Sebagai “salah satu mesin pelaksana kontrak sosial”, birokrasi harus mampu mendekatkan layanan dan menciptakan program berbasis kebutuhan masyarakat. Hal ini untuk memastikan kehadiran negara dalam “wajah yang ramah” yang siap membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi warga negaranya secara nyata.
Negara tetangga kita Singapura, Swiss, Norwegia, Kanada dan Finlandia adalah contoh negara maju yang mengandalkan birokrasinya sebagai katalis pembangunan, ujung tombak layanan publik, dan penunjang daya saing negaranya. Negara-negara tersebut pada tahun 2017 adalah negara berperingkat tertinggi dalam Government Effectiveness Index (GEI). Lalu dimana posisi Indonesia? birokrasi kita terus bergerak maju, walaupun denyutnya tidak terlalu cepat. Apabila melihat Skor GEI Indonesia tahun 2017 (skor 54,8 skala 100) ini memang skor terbaik yang pernah kita raih sepanjang sejarah penilaian kita sejak tahun 1996, namun bahkan di Asia Tenggara skor itu masih jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan hanya unggul sedikit dari Vietnam dan Filipina (Bank Dunia, 2018).
Indeks ini hanyalah salah satu instrumen yang dapat dipakai untuk melihat efektivitas pemerintah dengan beberapa parameter kunci yaitu, 1) Kualitas layanan publik, 2) Derajat independensi birokrasi terhadap intervensi politik; 3) Kualitas formulasi dan implementasi kebijakan, dan 4) Kredibilitas Pemerintah. Parameter tersebut tentunya sangat terkait antara lain dengan aspek regulasi, tata laksana, pengawasan internal dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sudah menjadi prioritas pemerintah dalam suatu agenda besar Reformasi Birokrasi.
Mempercepat Nadi
Di dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2016, Presiden Joko Widodo telah menegaskan bahwa tujuan reformasi birokrasi bukan hanya mendapatkan birokrasi profesional yang mampu melayani rakyat, tapi juga meletakkan pondasi yang diperlukan bangsa untuk memenangkan persaingan global. Arahan Kepala Negara tersebut sejatinya mengandung makna mendalam, bahwa birokrasi kedepan harus mampu memberi kemudahan untuk mendukung produktivitas seluruh lapisan masyarakat agar dapat melaju jauh, lebih maju dan sejahtera. Presiden juga berkali-kali menegaskan bahwa urusan layanan publik harus cepat, berkualitas baik, tidak berbelit, dan harus bebas dari pungli. Oleh karena itu, guna mewujudkan hal tersebut setidaknya terdapat dua faktor utama yang menurut penulis harus diperkuat untuk mempercepat denyut reformasi birokrasi, yaitu pembenahan orientasi kinerja, penguatan SDM ASN, dan penguatan partisipasi publik.
Faktor pertama adalah pembenahan orientasi dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Orientasi dan akuntabilitas kinerja seluruh instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah kedepan tentunya tidak boleh lagi hanya puas dengan indikator proses seperti berapa besar serapan anggaran, bagaimana opini terhadap laporan keuangan, serta hal lain yang bersifat prosedural. Indikator kinerja birokrasi (khususnya di kementerian teknis dan pemerintah daerah) kedepan harus berubah dari indikator proses dan output based menjadi outcome dan impact based. Sederhananya, instansi pemerintah tidak boleh lagi puas dengan indikator kerja piecemeal seperti berapa kali melaksanakan pelatihan wirausaha, tanpa “peduli” apakah orang yang dilatih itu mengerti dan paham terhadap materi yang dilatih, atau lebih jauh lagi apakah setelah ikut pelatihan peserta pelatihan itu membuka usaha, atau justru malah menganggur. Indikator kinerja kedepan harus dapat diukur seberapa besar manfaat program yang dilaksanakan oleh instansi tersebut kepada penyelesaian masalah publik, atau seberapa besar capaian progam berdampak kepada pencapaian sasaran pembangunan nasioal.
