SEMARAK peringatan maulid Nabi menjadi salah satu momentum penting dalam Islam yang sampai saat ini diselenggarakan setiap tahunnya. Perayaan tersebut tetap ditradisikan umat Islam di seluruh penjuru negeri, tak terkecuali di pelbagai wilayah di Indonesia.
Melalui hal itu, kita kembali membuka lembaran sejarah peristiwa kelahiran Nabi Muhammad saw., yang jatuh pada bulan 12 Rabi’ul Awwal (20 April 517 M), tepatnya pada tahun Gajah (Fill), kita dapat mengulak sekilas pelajaran pada masa itu. Kilas balik sejarah sewaktu Ka’bah—kiblat umat Islam di Mekkah—ingin diluluhlantakkan oleh pasukan gajah melalui perintah Abrahah, Gubernur Yaman kala itu menduduki kerajaan Abbesinia. Namun dalam sejarahnya, melalui kuasa Allah, Abrahah beserta pasukkannya diterjang batu neraka (sijjil) oleh sekumpulan burung Ababil, yang mana termaktub dalam surat Al-Fill (105): 1-5.
Di lain itu, umat Islam dapat memetik pelajaran berharga bahwa pada masa pra-Islam, bisa dikatakan banyak tindakan yang tidak berprikemanusiaan, di antaranya ketidakadilan terhadap orang-orang kecil, problem perbudakan merajalela; khususnya perbudakan wanita, penyembahan terhadap patung, dan lain sebagainya (baca: sirah an-nabawiyah). Melalui kelahiran Nabi, akan ada pijar cahaya penerang untuk mendorak praktik kejahiliyahan bangsa Quraisy suatu saat nanti, yakni bangkitnya ajaran Islam melalui tindakan nyata Nabi Muhammad saw.
Maka dari itu, berangkat dari hal yang tersebut di atas, sejenak kita hembuskan nafas sembari melonggarkan senyum kecut serta melenturkan kerut wajah kekecewaan yang mendalam terhadap aneka ragam tindakan orang Quraisy—yang sebagian tidak senang dengan tindakan perjuangan nabi yang mendobrak kejahiliyahan kala itu, sehingga pada masanya berpijarlah ajaran-ajaran Islam yang berlangsung hingga saat ini, yaitu Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin.
Pijar Teladan Umat
Sampai kapanpun, Nabi Muhammad merupakan sosok teladan bagi umat manusia di seluruh dunia. Beliau juga kompas di setiap lintasan zaman, yang memberikan suatu pelajaran berharga, khususnya yang berkaitan dengan hadis dan tindakan beliau yang terbungkus dalam empat hal, yaitu berkata jujur atau benar (shiddiq), terpecaya atau dapat dipercaya (amanah), menyampaikan suatu perintah serta larangan dari Allah (tabligh), cerdas serta tajam pikirannya (fathanah). Tak ayal jika Nabi Muhammad merupakan pemimpin yang kharismatik pada kepemimpinannya.
Nabi Muhammad merupakan cahaya dunia yang memberikan penerang di kegelapan. Menjadi penyejuk di hati umatnya. Beliau sebagai uswatun hasanah agar pemimpin di negeri ini tidak sengaja melupakan sumpah yang dulu terucap atas nama Allah dan di hadapan ayat suci al-Quran.
Melalui teladan nabi Muhammad, agar nuansa politik yang sengaja ditopengi dengan sandiwara, menjadi politik kemanusiaan yang bermartabat, berkeadilan yang tidak hanya kenal dengan saudagar kaya, melainkan mampu terjun di tengah keterlebitan ekonomi rakyat yang terhimpit dalam kubangan korupsi. Mampu mendobrak budaya kolusi, bergerak menumpas nepotisme, serta memberantas monopoli kekuasaan—yang pada akhirnya hanya rakyat yang menjadi korban kesewenang-wenangan pemimpin di negeri ini.
Karena bagaimanapun, di tengah krisis kepercayaan publik, bisa dikatakan, bahwa ada sebagian elit pejabat yang masih terpasung kepentingan di negeri ini. Mereka lebih—meminjam istilah Prof. Noorhaidi Hassan, yang mendapatasi Clifford Geertz, antropolog Amerika—memprioritaskan aspek teatrikal (pertunjukan drama teater) daripada hal-hal yang benar-benar subtansial (menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945 secara berkelanjutan).
Melihat situasi dan kondisi di negeri ini—apalagi dalam situasi pandemi covid 19 ini—masih ada pejabat yang lalai dengan tanggung jawabnya. Bermacam informasi di layar kaca dan media informasi online lainnya yang memperlihatkan wajah murung negeri—bertolak belakang dengan selogan gemah lipah loh jiwani atau baldatun tayyibatun. Hal ini bisa dilihat maraknya kasus korupsi yang menjadi-jadi. Seolah-olah perbuatan dosa besar tersebut menjadi ‘urf atau tradisi yang mengakar di tengah jatuh bangunnya demokrasi.
Dalam hal demikian, praktik kepemimpinan yang tidak berdasarkan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, kemaslahatan, dan kemakmuran bagi rakyat, sama halnya mempraktikkan masa kejahiliyahan yang tidak menghendaki perubahan yang signifikan.
Last but not least, melalui perayaan maulid nabi, kita semestinya mengasah diri untuk tetap belajar dan belajar untuk menimba serta mengulak laku dan hadis Nabi Muhammad yang luhur untuk menapaki langkah kehidupan yang lebih baik lagi. Ini hanya tulisan kecil dari saya. Selamat bermaulid ria. Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad. Ya Rabbi Shalli ‘Alaihi Wasallim.
Alumni Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta