“Setiap Warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” (UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1)
Sebagaimana salah satu tujuan Negara Indonesia “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan bernegara tersebut kemudian ditegaskan dalam Batang Tubuh UUD 1945 Pasal 31.
Masuknya Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) sebagai RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020-2024 merupakan angin segar bagi seluruh rakyat Indonesia di tengah permasalahan Sistem Pendidikan Nasional yang kompleks.
Dalam sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia, komitmen negara di bidang pendidikan berprogresi ke dalam tiga undang-undang yang mengatur tentang sistem pendidikan nasional. Yaitu, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950. UU Nomor 12 Tahun 1954, UU ini merupakan tonggak pondasi awal terciptanya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasca Kemerdekaan Indonesia. UU ini meliputi Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh Indonesia. Sejak saat itu, seiring semakin membaiknya kondisi negara secara umum, penataan sistem pendidikan nasional terus menerus dilakukan perbaikan-perbaikan. Walaupun dalam kondisi serba terbatas, usaha mencerdaskan kehidupan bangsa pada masa revolusi ini, telah memperlihatkan hasil yang signifikan. Hal ini tampak dari jumlah anak sekolah pada tahun 1950an yang melonjak pesat dibanding pada masa penjajahan.
Meskipun di sisi lain pendidikan nasional pada masa ini masih belum mencerminkan adanya kesatuan. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 hanya mengatur pendidikan dan pengajaran di sekolah, sementara penyelenggaraan pendidikan tinggi belum diatur. Undang-Undang yang mengatur penyelenggaraan Pendidikan Tinggi baru lahir pada tahun 1961 dengan disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1961 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, kemudian dirumuskan setelah kurun waktu kurang lebih 39 tahun dari UU sebelumnya. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional meneguhkan dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut termaktub dalam Bab II pasal 2 yang bunyi lengkapnya adalah “Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. Berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989, pembangunan pendidikan mengusahakan pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi mutunya dan mampu mandiri, serta pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh serta terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran, paham, dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
2) dan 3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Komitmen bernegara dalam membangun potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dan kemudian sampailah pada Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2022 yang merupakan formulasi dari 4 hal pokok yaitu; 1. Kebijakan standar pendidikan yang mengakomodasi keragaman antara daerah dan inovasi; 2. Kebijakan wajib belajar dilengkapi dengan kebijakan hak belajar; 3. Kebijakan penataan profesi guru agar semakin inklusif dan profesional; 4. Kebijakan peningkatan otonomi serta perbaikan tata kelola pendidikan tinggi. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam konferensi pers terkait Madrasah hilang dari RUU Sisdiknas.
Namun hal yang diungkapkan oleh Menteri Kemendikbud tidak dijelaskan secara jelas dan rinci sehingga terkesan seperti meraba-raba. Pun dalam Penyusunan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional terkesan tidak transparan, tidak terbuka dan terburu-buru terbukti dengan Naskah Akademik Standar Nasional Pendidikan (NSP) merupakan rujukan hasil program riset dari suatu lembaga riset yang hanya melakukan penelitian di Tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Bukit Tinggi, Waykanan dan Kebumen, sehingga kurang representatif untuk 514 Kabupaten/Kota di Indonesia. Belum lagi tidak adanya pembedahan atau penjelasan secara mendalam kenapa harus memakai kurikulum “Merdeka Belajar”. Jika naksah akademik RUU Sisdiknas tidak ada penjelasan secara mendalam, kemanakah masyarakat harus mencari penjelasan tersebut.
Hak Mendapatkan Pendidikan tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945 ayat 1 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, begitupula salah satu tujuan NKRI yang tercantum dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan ini kita sepakat bahwa Hak Pendidikan adalah hak semua orang. Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia bukan Hak Privilage, berhak mendapat pedidikan yang berkualitas sejak mereka lahir (Unesco 2019). Sehingga negara mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi dalam hal ini. Namun di dalam pasal 12 RUU Sisdiknas berisi masyarakat turut pembiayaan pendidikan. Ini juga yang tidak dijelakan secara dalam, padahal yang seperti kita ketahui bahwa yang membuat masyarakat tidak mengeluarkan dana pendidikan lagi adalah Dana Bos, sehingga ini berindikasi Dana bos tidak ada lagi. Serta hilangnya Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) karena didalam RUU Sisdiknas tidak dijelaskan mengenai guru diwajibkan lulusan D4/S1.
Belum lagi persoalan akan adanya evaluasi langsung terhadap siswa oleh lembaga swasta selain guru, sekolah dan pemerintah. Seolah-olah ada yang lebih kompeten daripada lembaga di bawah Kemendikbud itu sendiri. Jelas jika ini terjadi, maka akan mencederai martabat guru dan adanya perbedaan besar antara apa yang diajarkan dengan apa yang dievaluasi. Bukan itu saja, muatan wajib dan mata pelajaran wajib dalam sekolah tidak tertulis, padahal muatan lokal bertujuan mempersiapkan murid agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungan, kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional maupun pembangunan setempat. Sehingga sudah seharusnya ada muatan lokal seperti pelajaran sejarah, bahasa setempat untuk menjadi penerus bangsa yang berjiwa patriotisme dalam naskah RUU Sisdiknas, karena ini penting dan tidak seharusnya dihilangkan agar kita tahu sejarah perjuangan dan belajar dari pengalaman masa lalu. Jika tidak adanya muatan lokal maka akan berindikasi mudahnya masuk ajaran-ajaran radikalisme sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989.
Bahkan bentuk-bentuk pendidikan seperti SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/SMK/MA tidak masuk dalam batang tubuh dari RUU Sisdiknas ini, dengan alasan penamaan secara spesifik tidak terikat di undang-undang sehingga lebih fleksibel dan dinamis. Kalau kita telisik nama apalagi yang perlu diubah dalam bentuk pendidikan seperti SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/SMK/MA, yang menjadi permasalahan di kemudian hari adalah apabila tidak ada penamaan jelas Sekolah/Madrasah di batang tubuh maka tidak ada payung hukum yang jelas. Integrasi pengakuan secara legal konstitusional atas eksistensi bentuk pendidikan seperti Madrasah di dalam batang tubuh dan dalam penjelasan RUU Sisdiknas akan sangat berbeda. Penjelasan tidak mengikat dan mempunyai satu kesatuan dengan batang tubuh sehingga Madrasah itu ditiadakan, dan sangat bertolak belakang dengan UU Sisdiknas 2003 yang menyebutkan bentuk pendidikan secara eksplisit.
Dengan demikian perlu adanya trasparansi dan partisipasi publik dalam konteks stakeholder pendidikan dalam penyusunan Rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan semangat UUD 1945 sudah seharusnya kita peduli dalam mengawal kebijakan-kebijakan pendidikan.
Ketua Bidang Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan KOPRI PB PMII