Instrumen akuntabilitas kinerja pemerintah yang dikembangkan oleh KemenPAN&RB saat ini memang sudah mencoba mengukur hal ini, walaupun masih harus ditingkatkan ruang lingkupnya. Pembenahan ini harus dilakukan sejak perencanaan nasional untuk kemudian dilakukan cascading ke seluruh indikator kinerja instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah (dari perencanaan, implementasi, sampai ke pelaporan program). Selain indikator kinerja, perspektif bahwa anggaran suatu instansi harus terserap maksimal, agar di tahun berikutnya mendapat tambahan anggaran adalah mind set sesat yang harus ditinggalkan, dan segera digantikan dnegan paradigma seberapa efektif kualitas belanja anggaran instansi instansi tersebut mampu mencapai target pembangunan, misalnya mengurangi angka kemiskinan, membuka lapangan kerja, meningkatkan akses pendidikan, meningkatkan kualitas kesehatan, serta seberapa besar mampu menarik investasi untuk pembangunan di daerahnya.
Hal tersebut di atas dapat diimplementasikan beriringan dengan mekanisme reward and punishment yang adil dan objektif. Bagi instansi yang mencapai target berorientasi outcome tersebut, maka dapat dilakukan penambahan anggaran termasuk bagi ASN-nya diberikan insentif materi tambahan ataupun mendapat kesempatan promosi karir yang lebih cepat. Sebaliknya, bagi instansi yang tidak mencapai target outcome dalam waktu tertentu, maka dapat dilakukan pemotongan anggaran terhadap instansinya, sejalan dengan diberikan penguatan kapasitas organisasi yang dibutuhkan agar mampu mencapai targetnya dengan baik kedepan.
Faktor kedua adalah ASN. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN adalah UU yang merupakan inisiatif DPR bersama pemerintah yang menjadi jangkar penerapan sistem merit di internal birokrasi. Penerapan Meritokrasi proses seleksi dan pola karir di dalam karakteristik pekerjaan yang memiliki spesifikasi khusus adalah pendekatan terbaik yang harus dilakukan di berbagai organisasi termasuk di organisasi pemerintah (Holland dan Lenders, dalam Lewiss dan Coghill ed., 2016). Di dalam sistem merit, kualifikasi, kompetensi serta kinerja dan loyalitas terhadap NKRI menjadi syarat utama. Penerapan secara penuh dari sistem merit ini juga dimaksudkan untuk menghilangkan mekanisme “urut kacang”, dan virus jual beli jabatan yang marak terjadi sebagai akibat dari masih tingginya mentalitas feodal di dalam birokrasi.
Oleh karena itu, pemerintah saat ini terus berupaya menjalankan UU ASN secara konsisten dengan menerbitkan payung aturan pelaksananya, termasuk dalam penyelesaian tenaga honorer. Aturan tentang Manajemen PNS dan Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sudah diterbitkan, selain itu penyelesaian tenaga honorer melalui seleksi berbasis merit baik jalur CPNS maupun CPPPK pun sudah dilakukan oleh pemerintah Jokowi-JK. Hal ini semata untuk menjamin bahwa kualitas dan integritas ASN adalah yang utama, karena mereka adalah ujung tombak layanan kepada masyarakat.
Di dalam praktiknya, di tangan 4,35 juta ASN negara dihadirkan di tengah masyarakat. Oleh karena itu kualitas SDM harus terus ditingkatkan. Perbaikan di dalam mekanisme rekrutmen ini coba diwujudkan oleh pemerintah dengen penerapan Computer Assisted Test (CAT) yang menjadikan kualifikasi, kompetensi, serta pengalaman sebagai prasyarat dasar. Setelah proses rekrutmen, untuk meningkatkan kualitas ASN, maka diperlukan penguatan pola karir yang baik dan insentif yang lebih sejahtera untuk ASN. Penguatan sistem manajemen talenta ASN dengan instrumen yang berbasis pada kompetensi dan kinerja, perbaikan sistem gaji dan tunjangan menuju single salary system, serta mekanisme golden handshake dan pensiun yang menggunakan skema fully funded adalah kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah kedepan. Pengawasan sistem merit dan kinerja Komisi Aparatur Sipil Negara sebagai pengawas sistem merit juga harus terus diperkuat, agar dapat menjadi moral compass yang mampu membatasi intervensi politik transaksional yang terlalu dalam terhadap penentuan jenjang karir ASN.
Kedua usulan langkah tersebut tentunya bukan dimaksudkan untuk menyelesaikan seluruh masalah di birokrasi, tetapi penulis yakin, apabila dilakukan secara konsisten maka denyut birokrasi akan terasa lebih cepat dan mampu diajak berlari untuk membawa bangsa ini bergerak maju, berdaya saing, dan sejahtera lebih cepat, menuju 100 tahun kemerdekaan di tahun 2045. Semoga.
Penulis adalah Tenaga Ahli Muda di Kedeputian II Kantor Staf Presiden