Oleh: Jeannie Latumahina
Komitmen dari partai Golkar untuk tetap kritis terhadap pemerintah, serta mengawasi penyelenggaraan pemerintahan mendapat ujian setelah Setya Novanto (SN) selaku Ketua Umum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, bahkan menjadi ujian terhadap komitmen Golkar kepada rakyat, bangsa dan negara Indonesia melalui kepemimpinan SN dan Golkar di parlemen, ferita a DPR RI.
Dalam regenerasi partai yang dinamis, serta demokratisasi di internal Golkar maka semestinya partai Golkar memiliki ketegasan sikap terhadap posisi SN yang sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi tersebut. Namun kenyataannya sampai saat ini, publik bahkan sebagian warga Golkar lainnya masih terus menunggu dan belum melihat adanya percepatan penanganan permasalahan SN, salah satunya lewat pergantian kepemimpinan SN di Golkar dan menyusul di parlemen.
Sangat disayangkan Golkar sebagai partai tertua dan berpengalaman, yang katanya memiliki sistim keorganisasian yang kuat, dinamis (baca: “sensitif atau siuman” atas aspirasi publik) dan seharusnya bahkan progresif, ternyata semakin rapuh mempertaruhkan repurtasinya. Seharusnya Partai Golkar mampu memberikan contoh, apalagi kasus SN sudah sekian lama memasuki ranah hukum, dan kalau Golkar sensitif dengan amanat motonya bahwa “Suara Rakyat adalah Suara Golkar”, maka kasus SN ini sudah mencederai rasa keadilan, moral dan etika publik atau bersama kita di Indonesia.
Mencermati usia Golkar yang sudah lebih dari setengah abad, tepatnya 53 tahun, dan sebagai partai yang paling lama berada di lingkaran kekuasaan, menempatkan Golkar sebagai infrastruktur politik yang paling lama berperan aktif dan dominan dalam pembangunan Indonesia, termasuk pembangunan hukum di Indonesia.
Sayangnya, belakangan ini khususnya dalam kasus SN, Golkar seperti tersandera dari internal maupun external partai Golkar. Terlihat jelas bahwa penyebabnya adalah tarik menarik kepentingan di elit internal partai, baik kepentingan posisi dan peran, maupun – dan ini yang kian mengemuka pasca era Soeharto – kepentingan akses logistik, untuk pembiayaan partai dan terutama untuk memperkaya orang per orang elit partai Golkar. Kalau fenomena ini benar adanya maka untuk jangka panjang bahkan tidak lama lagi, akan semakin menghancurkan kredibilitas dan keberpihakan rakyat pemilih kepada partai Golkar.
Yang tak kalah berbahayanya bagi kepentingan Golkar dan masa depannya yaitu ketersenderaan Golkar dari unsur external yang bersumber dari hukum alam “persaingan” antar partai politik, dimana dapat dirasakan bahwa sentimen untuk menghancurkan dan bahkan melenyapkan partai Golkar dalam kontestasi politik di Indonesia terus berlangsung sejak era reformasi di mulai hingga saat ini. Pesaing-pesaing Golkar termasuk pemenang pemilu saat ini kian jitu mengemas strategi untuk menggembosi partai Golkar, salah satunya dengan cara “menahan sambil mengeskalasi dampak buruk” kasus SN terhadap performa dan soliditas partai Golkar sampai pelaksanaan Pilkada 2018 dan terutama Pemilu 2019. Golkar harus lemah di hari “H” Pilkada 2018, semenjak ada tiga daerah dengan jumlah pemilih hampir 50% dari total pemilih di Indonesia yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur akan menggelar Pilkada Gubernur di tahun 2018.
Tak kalah serunya adalah ketersendaraan Golkar dalam mengusung calon presiden di beberapa pemilu belakangan ini, yang hampir mulai jarang datang atau terekrut dari kader tulen Golkar, yang dapat diduga sebagai output dari tidak beroperasi dengan baiknya sistem kaderisasi Golkar, yang kian elitis, tidak egaliter, dan tidak lagi berkarya bagi kepentingan rakyat dan sukses pembangunan, sebagaimana dibuktikan dengan keterpilihan SN sebagai Ketua Umum, Ketua DPR dan kelambatan Golkar untuk keluar dari fenomena ketersenderaan lewat kasus SN.
Mayoritas akal sehat publik Indonesia memahami bahwa dengan telah ditetapkannya SN sebagai tersangka oleh KPK, maka seharusnya posisi SN harus segera digantikan oleh kader yang lebih berintegritas, bermoralitas baik dan berkinerja prima layaknya spirit Golkar sejak kelahirannya yaitu “Karya – Kekaryaan”.
Tetapi dengan tarik ulur waktu terhadap pergantian posisi dan status SN di internal Golkar dan di parlemen, pesan yang diterima oleh masyarakat Indonesia adalah partai Golkar yang tidak konsisten terhadap komitmennya sendiri bagi Bangsa dan Negara melalui kepemimpinan publiknya dan di Parlemen. Komitmen Golkar sebagai partai pendukung pemerintah, untuk turut memajukan bangsa, serta mensejahterakan rakyat di pertanyakan bahkan diragukan keberadaan serta efektifitas kinerjanya.
Partai yang walau mengusung kepentingan utamanya untuk menang dalam pemilihan umum, Pileg, dan Pilkada, semestinya harus dimulai dengan menjaga dulu komitmen dan bukti reputasi internalnya, yang selanjutnya menjadi reputasi eskternal. Kalau tidak, maka lonceng ditinggalkan konstituen pendukungnya adalah nasib gratis Golkar ke masa depan.
Dalam konteks tanggung jawab berpemerintahan dan bernegara maka Golkar harus menghindarkan dirinya sebagai sumber penyenderaan atas lembaga-lembaga kenegaraan kita, seperti DPR. Dengan tetap bercokolnya SN di kepemimpinan bahkan sebagai Ketua DPR sudah sangat pasti disamping mencoreng nama baik lembaga parlamen juga menyebabkan melemahnya kinerja lembaga yang mewakili aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Masyarakat tentunya tetap berharap kembali sebagai partai tua dan matang kiranya Golkar cepat siuman, kembali ke khitah-nya sesuai cita-cita kelahiran Golkar, dengan segera menyelesaikan permasalahan SN, tidak terus berlindung di balik perangkat aturan internal dan atau adigium-adigium hukum yang hanya untuk memproteksi kepentingan elit Golkar, sebaliknya secara terukur perlu mengambil langkah-langkah penyelematan atas kepentingan masyarakat, bangsa, Pemerintahan, negara dan Golkar sendiri untuk menggantikan posisi SN selaku Ketua Umum dan Ketua DPR dengan kader partai yang berintegritas, bermoral dan berkinerja baik untuk membuktikan bahwa “Suara Rakyat adalah Suara Golkar”.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...