Menjamu Duka
Di bibir duka gelagat senyum merekah dusta
Sembari berucap sajak hina
Aku..
Hanya bernostalgia
Pada kalender lama tentang adegan mesra berbingkai sastra
Masih jelas terngiang di telinga
Ia bernada juga berirama
Tapi Seketika raib tanpa aba-aba, seperti rekayasa melumat masa
Haruskah hati mati tanpa paksa?
Jika terus tersiram jamu duka?
Ingin mata menatap lamat
Pada matamu yang berkhianat pekat, serta
Pada batinmu Kuluapkan hasrat
Biar jeritannya menjadi obat
Dan waktu pun segera bersahabat, membawa kita pada cerita khidmat bermartabat
Seharusnya..
Secangkir racikan puisi lama, tak perlu kau siasati dengan janji setia
Bila khayalmu hanya sementara memerdekakan cinta
Di titik akhir segalanya
Pasrah adalah cara sederhana
menghapus duka, juga derai air mata.
Semoga doaku doamu kembali mengangkasa
Menembus ruh-ruh pujangga.
Paham atau Tidak?
Awalnya aku adalah pengintai
Yang mencari titik kisah di matamu,
Serta aku yang pura-pura mabuk
demi menenggelamkan sepiku. Juga mimpiku yang buruk
Tapi senyap, pendar mataku pun lesap
Ada semburan pahit, setelah mulutku berucap…
Dalam rona yang sendu,
Juga hatimu yang kian membatu,
Aku masih sepasang mata yang mengintaimu
Paham atau tidak?
Itu adalah caraku, menemukan senyummu
Atau perlu kiranya aku menjadi tabib, mengobati ruhmu yang angkuh,
Biarkan aku menelagainya dengan ramuan jamu juga madu
Biar bahagia segera tumbuh..
Katamu aku adalah kekasih
Bagi hatimu yang sepi,
Berserulah, pahatkan kembali janji suci
Atas nama kita yang seharusnya saling mengerti.
Puisi Persembahan
Duduklah sebentar dengan khidmat, menemani tarian jari jemariku menyusun kalimat
Jika sudah tuntas, akan kusuguhkan kepadamu sebagai hidangan yang lezat
Hingga tuan melahapnya dengan nikmat…
I/T
Sore itu aku duduk termangu di pelataran rumahku tuan…
Sambil lalu menikmati suara burung yang gemar bersahutan
Aku sedikit paham, sepertinya burung-burung itu saling melempar pertanyaan juga jawaban
Perlahan, senyumku tumbuh mekar, tapi seketika tumbang
Ternyata ada ucapan sindiran yang semestinya aku pun paham…
Burung-burung itu menertawaiku, serta melempariku dengan kerikil-kerikil batu
Jika kususun tampaklah di sana lukisan tangan seorang lelaki memegang buku
Aku biasa saja tidak takut, seperti aku gadis kecil lugu yang tidak tahu-menahu
Tapi kicauan burung terus mengusik
Tidak lebih lirih dari nyanyian seekor nyamuk yang berisik
Tuan.. sebetulnya apa yang harus kuusik?
Kembali kutatap lukisan di kerikil itu, ah.. penglihatanku semakin sayu..
Tangan di lukisan itu, mirip sekali dengan tanganmu tuan..
Benarkah ?
II/U
Barangkali aku hanya butuh waktu, untuk mengutarakan maksudku padamu tuan..
Atau mungkin tuan lebih paham bunyi detak jantungku?
Hingga akhirnya lukisan tangan di kerikil itu menjadi nyata,
Benar-benar tangan tuan yang gemar mengajariku mengeja buku dalam kurun waktu
Benar, tuan adalah guru bagiku..
III/A
Tuan…
Aku benar adanya, yang tidak sedang berpura-pura
Masih aku yang menjadi koma, dan membutuhkan titik untuk nyata
Mari bersama menulis jejak di atas gumparan tanah
Mewujudkan mimpi manis sang pujangga
IV/N
Dan kelak, jika perjalananku telah usai
Tak lupa kukirimkan doa buat tuan
Semoga catatan ini selalu tuan abadikan..
Azizatul Qoyyimah, lahir di Batang-Batang Sumenep, anak pertama dari 2 bersaudara. Alumni TMI dan IDIA Prenduan Sumenep. Dan sekarang berdomisli di pondok pesantren Qotrun Nada Cipayung Jaya Cipayung Depok sebagai guru pengabdian.