereka dikritik. Tiba di stasiun, otot kaki yang setengah kram memaksa otakku untuk diam. Kecewa campur sedih. Dua jam perjalanan dari Groningen berganti-ganti kereta menuju Amsterdam kami habiskan tanpa suara. Kehilangan poni, aku tak punya tempat sembunyi. Aku seperti tanah lapang, datar, dan terpapar.
“Satu stasiun lagi, kita sampai,” suara Amery sedikit serak. Aku tak menjawab, tak juga mengangguk. Ia pun tak memandangku. Aku buang tatapanku keluar jendela, gelap, yang tampak hanyalah wajahku, jelek dengan poni pendek.
Aku dan model poni sampai bawah alis tak terpisah, ibarat Kim Jong Un dan gaya rambut kakeknya, sang pendiri Korea Utara. Seorang pejuang gerilya yang naik ke puncak kekuasaan di bawah perlindungan Stalin dan dipercaya sebagai presiden abadi. Kim Jong Un disebut-sebut sebagai reinkarnasi kakeknya. Sulit untuk tidak mengatakan kepribadian dan perilaku politik Jong Un tanpa menempatkan dalam konteks kepemimpinan pendahulunya. Dan dalam rangka mencapai mitos presiden abadi itu, salah satunya di era Jong Un, warga Korea Utara tak boleh meniru potongan rambutnya. CNN menyebutnya sebagai ‘Power Haircut’ dan New York Magazine menyebutnya sebagai ‘Pribadi Ambisius’.
“Yuk, siap-siap turun,” Amery menggamit tanganku. Angin January di Amsterdam Noord terasa lebih menggetarkan. Embusannya menggerakkan bilah-bilah bambu di dermaga ferry dekat Centraal Station. Pantulan lampu-lampu yang berpendar di kanal meliuk manja menciptakan romansa. “Kakimu baik-baik saja?” Amery menatapku hangat seperti sapaan salam jumpa pertamanya beberapa tahun silam. Sepekat teh hitam yang disajikan para petani teh Bhutan, seperti melihat pergelaran wayang kulit dari belakang layar, aku tak bisa melihat apa yang akan terjadi di depan dengannya, serba hitam.
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari