Desas-desus peralihan tongkat komando di tubuh Polri hingga kini terus mendengung. Kapolri Jenderal Idham Aziz memang akan memasuki masa pensiun pada Januari 2021, bulan ini, pada usia 58 tahun. Sejumlah nama perwira tinggi (pati) sontak diradar memiliki kans besar menggantikan posisi Idham. Bahkan, Presiden Joko Widodo disebut telah mengantongi nama calon Kapolri baru. Meski begitu, pertaruhan pemilihan Kapolri selalu rumit: selain kriteria konstitusional, Kapolri baru punya beban menggawangi reformasi institusi dan soal-soal fraksionasi.
Menjadi elemen penting demokrasi, institusi penegak hukum ini telah mengukir catatan sejarah Bangsa Indonesia dengan seabrek dinamika yang merunutinya. Sejak Kapolri pertama Komjen Raden Said Soekanto Tjokrodiatmojo, lalu Jenderal Hoegeng Imam Santoso di awal Orde Baru, Jenderal Dibyo Widodo dan Jenderal Roesmanhadi pada reformasi, hingga Jenderal Idham Aziz saat ini, Indonesia telah melahirkan 25 Kapolri yang akan terus diingat dalam fragmen sejarah kepolisian. Sebagai civilan police yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, Polri akan terus didamba akuntabilitas peranannya.
Korps Bhayangkara ini juga disebut menjadi anak emas reformasi. Hipotesa ini bermula sejak pemisahan Polri dan TNI yang digagas melalui penetapan TAP MPR No. VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, termasuk TAP MPR No. VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Tugas konstitusional Polri dipertegas melalui Pasal 30 ayat (4) UUD Negara RI 1945. Konstitusi ini sekalaigus mengafirmasi kemandirian Polri dan bukan lagi angkatan perang.
Rumusan tersebut juga dijabarkan dalam UU No. 2/2002 tentang Polri yang diterbitkan pada 8 Januari 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. UU Polri tersebut antara lain berisi tentang pengangkatan Kapolri oleh Presiden harus disetujui DPR, termasuk dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional yang bertugas membantu Presiden membuat kebijakan dan memilih Kapolri. Tiga tahun pasca terbitnya UU Polri, institusi ini mulai merakit bangunan grand strategy Polri 2005-2025 berdasarkan SK No. 360/VI/2005.
Pasca ‘talak’ dari ABRI dan memiliki regulasi sendiri, Korps Bhayangkara selalu mendapat suntikan dana APBN bahkan lebih besar ketimbang TNI –yang hingga kini berada di bawah Kementerian Pertahanan. Sejak masa Presiden Jokowi, anggaran Polri dari alokasi APBN terus meningkat: Rp62 trilun pada 2015, Rp78 triliun pada 2016, Rp94 triliun pada 2017, Rp98,1 triliun pada 2018, Rp94,3 triliun pada 2019, dan terbesar Rp104,7 triliun pada 2020. Gemuknya anggaran tersebut rupuanya belum sepenuhnya menopang kinerja Polri yang akuntabel, profesional, dan modern.
Peta Reformasi Polri
Akselerasi reformasi Polri masih tersandung sejumlah soal krusial. Tentu saja, mesti diakui, kinerja Polri selama beberapa tahun terakhir memang harus diapresiasi. Pretasi, misalnya, dalam fungsi pengamanan dalam kontestasi Pemilihan Umum 2019 serentak dan Pemilihan Kepala Daerah 2020 serentak. Meski tak alpa evaluasi, tetapi Polri berhasil mengendalikan potensi kerawanan melalui pendekatan yang efektif.
Polri juga berhasil mengungkap kasus tindak pidana korupsi yang merugikan negara triliunan pada 2019. Penangkapan buron cessie Djoko Tjandra juga menjadi prestasi yang harus diapresiasi. Sepanjang 2019, Polri berhasil mencatat penurunan jumlah kasus kejahatan sebanyak 19,3 persen, atau sekira 53.360 kasus dari tahun sebelumnya.
Selama 2020, setidaknya lebih dari 7 ton narkotika berbagai jenis berhasil diungkap Polri. Prestasi penindakan kasus extra ordinary crime ini setidaknya menandakan bahwa Polri konsisten menjalankan tugas-fungsi sebagaimana diatur dalam undang-undang: menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan melindungi, mengayomi, melayani, serta menegakkan hukum.
Meski begitu, sejumlah catatan buruk institusi kepolisian juga terekam melalui beberapa ihwal. Pertama, perilaku polisi yang cenderung brutal dan militeristik. Praktik kekerasan justru memang sering terlihat digunakan oleh polisi dalam menegakkan hukum dan menjaga ketertiban publik. Instrumen seperti kode etik kepolisian dan pedoman implementasi penghormatan hak asasi seperti tak tersentuh.
Kedua, penangan prilaku koruptif internal polisi. Polri masuk lima besar lembaga terkorup berdasarkan survei Transparency International Indonesia (TII) dan Global Corruption Barometer (CCB) yang dirilis pada Desember 2020. Ketiga, dwifungsi aparat kemanan Polri yang terekam melalui masuknya beberapa jenderal aktif mengisi jabatan publik saat ini. Sejumlah problem tersebut menjadi ‘noda hitam’ langkah reformasi intitusi yang –disadari atau tidak—menurunkan trust building masyarakat kepada Polri.
Bonus Demografi dan Millenial Police
Sejalan dengan itu, publik tentu berharap nama yang diajukan Presiden Jokowi ke Komisi III DPR untuk menggantikan Idham Aziz mampu melakukan akselerasi reformasi di tubuh Korps Bhayangkara. Sosok tersebut harus mampu menata institusi lebih berintegritas, optimalisasi pemberantasan korupsi, meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas kerja demi mewujudkan polisi sipil (civilian police) yang tetap taat pada aturan hukum dan hak asasi.
Kapolri baru mesti juga menjadi antitesis dari konservatisme Polri yang selama ini kita lihat. Reformasi Polri yang meliputi bidang instrumental, struktural, dan kultural, setidaknya juga mulai menyentuh pada kalangan muda-milenial. Polri tentu tidak bisa menjalankan roda reformasi tanpa melibatkan stakehorlder lain. Pada konteks inilah, kelompok dan simpul muda-milenial menjadi ‘power force’ baru yang mesti disinergi untuk membantu kerja reformasi Polri.
Sejak tahun 2020 hingga 2030, Indonesia diprediksi akan mengalami kondisi jumlah penduduk usia produktif lebih besar ketimbang usia non-produktif. Dalam literatur studi kependudukan, bonus demografi dimaknai sebagai potensi keuntungan struktur kependudukan akibat besarnya proporsi penduduk muda. Pada titik ini, Polri mesti mampu mengonversi bonus demografi menjadi peningkatkan kinerja reformasi dengan mengajak kalangan muda-milenial untuk terjun menjadi ‘polisi sipil’ tanpa seragam, millenial police.
Bagaimanapun, chemistry antara Polri dan milenial sudah mulai terasa. Selain karena sebagian personilnya adalah milenial, segmentasi utama public serve di kepolisian adalah kalangan generasi langgas. Milenial dengan karakter yang spesifik mesti menjadi perhatian oleh Polri, seperti dekat dengan media sosial, kreatif, efisien, passionable, produtif, open minded, kritis dan berani. Melibatkan kalangan milenial dalam sejumlah kerja Polri juga menjadi cara efektif untuk menekan angka praktik melanggar hukum oleh mereka yang adalah sebagian besar penduduk Indonesia.
Akhirnya, siapapun jenderal polisi yang akan ditunjuk menjadi Kapolri, setidaknya dia memiliki kecakapan dan keluesan pikiran untuk menanamkan Pancasila di tengah gersangnya alam kebangsaan dengan memangkas isu konservatisme Polri. Semoga, olok-olok bahwa tidak ada polisi jujur selain Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur, tidak lagi terucap di tahun 2021. Mencari polisi bersih, akhirnya, tidak lagi seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Semoga.
Sekretaris Jenderal Himpunan Aktivis Milenial Indonesia; Direktur Riset INDOPUBLIKA.
Menyukai ini:
Suka Memuat...