Adalah Presiden Soekarno, salah satu pemimpin dunia, yang menyadari pentingnya olahraga sebagai sarana mempersatukan bangsa.
Ketika masih dilanda revolusi dan perang kemerdekaan, Soekarno menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Solo pada 8-12 September 1948. Selain untuk mem persatukan bangsanya, PON juga ditujukan untuk menunjukkan kepada dunia tentang eksistensi Indonesia se bagai bangsa merdeka. Pasca-kemerdekaan, nasiona lisme Indonesia yang antikolonial ternyata tidak cukup mempersatukan bangsa Indonesia di tahun-tahun awal kemerdekaan.
Berkecamuknya pe rang kemerdekaan dan menguatnya rivalitas politik dan ideologi sesama anak bangsa telah mengoyak rasa per sa tuan. Soekarno mencari ruang di luar politik untuk menyatukan bangsanya tanpa membedakan ideologi, politik, dan kelas sosial.
“Ruang kebangsaan” itu ditemukan Soekarno dalam olah raga. Dalam keadaan daerahnya dipersempit akibat Perjanjian Renville dan di bawah den tuman meriam Belanda, para pemimpin Indonesia berkumpul di Lapangan Sriwedari Solo untuk menyaksikan parade dan pertandingan olahraga yang pertama kalinya diselenggarakan di tingkat nasional. Peristiwa yang tampak sederhana ini memiliki tujuan strategis untuk memperkukuh rasa kebangsaan Indonesia.
Perjuangan Nasional
Bagi Soekarno, olahraga bukan sekadar ber-men sana in corpore sano atau untuk ber”rekreasi” saja, tapi memiliki tujuan yang lebih tinggi, yaitu untuk cita-cita nasional. Olah raga menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia untuk meng isi kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agus tus 1945, yaitu membangun masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila serta membentuk persahabatan dan perdamaian dunia yang kekal dan abadi.
Dengan demikian olahraga tidak dapat dipisahkan dari tujuan perjuangan nasional. Karenanya olahraga harus menjadi gerakan nasional. Menjadi alat penggerak massa, alat pembentuk ketahanan kepribadian bangsa, alat pembangunan ketahanan militer, alat pembangkit daya ketahanan bangsa di segala kehidupan, alat penggelora semangat kebangsaan serta pembangunan bangsa, alat memperkokoh persatuan nasional dan untuk memupuk jiwa gotong-royong.
Dalam amanatnya di depan olahragawan yang akan berlaga di Asian Games dan Thomas Cup di Sasana Gembira Bandung pada 9 April 1961, ditegaskan oleh Soekarno bahwa olahraga menjadi bagian dari Revolusi Kelima, yaitu revolusi manusia Indonesia. Dengan revolusi olahraga akan terbentuk “manusia Indonesia baru” yang berani melihat dunia dengan muka yang terbuka, tegak fisik, mental kuat, rohani kuat, jasmani kuat.
Membentuk manusia Indonesia baru adalah tujuan yang dicanangkan Soekarno pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956 tentang Revolusi Mental. Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.
Dalam gerakan Revolusi Mental, olahraga menjadi sarana penting tidak hanya untuk melenyapkan warisan mental kolonial, tapi juga untuk membangun satu nation Indonesia. Dengan prestasi olahraga, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang mulia, bangsa yang tegak berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya.
Karena itu olahraga tidak dapat dipisahkan dengan tujuan menjunjung tinggi nama dan kehormatan bangsa dan negara. Pemikiran itulah yang mendasari Soekarno menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV pada 1962 di Jakarta.
Maka ketika negara membutuhkan anggaran berjuta-juta dolar untuk membikin bangunan-bangunan Asian Games, Soekarno mengatakan itu bukan untuk kemegahan pribadinya, tapi untuk nama Indonesia, untuk kepentingan Indonesia, untuk keagungan Indonesia, dan untuk kemuliaan Indonesia.
Juga ketika Soekarno meminta arsitek-arsitek dari Uni Soviet membikinkan atap temugelang Stadion Utama Senayan, yang akan dijadikan arena Asian Games, awalnya ditanggapi tidak lazim. Karena tidak ada di tempat lain di dunia stadion yang atapnya temugelang, yang lazim cuma sebagian saja atapnya.
Tapi akhirnya apa yang terjadi, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memiliki stadion utama beratap temugelang yang mampu memukau yang melihatnya. Dengan menerima menjadi tuan rumah Asian Games 1962, Soekarno dengan cerdas menjadikan momentum tersebut tidak hanya untuk mem persatukan bangsanya, tapi juga untuk menunjukkan prestise Indonesia di mata internasional.
Menurut Soekarno, Asian Games diadakan untuk “mempertegakkan nama Indonesia yang sejak 1945 kembali ke gelanggang internasional”. Maka setiap olahragawan yang ikut dalam Asian Games harus berdedikasi dan mempersembahkan hidup untuk nama Indonesia.
Selain sebagai simbol “solidaritas nasional”, olahraga bagi Soekarno juga menjadi forum “solidaritas internasional” negara-negara pasca kolonial untuk terus melawan neokolonialisme-imperialisme (nekolim). Pada Asian Games 1962, Soekarno menolak delegasi atlet dari Israel dan Taiwan.
Israel dianggap melakukan penjajahan atas bangsa Palestina. Sementara sikap terhadap Taiwan adalah untuk menghormati Republik Rakyat China. Muatan solidaritas internasional anti nekolim makin jelas ketika Soekarno menggagas Games of the New Emerging Forces (Ganefo) pada 1963.
Perhelatan ini diselenggarakan sebagai reaksi atas keputusan International Olympic Committe (IOC) yang menskors Indonesia dari keanggotaannya. Tujuan Ganefo adalah untuk membangun satu arena keolahragaan sebagai suatu jembatan persahabatan yang kuat dan kokoh negara-negara the new emerging forces menuju perdamaian yang sempurna. Dalam konteks keolahragaan, masih sangat relevan dalam situasi kekinian membangun “solidaritas internasional” di mana masih terdapat negara-negara di sejumlah kawasan terlibat peperangan dan konflik bersenjata.
Asian Games 2018 dapat menjadi sarana untuk memajukan perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan dalam pembu kaan UUD 1945. Tentu situasi sekarang sudah berubah bila dibandingkan dengan situasi di era Asian Games 1962.
Jika pada 1962 suasana politik masih kental dengan semangat dan solidaritas bangsa-bangsa Asia yang baru saja lepas dari kolonialisme, pada Asian Games 2018 dapat didorong menjadi perhelatan yang makin membukakan mata bangsa-bangsa di Asia tentang Indonesia dengan segala keanekaragaman budaya dan potensi pariwisatanya. Dengan demikian olahraga juga menjadi instrumen soft diplomacy bagi Indonesia kepada dunia, terutama kepada bangsa-bangsa di Asia.
Penulis adalah Deputi Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden (2015-2019).