Kamu adalah ruang hampa
Tempat bermuara kata tanpa makna
Tempat bermukim rasa yang pasti sirna
Tempat duka bertahta
Yarra Valley
Oktober 2017
Neira tampak menikmati kesendiriannya di depan laptop, menghadap jendela besar, tak menyentuh sepiring keju yang datang bersama Pinot Noir yang dipesannya sedari tadi. Udara dingin masih menggigit di luar. Yarra Valley, sekitar 50 kilometer dari pusat kota Melbourne siang itu bersuhu 12 derajat disertai hujan. Membuat para tamu betah untuk berdiam di dalam restoran dan menikmati hamparan kebun anggur.
Sesekali ia tatap Samsung Note-nya dan menggambar sesuatu dengan stylus. Ankle boots yang ia pakai tampak sedikit berlumpur. Wineries day tour yang ditutup dengan wine tasting membuat ia sedikit kewalahan. Entah apa yang ia tulis, tetapi dari bahasa tubuhnya tampak merampas pikiran.
“Maaf mengganggu,” suara berat menyapanya.
“Ya?” Bingung dan kaget. Apakah restoran sudah mau tutup?
“Maaf, saya lancang. Perkenalkan saya Quentin. Boleh duduk di sini?” Kali ini suara berat itu dibebani ragu.
“Silakan,” ragu juga tetapi karena permintaan yang sopan dan Quentin yang hangat akhirnya ia mempersilakan duduk.
“Kebetulan saya kenal baik dengan pemilik Bell Winery and Vineyard ini. Dan kebetulan sekali kamu ada di sini. Saya pernah membaca beberapa artikel yang kamu tulis. Cerdas. Kritikal,” Quentin menyerahkan kartu namanya.
“Oh wow, terima kasih,” pujian, apa maunya Doktor Ilmu Pertanian USQ ini, pikir Neira.
“Koreksi jika saya salah, sepertinya kamu sedang menulis ulasan tentang kilang anggur? Boleh saya usulkan beberapa hal?” tanya Quentin kembali dibebani ragu.
“Begini, saya menulis berdasar apa yang saya lihat dan yang saya rasakan. Dengan begitu tulisan saya akan netral, apa adanya, tidak berpihak. Saya ada deadline, dan saya harap Anda tidak keberatan jika saya melanjutkan tugas saya,” tegas Neira.
“Oh baiklah, saya tak ganggu kamu lagi,” begitu saja. Quentin memilih mundur.
Seminggu berlalu.
Artikel Neira telah terbit. Ada dorongan kuat yang membuatnya kembali ke Yarra Valley, tempat ia bertemu bule atletis, berambut pirang, berkacamata, dan beraroma segar itu. Sekadar untuk memberikan beberapa copy hasil karyanya.
Satu jam berdiam di meja yang sama tak juga mendapatkan tanda-tanda keberadaan Quentin. Satu album Debussy telah habis diputar-putar. Clair de Lune, Arebesque, Reverie, balik lagi ke Clair De Lune….
Beranikan diri, Neira menanyakan kepada beberapa pelayan restoran yang di luar dugaan, tak satu pun mengenali sosok Quentin. Sekalipun Pak Bell, yang tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih atas tulisan Neira tentang winery miliknya. Putus asa, ia memutuskan pulang.
Tiba di apartemen, rasa ingin tahunya semakin memuncak. Kartu nama Quentin entah tercecer ke mana. Berbekal ingatan, ia melacak kampus dan daftar alumni Ilmu Pertanian di University of Southern Queensland. Seperti berselancar di ruang angkasa. Tak membuahkan hasil. Quentin seperti alien. Dan hanya Neira yang dapat merasakan hadirnya waktu itu.
***
Kembali ia datangi winery milik Pak Bell. Dengan menampilkan skenario terbaiknya sebagai seorang jurnalis, ia berhasil melihat rekaman CCTV, detik-detik perjumpaannya dengan Quentin. Ia tak sadar, langkah nekatnya itu menuntunnya ke ruang hampa tak berdimensi.
Dengan mata kepalanya, Neira menyaksikan ia tampak berbicara sendiri dan sesekali melemparkan pandangan ke bangku kosong di sebelahnya. Ternyata Quentin itu tak nyata. Ia adalah ruang kosong antara bumi dan matahari. Seketika dunianya sepi.
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari