UNTUK mengetahui hukum itu bagus atau tidak adalah melalui pertanyaan-pertanyaan kepada masyarakat. Apakah hukum yang ada cukup melindungi mereka? Hukum apa yang mereka butuhkan sekarang? Apakah hukum telah berpihak pada korban? Paradigma teori hukum yang dianut para penegak hukum, “Eksistensi hukum terpisah dari substansinya”, jadi apakah substansinya adil atau tidak, memberatkan atau tidak, yang penting apa yang tertulis itu yang dianut. Di sini hukum diposisikan sebagai fakta padahal hukum berisi norma-norma yang ideal. Pusat gravitasi pengembangan hukum sejak dulu kala tidak lagi berada dalam aktivitas negara, namun di dalam masyarakat itu sendiri dan kini harus dicari di sana, tulis Eugen Ehrlich, dalam Fundamental Principles of the Sociology of Law.
Urgensi UU P-KS
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) telah diusulkan sejak Januari 2016, namun dalam perjalanannya terus mengalami perdebatan. Umumnya terkait terminologi dalam aturan-aturannya yang membuat missed conception. Yang terbaru adalah adanya perubahan draf RUU P-KS yang dihadirkan dalam Rapat Pleno Baleg minggu ini. Tidak hanya judul yang diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) namun juga terdapat perubahan ketentuan-ketentuan di dalamnya.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menilai perubahan judul ini memiliki dampak serius terhadap materi muatan RUU secara keseluruhan. Dengan terminologi “penghapusan”, RUU P-KS draf lama memuat elemen-elemen penting penanganan kekerasan seksual secara komprehensif yang bertujuan menghapus kekerasan seksual. Sementara RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sesuai dengan namanya menurut KOMPAKS dikawatirkan hanya akan menitikberatkan pada penindakan tindak pidana saja, sehingga mengabaikan kepentingan korban, seperti pemulihan, perlindungan, dan akses terhadap keadilan secara umum.
Nama memang tidak terlalu primer dalam hukum pidana, sebab yang akan menjadi pembuktian oleh jaksa dan hakim adalah unsur-unsurnya. Namun ada sejumlah ketentuan substantif dan prinsip yang hilang dalam naskah baru RUU P-KS yang butuh didiskusikan lebih lanjut, di antaranya: (1) aturan terkait jaminan hak, pemulihan dan perlindungan korban kekerasan seksual, (2) aturan terkait penghapusan ketentuan tindak pidana perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual dan perbudakan seksual, (3) terkait definisi perkosaan, (4) terkait kosongnya Pengaturan Kekerasan Seksual Berbasis Online (KBGO) dan (5) kosongnya Pengaturan untuk Penanganan Korban Kekerasan Seksual dengan Disabilitas.
Jika melihat kesejarahan hukum, sudah sepantasnya kita memiliki undang-undang yang khusus mengatur terkait tindak kekerasan seksual. KUHP belum melindungi anak dan perempuan dari kekerasan seksual. Dalam KUHP dan KUHAP, kekerasan seksual dimasukkan dalam kejahatan kesusilaan, padahal tindak kejahatan seksual juga seringkali mengancam nyawa para korbannya. Kekerasan seksual adalah crime against humanity, not crime against ethics. Karena negara tidak hadir, hari ini banyak korban perkosaan yang sampai hamil akhirnya dikawinkan dengan pelaku pemerkosa sebagai solusinya. Apakah itu yang diinginkan korban?
KUHAP juga meletakkan pembebanan pembuktian kepada korban. Ini yang kemudian membuat korban kesulitan memenuhinya karena ada trauma penghukuman sosial. Budaya dan tata cara aparat penegak hukum dalam menangani korban kekerasan seksual juga tidak berpihak pada sisi korban. Tak heran, jika kemudian korban baru memperoleh keberanian untuk melapor setelah kasusnya berlalu lama, ketika bukti-bukti telah hilang. Secara yurisprudensi hal ini sama sekali tidak berperspektif keadilan pada korban. Hukum justru berkontribusi terhadap subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak karena mengabaikan pengalaman dan realitas. Hukum itu seperti pengetahuan, atau fakta penting menyeluruh yang merepresentasikan kondisi sosial, kata Niklas Luhmann dalam A Sociological Theory of Law.
Pasal 285 KUHP berbunyi “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Pasal ini tidak relevan ketika korban berada di bawah relasi kuasa dan dianggap berbuat atas dasar “suka sama suka”, tanpa ada paksaan. Hukum yang baik seharusnya dapat digunakan untuk mengubah situasi. Law as a tool of social engineering, hukum sebagai alat pembaharuan, berperan mengubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Hukum tidak bisa ditegakkan tanpa mempelajari masyarakat dan kebudayaan. Hukum harus dibaca dalam konteks, harus berelasi dengan masyarakat.
Aspek Perubahan
Pasal-pasal dalam draft RUU P-KS (yang lama) telah memenuhi tiga syarat hukum yang baik. Secara filosofis terpenuhi karena pertanyaan korban perempuan dan anak dijawab oleh produk reformasi hukum. Secara rule of law, yakni dari aspek prosedural, substansial dan peradilan yang imparsial nyaris sempurna, tak ada satupun celah kekerasan seksual yang bisa lewat. Secara sosiologis, penyusunan RUU P-KS telah berdasar kajian dan survei dari berbagai lembaga yang bisa dipertanggungjawabkan keotentikan datanya. Tim penyusun RUU P-KS bergerak berdasar hasil riset, isu-isunya faktual yang tidak diatur dalam KUHP.
Tentang KUHP sendiri, sejak tahun 1915 telah mengalami perubahan sebanyak 16 kali namun tak sekalipun pasal-pasal terkait kekerasan seksual diubah. Padahal dengan kemajuan teknologi seperti saat ini, segala bentuk kekerasan seksual ada dan semakin berkembang. Definisi kekerasan seksual yang luas dalam RUU P-KS akan mampu menjangkau para pelaku yang selama ini lolos dari hukum hanya karena tindakan mereka tak memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana. Tidak ada Rancangan Undang-Undang sedetail RUU PKS, menurut Prof. Topo Santoso, Guru Besar FH UI.
Catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2020 menyebutkan, dari 4.898 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, sebanyak 57 persen terjadi di ranah domestik (termasuk di dalamnya kasus inses) dan 42 persen terjadi di ranah komunitas. Ini artinya para pelaku kekerasan seksual adalah mereka yang dikenal oleh korban. Sementara itu, hasil penelitian Tirto dan Jakarta Post (2019) menyebutkan, dari 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus di 29 provinsi, pelakunya adalah dosen, mahasiswa, staf, warga, tokoh agama dan dokter yang bertugas di klinik kampus. Tempat kejadian di kampus dan di luar kampus, seperti tempat KKN, tempat magang dan acara kemahasiswaan. Sebanyak 50 persen dari angka tersebut memilih tidak melapor, tidak menceritakan kepada siapa pun, malu, takut dan bingung. Ini menunjukkan kampus bukanlah tempat yang aman.
Angka-angka ini bukanlah statistik belaka, mereka adalah korban, mereka adalah seseorang yang punya nama dan berhak meraih masa depan gemilang.
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari