KEPOLISIAN Republik Indonesia (POLRI) memiliki peran sangat penting. Ia adalah unsur pemerintahan negara yang bertugas memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara, akan tetapi dengan pendekatan, tugas, dan cara yang berbeda.
POLRI berperan sebagai aparat penegak hukum yang bertugas menjaga ketertiban dan mengayomi masyarakat demi hadirnya rasa aman dan nyaman masyarakat. Dengan kehidupan masyarakat yang aman dan nyaman tentu akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan kemajuan negara. Tidak ada kemajuan di tengah kekerasan dan kejahatan, yang ada hanya ada teror dan ketakutan. Setiap anggota POLRI adalah petugas pemerintah yang di pundaknya ada tanggung jawab atas nama pemerintahan negara.
Menjadi anggota POLRI bukanlah hal yang mudah. Seleksi administrasi, tes psikologi, tes kompetensi, hingga tes akademik harus dilewati sebelum dapat menjabat sebagai anggota. Artinya, mereka yang menjadi anggota tentu sudah memenuhi persyaratan administrasi, memiliki emosi yang matang dengan pemetaan kecenderungan hasil dari tes psikologi, dan memiliki kemampuan intelektual memadai. Setidaknya untuk memahami apa sebenarnya tugas Kepolisian.
Polisi diharapkan dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Jadi, penting bagi anggota Kepolisian untuk menaati kode etik dan aturan serta norma-norma yang sudah ditetapkan sebagai acuan kerja juga panduan perilaku keseharian anggota Kepolisian.
Memang paradigma sebagai Polisi Sipil adalah perubahan paradigma besar bagi POLRI. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah karena identitas Polisi saat masih menjadi bagian dari ABRI, satu kekuatan kelompok negara (pemerintah) yang terlatih dan bersenjata sehingga tidak jauh dari watak militeristik dan sarat dengan pola tindak kekerasan.
Namun, Polisi merupakan anggota sipil yang tidak menjadi pengecualian hukum. Jika polisi terduga melakukan pelanggaran, maka akan ada prosedur yang harus mereka jalani hingga mendapat sanksi yang sepadan. Salah satu sanksi tersebut adalah pemberhentian tidak dengan hormat.
Jika polisi melakukan tindak pidana dan bukan hanya pelanggaran kode etik, maka polisi juga harus tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Artinya, anggota kepolisian yang terlibat dalam pelanggaran sekaligus tindak pidana harus menjalani sidang disiplin dan sidang perkara pidana.
Pada tanggal 13 Oktober 2021, viral video rekaman sebuah peristiwa yang menguras emosi kita sebagai warga negara yang sadar akan Hak Asasi Manusia (HAM) dan memahami bagaimana Polisi seharusnya bekerja. Sebuah video yang menunjukkan terjadinya peristiwa anggota Polisi membanting mahasiswa ala “Smackdown” di Tangerang, Banten.
Himpunan Mahasiswa Tangerang (HIMATA) Banten Raya menggelar demonstrasi di depan Kantor Bupati Tangerang pada Rabu siang 13 Oktober 2021. Aksi ini digelar dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-389 Kabupaten Tangerang, dengan menyuarakan aspirasi terkait proses pembangunan daerah Kabupaten Tangerang. Aksi unjuk rasa ini berujung bentrok dengan pihak kepolisian hingga terjadi represi terhadap peserta aksi.
Dalam video terlihat jelas anggota Kepolisian dengan sangat terlatih membanting salah satu mahasiswa peserta unjuk rasa dengan cara mencekik di bagian leher dari arah belakang dan mengangkat tubuh korban ke udara, lalu membantingkannya ke bawah. Korban sempat kejang-kejang dan tidak sadarkan diri, meskipun korban akhirnya sadar kembali dan tidak mengalami cacat fisik atau berujung kematian, akan tetapi kejadian tersebut merupakan pelanggaran serius.
Setelah kejadian yang menciderai keadilan dan melawan hak konstitusional masyarakat tersebut terjadi, oknum anggota polisi pelaku kekerasan dipertemukan dengan korban. Lalu, diadakan prosesi saling memaafkan. Kejadian ini menutup aspek hukum yang seharusnya dikedepankan dalam penanganan masalah sebagaimana biasanya ketika masyarakat biasa melakukan pelanggaran dan atau tindakan kekerasan, selalu ada ‘kita lanjutkan sesuai prosedur hukum yang berlaku’ atau ‘kita hormat proses hukum yang berlangsung’.
Tindak kekerasan yang terjadi bukanlah dilakukan oleh seorang petani, buruh, tukang becak, atau sesama mahasiswa. Namun, dilakukan oleh anggota Kepolisian yang sudah mengikuti seleksi ketat saat penerimaan anggota Kepolisian. Ia berada di bawah komando jajaran pimpinannya. Ia mempunyai kode etik yang ketat dan prosedur kerja yang jelas, maka seharusnya proses hukum terjadi lebih ketat, jelas dan transparan.
Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo (Div Propam Polri) pada Rapat Kerja Teknis di Ruang Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan pada Selasa, 13 April 2021 menunjukan adanya peningkatan pelanggaran oleh Anggota Kepolisian.
Rincian kasus tersebut di antaranya pelanggaran disiplin, terdapat 2.503 kasus di 2019, 3.304 kasus di 2020 dan 536 kasus sejak Januari hingga awal April 2021. Lalu pelanggaran kode etik profesi, terdapat 1.021 kasus di 2019, 2.081 kasus di 2020 dan 279 kasus sejak Januari hingga awal April 2021. Kemudian yang disertai pelanggaran pidana oleh anggota Polri terdapat 627 kasus di 2019, 1.024 kasus di 2020 dan 147 kasus sejak Januari hingga awal April 2021.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, jumlah pelanggaran hukum oleh polisi sebanyak 51 kasus pada 2019 kemudian meningkat dua kali lipat pada 2020 dengan 105 kasus. Sedangkan untuk dari awal tahun hingga Juli 2021 ini sudah terdapat 46 pelanggaran oleh polisi terhadap aturan hukum.
Pelanggaran terbanyak ialah penangkapan sewenang-wenang dengan 85 perkara. Bentuk-bentuk penggunaan kewenangan berlebih antara lain adalah penyiksaan dengan 40 kasus. Kemudian kriminalisasi warga 36 kasus, penembakan dengan 32 kasus, pembubaran aksi atau demo 29 kasus.
Pelanggaran lain adalah keterlibatan polisi sebagai pelaku penganiayaan dengan 27 kasus. Kemudian ada 13 kasus extra judicial killing. Seluruh tindakan pelanggaran hukum oleh aparat kepolisian ini mengakibatkan timbulnya sekitar 13.000 korban. Mereka menjadi korban kekerasan aparat saat jadi pelaku/tersangka. Masyarakat umum seperti buruh dan sopir kendaraan daring juga jadi korban, selain ada mahasiswa, aktivis, pengacara, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas.
Dalam situasi dan kondisi demokrasi Indonesia yang terus menurun, kebebasan sipil terus mengalami pengkerangkengan, ada pihak yang paling disoroti dan memiliki survey cukup tinggi sebagai institusi yang berpotensi melanggar kebebasan sipil, khususnya dalam ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Berdasarkan survei Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menunjukan ada 34.9% responden menyatakan bahwa Polisi paling berpotensi melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Kemudian disusul 31% responden menilai pemerintah pusat yang paling berpotensi melanggar kebebasan berpendapatan dan berekspresi. Disusul oleh organisasi massa dengan 30,2% responden yang menyatakan demikian, 19,5% responden yang menilai bahwa pemerintah daerah menjadi pihak yang paling berpotensi melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan ada 17,3% responden menilai teror siber paling berpotensi melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Pada awalnya, penulis juga sangat ingin menyuguhkan data pada tahun 2022 hingga sekarang. Namun penulis mengurungkan niat tersebut, karena masih sangat ingat di tahun 2022 ada beberapa kejadian besar yang cukup menggambarkan, yaitu ada kasus Ismail Bolong (mantan Anggota Kepolisian Resor) terkait tambang ilegal, kasus Tenddy Minahasa (mantan Kepala Kepolisian Daerah) terkait kasus narkotika, kasus Ferdy Sambo (mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Polri) dengan kasus pembunuhan berencana, dan tentu saja Kasus Tragedi Kanjuruhan yang telah menjadi sorotan dunia internasional. Penulis kira empat kasus ini sudah sangat cukup untuk menggambarkan kekelaman kepolisian pada tahun 2022.
Data-data dan kejadian-kejadian besar lain tentu masih banyak. Hal ini menunjukan bahwa ada sebuah masalah sistemik dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia yang harus segera diselesaikan. Sejak rekrutmen, pendidikan, pelatihan, pengawasan lapangan, hingga harus ada dan membuka kesempatan kelompok di luar lembaga kepolisian untuk memantau, mengawasi dan memberi masukan terhadap kinerja kepolisian.
Harapannya secara individu anggota ataupun secara institusi Kepolisian ke depan tidak lagi dapat semena-mena, tidak ada lagi kekerasan dan kejahatan yang dilakukan Kepolisian baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Harus ada kontrol yang tentu dibangun dengan prinsip saling menjaga. Komitmen terkait Citra Polri yang digagas oleh Pimpinan Tertinggi Kepolisian, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Listiyo Sigit Prabowo hari ini harus diwujudkan oleh seluruh jajarannya. Ada 8 komitmen yang diusung, di antaranya:
- Menjadikan Polri sebagai institusi yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan (PRESISI).
- Menjamin keamanan untuk mendukung program pembangunan
- Menjaga soliditas
- Meningkatkan sinergisitas dan soliditas TNI Polri, serta bekerjasama dengan APH dan kementerian/lembaga untuk mendukung dan mengawal program
- Mendukung terciptanya ekosistem inovasi dan kreatifitas yang mendorong kemajuan
- Menampilkan kepemimpinan yang melayani dan menjadi
- Mengedepankan pencegahan permasalahan, pelaksanaan keadilan restoratif dan problem
- Setia kepada NKRI dan senantiasa merawat.
Citra ini pada akhirnya hanya sebatas angan. Hasil jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas pada 25 Januari-4 Februari 2023 menunjukkan bahwa Citra Polri berada di posisi kedua paling bawah dengan penilaian citra buruk yang paling besar yakni dianggap bercitra buruk oleh 41 persen responden.
Komitmen perubahan di tubuh kepolisian harus ditagih oleh seluruh masayarakat Kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) sebagai penanggung jawab penuh keberlangsungan kinerja POLRI hari ini. Mendukung Kapolri bersama jajaran untuk segera mengambil langkah-langkah progresif dalam upaya memperbaiki Kepolisian Republik Indonesia, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Citra Kepolisian yang ambruk adalah risiko yang harus ditanggung, akan tetapi yakinlah dari krisis akan selalu lahir kemajuan. Citra yang baik akan lahir dari kinerja yang baik.
Setidaknya ada beberapa langkah sistemik yang dapat dilakukan dalam jangka pendek, yaitu adanya pengetatan rekrutmen, pengetatan pendidikan kepolisian terutama terkait pemahaman Peraturan Perundang-Undangan, Kode Etik, Hak Asasi Manusia (HAM), dan Pemahaman Kebudayaan Nusantara berlandaskan Pancasila. Hal ini agar lahir anggota Kepolisian yang memiliki karakter Keindonesiaan serta memahami Peraturan Perundang-Undangan dan norma-norma kehidupan yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia.
Setiap anggota Kepolisian semestinya memiliki sensitifitas terhadap HAM dan budaya masyarakat nusantara. Tidak ada lagi kekerasan, semua hidup rukun, dan hak masyarakat terpenuhi, termasuk hak menyampaikan pendapat dan berekspresi sebagai jantung demokrasi Indonesia.
Kepolisian harus menjadi garda terdepan dalam menjamin hak berpendapat, berekspresi dan berorganisasi sebagai hak dasar warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Maka, siapa pun pihak yang menghalangi dan merebut hak-hak tersebut adalah penjahat HAM dan merupakan sebuah pelanggaran atas konstitusi. Kepolisian harus menjadi garda terdepan dan terlibat aktif menjamin dan melindungi hal tersebut.
Kapolri tidak boleh memiliki keraguan sedikit pun untuk menegur, mencopot dan memberi hukuman kepada pimpinan-pimpinan dan atau anggota Kepolisian baik tingkat Polsek, Polres, Polda, dan internal Mabes Polri sekalipun jika memang tidak mampu mendukung dan melaksanakan tugas serta kewajiban Polri dan melaksanakan komitmen Kapolri. Apalagi jika melakukan pelanggaran, kekerasan dan kejahatan.
Penulis meyakini bahwa Kapolri sangat sanggup melakukan perbaikan-perbaikan tanpa keraguan apa pun. Serta, dengan situasi seperti saat ini, Kapolri akan sangat terbuka terhadap kritik dan saran dari banyak pihak demi membuminya citra presisi POLRI.
- Ketua PB PMII Bidang Hubungan Organisasi Kemahasiswaan, Kepemudaan, LSM dan Ormas
- Ketua ICCONNEC Foundation
Menyukai ini:
Suka Memuat...