Dalam “Asia Times”, sebuah media digital yang berbasis di Hong Kong, wartawan John McBeth mengungkapkan beberapa kesalahan kebijakan dan kegagalan Presiden Jokowi.
Ia menyebut perundingan dengan Freeport, proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, Proyek Gas Alam Marsela, soal impor daging sapi.
Kegagalan ini, menurut McBeth, ditutup-tutupi. McBeth menyebut adanya “obsfuscation and embellishment of the truth” yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Kata “obsfucation” berarti “membuat kabur” atau bahkan “gelap”, dan “embellishment” kurang-lebih berarti “memoles”, “merias”.
Tak ayal, tulisan pendek itu dipergunakan lawan dan musuh politik Jokowi untuk menyerangnya dan diterima para pendukung Jokowi dengan berang. Ada sedikit heboh.
Sebenarnya, tak perlu ada heboh
Pertama, sudah bisa diperhitungkan bahwa lawan Presiden Jokowi akan memanfaatkan tulisan seperti itu, dan sebaliknya para pendukung akan marah. Dalam politik- dan menjelang pemilihan umum — itu hal yang lumrah.
Kedua, apa yang ditulis John McBeth bukan informasi baru. Kasus-kasus yang disebutnya sudah ditulis di media Indonesia, misalnya di majalah dan koran TEMPO. Baca saja nomor-nomor majalah itu di waktu yang lalu.
Tulisan McBeth bukan hasil investigasi dengan kerja keras. Siapa saja yang membaca Tempo (saya perkirakan McBeth juga baca Tempo edisi Inggris) dapat menemukannya — dan dapat mengutipnya, dan sembari duduk minum bir di rumah, dapat menyiarkannya lagi..
Bahwa tulisan McBeth seakan-akan mengungkapkan hal yang selama ini dirahasiakan, dan oleh sebab itu diterima atau ditampilkan sebagai “kebenaran”, ini mungkin tendensi pembaca Indonesia: yang datang dari luar cenderung dianggap lebih “obyektif”. Dengan pengalaman sejak Demokrasi Terpimpin sampai dengan Orde Baru, hampir setengah abad, yang mengekang pers dalam negeri, pers luar negeri cenderung diasumsikan lebih “jujur”.
Kini, asumsi itu terbantah, ketika pers dalam negeri tidak takut dibrangus. Pers dalam negeri kini terbukti bisa terus terang seperti halnya pers luar negeri. Kini bisa dikatakan dengan yakin, mutu jurnalis asing, juga McBeth, tak harus lebih baik ketimbang jurnalis Indonesia.
Juga terus terang dalam mengutarakan pikiran tak niscaya membawa “kebenaran”. Bagaimana pun juga, kerja jurnalisme hanyalah tafsir. Kata-kata Nietzsche dalam hal ini bisa diingat: Nein, gerade Tatsachen gibt es nicht, nur Interpretation. Tak ada fakta, yang ada hanya interpretasi.
Jika tafsir McBeth atas prestasi Presiden Jokowi terasa negatif, itu karena ia memilih beberapa kasus yang (seperti sudah ditunjukkan media kita) merupakan salah langkah Pemerintah. Maka tak bisa dikatakan opininya “obyektif”. McBeth tidak mengemukakan prestasi Pemerintahan Jokowi yang tak kalah penting, bahkan setidaknya bagi saya lebih penting: turunnya angka kemiskinan (dari 11.46 % di tahun 2013 menjadi 10.12 % di tahun 2017), dan pengangguran terbuka (6.25% di tahun 2013 menjadi 5.50% di tahun 2017).
Pendek kata, kita tak perlu bertepuk tangan untuk tulisan pendek McBeth, dan sebaliknya tak perlu juga mengepalkan tinju.
Pelbagai survei menunjukkan tingkat kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi tinggi, dan pada saat yang sama pelbagai pembahasan dengan bebas mengingatkan pemerintah agar lebih baik dalam merumuskan kebijakan, lebih terkoordinir, lebih efektif — meskipun dengan birokrasi yang berpuluh-puluh tahun mengenaskan.
Artinya: gading yang retak bukan gading yang patah.
Menyukai ini:
Suka Memuat...