Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia memiliki potensi yang sangat besar didalamnya. Dimana mulai dari Sabang sampai Merauke, hingga dari Miangas ke Pulau Rote menyimpan kekayaan alam di sektor maritim serta secara posisi sangat strategis karena berada dalam arus pelayaran perdagangan global.
Disektor perikanan saja menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2021 dari total spesies ikan di dunia, 37% nya berada di perairan Indonesia. Dimana beberapa jenis diantaranya mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti tuna, udang, lobster, ikan karang, berbagai jenis ikan hias, kerang, dan rumput laut yang diperkirakan berjumlah 12,54 juta ton pada tiap tahunnya.
Belum lagi kekayaan mineral di wilayah perairan, salah satunya adalah Laut Natuna yang hari ini menjadi sering diperbincangkan, dimana berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pad tahun 2020, Blok East Natuna mempunyai kandungan volume gas di tempat (Initial Gas in Place/IGIP) sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf), serta cadangan sebesar 46 tcf. Dan kekayaan gas alam yang dimiliki Natuna saat ini menjadi yang terbesar di kawasan Asia Pasifik. Tak ayal bila Tiongkok kerap berulah di wilayah ini, melihat dari potensi yang dimiliki Natuna sangatlah besar.
Selain itu berkaitan dengan posisi strategis Indonesia yang terletak dalam alur perairan perdagangan internasional, disisi lain kondisi ini menjadi hal yang dilematis. Karena menghadirkan adanya berbagai resiko ancaman seperti illegal entry, illegal fishing, transnational crime, separatisme, serta sengketa wilayah. Sehingga realita inilah yang penting bagi Pemerintah untuk memberi perhatian lebih terhadap keamanan laut, termasuk menjamin pengelolaan kekayaan laut.
Namun masih tumpang tindihnya sistem keamanan laut kita hari ini yang disebabkan setiap instansi maupun lembaga yang berkaitan dengan perairan memiliki tugas dan fungsi yang hampir sama, dan memiliki payung hukum tersendiri. Seperti contoh hari ini perbedaan pendapat mengenai KPLP dengan Bakamla RI terkait siapa yang lebih pantas menjadi Coast Guard karena masing masing lembaga ini diperkuat dengan UU yang berbeda. Yakni KPLP dengan UU Pelayaran tahun 2008 dan Bakamla dengan UU Keamanan Laut tahun 2014.
Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya fragmentasi aturan hukum di wilayah laut menyebabkan terjadinya koordinasi yang lemah antar aparat penegak hukum di laut akibat dari banyaknya instansi penegakan hukum yang kemudian sering dikeluhkan oleh pengguna laut.
Bayangkan saja bila ada satu kapal bisa ditangani oleh banyak lembaga, yang lucunya ketika ada kapal yang ditangkap oleh lembaga A, namun dibebaskan oleh lembaga B. Akibatnya penyelenggaraan penegakan hukum kita masih terlihat amburadul, faktor utamanya adalah tidak adanya satu undang-undang khusus yang
mengatur sistem keamanan laut nasional secara komprehensif sebagai acuan bagi lembaga penegak hukum di laut.
Namun sebetulnya tidak sulit dalam menyamakan persepsi terkait memadukan sistem keamanan laut kita. Karena sebetulnya tinggal kemauan dari kita semua, tentunya dengan menurunkan ego sektoral dari masing masing lembaga itu sendiri. Selain itu Presiden Joko Widodo juga sudah memberikan kode, pada saat melantik Kepala Bakamla RI (Laksdya Aan Kurnia) februari 2020 silam. Dimana Presiden memberikan gambaran bahwa Bakamla yang bakal menjadi embrio coast guardnya Indonesia. Lalu diperkuat lagi dengan pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD yang menyatakan Bakamla sebagai sentral pengamanan laut di Indonesia. Akan tetapi tanpa harus mengurangi wewenang lembaga lain, karena nantinya Bakamla yang akan mengkoordinir lembaga atau instansi terkait. Ibarat kata, Bakamla inilah yang menjadi Ketua Kelasnya. dan turunan itulah yang harus sama sama dirumuskan secara teknisnya melalui RUU Keamanan Laut.
Sehingga kehadiran Undang Undang Keamanan Laut ini menjadi darurat untuk segera dirancang dan disahkan melihat dinamika lapangan hari ini yang kian dinamis, dimana masalah kita lebih banyak berada dalam sektor ancaman keamanan yang bersifat non tradisionalis. Sehingga bila semuanya dilimpahkan menjadi tugas dan wewenang TNI AL saja. Tentunya akan menjadi repot sendiri. Selain itu melihat dari negara lain, seperti Tiongkok saja. lebih mengedepankan Coast Guardnya dengan melakukan patroli keamanan laut, bahkan tak tanggung tanggung memperkuat coast guardnya dengan berbagai macam Undang-Undang.
Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk memasukan RUU Keamanan Laut dalam Prolegnas Prioritas di tahun 2022 mendatang. Bagaimana diketahui bersama, Undang-Undang Keamanan Laut sebenarnya telah masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020. Namun, pemerintah menarik RUU tentang Keamanan Laut dari Prolegnas Prioritas 2020 dan digantikan dengan RUU Landas Kontinen.
Apabila nantinya Indonesia sudah memiliki Undang Undang khusus mengenai Keamanan Laut, nantinya masalah pengamanan eskalasi kedaulatan di laut, TNI AL tidak lagi sendirian. Karena Indonesia sudah memiliki coast guard yang komperehensif yakni Bakamla RI sesuai dengan fungsinya yaitu melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Serta hadirnya Bakamla RI bisa memperkuat simbol simbol kedaulatan negara di wilayah perairan Indonesia.
Founder Forum Intelektual Muda