“RESMI! Vanessa Angel Ditahan”. Demikian headline media online hari ini, menjadi trending topic di penghujung Januari. Vanessa disangka melanggar UU ITE Pasal 27 Ayat 1 dengan ancaman pidana penjara 6 tahun. “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Polemik akan posisi Vanessa yang seharusnya hanya menjadi saksi mahkota guna mengungkap kejahatan perdagangan manusia yang lebih besar akhirnya kandas. Penahanan inipun tak lama setelah Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jatim.
Pertanyaan usil yang kemudian muncul dari para netizen adalah bagaimana dengan prostitusi yang beroperasi tidak secara online dengan tidak menyebarkan foto atau video bermuatan pornografi orang yang bersangkutan? Mereka tidak bisa dipidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tak mengatur soal prostitusi. Hukum positif di Indonesia hanya menyentuh kasus perzinahan yang itupun baru bisa ditangani polisi jika dilaporkan. Satu-satunya pihak yang dapat diseret ke penjara adalah sang muncikari. Mereka dapat dikenai Pasal 296 KUHP. “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Pada tahun 2015 lalu, pidana penjara 1 tahun 4 bulan telah dijatuhkan pada muncikari artis, Robbie Abbas. Sanksi ini sama dengan tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum.
Dalam dunia prostitusi online artis, Vanessa menjadi orang pertama yang ditahan. Bak kotak pandora dalam mitologi Yunani. Seratus lebih nama model dan artis dari telepon seluler para muncikari yang “memasarkan” Vanessa telah dikantongi polisi. Satu persatu nama mulai dipanggil dan dimintai keterangan.
Namun lagi-lagi, Polda Jatim tetap acuh dengan asas praduga tak bersalah yang seharusnya melekat pada para artis yang diduga terlibat. In-konsistensi. Terkadang menyebut singkatan nama, terkadang nama lengkap, disertai data-data penunjang pula. Sementara media? Sejak penggerebekan Vanessa di Surabaya, telah menanggalkan kode etik jurnalistik. Secara terang benderang menangkap wajah para terduga pelaku prostitusi dengan kamera AVCam tajam mereka.
Begitupun dengan penulisan berita di televisi. Hari ini setelah siaran pagi, seperti biasa saya diskusi ringan dengan para produser dan awak redaksi lainnya. Terkait penyebutan nama artis yang baru dipanggil sebagai saksi terkait kasus ini, Riri Febrianti. Naskah mencantumkan nama lengkap berdalih sesuai keterangan polisi, sementara saya memilih untuk menyebutnya, RF. Diskusi bermuatan hukum disertai falsafah kehidupan itu berakhir dengan kelakar. Yang terpenting dalam penyebutan nama, apalagi singkatan tak boleh salah. Sebagai contoh nama saya, NL, jangan salah ditulis ML karena M terletak di sebelah N pada keyboard…!
Krik.. krik.. krik…
Selamat malam Vanessa, semoga kau tabah menghadapi ujian ini. Umurmu masih sangat belia, masa depanmu masih terbentang lebar. Bermimpi indahlah….
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari