“Emang situ mau kerja tapi tak digaji?”
Keren bingits, jika jawabannya ya. Jika jawabannya, “Tergantung, kerja apa dulu?” Maka itu dapat disimpulkan: Situ lagi membandingkan antara pekerjaan dan pelayanan atau bakti sosial.
Mari bedakan dahulu apa itu pekerjaan, apa itu pelayanan, apa itu bakti sosial.
Pekerjaan adalah aktivitas yang baik rutin maupun tidak rutin yang dilakukan untuk berhasilnya suatu tugas, baik secara profesional maupun amatir, baik klerikal maupun manajerial, baik strategis maupun eksekusi karena si pemberi kerja melalui payung organisasinya memiliki tujuan organisasi yang jelas. Aktivitas sosial yang terstruktur, seperti gereja, organisasi nirlaba untuk tujuan sosial, dsb ketika sudah menetapkan aturan-aturan baku dengan kriteria hasil yang ingin dicapai harus memperhitungkan nilai imbalan tertentu yang disebut gaji, karena mereka yang terundang bergabung untuk mencapai tujuan tersebut sudah disebut “bekerja”. Jika organisasi atau perusahaan mampu membayar secara pantas dan tidak melakukannya, maka para penyelenggara keputusan dapat disebut sebagai pengambil keputusan yang lalim: berbuat tidak pantas untuk memanusiakan manusia yang dipekerjakannya.
Pelayanan adalah aktivitas yang dilakukan secara bebas dan tanpa ikatan khusus, bisa rutin maupun tidak, namun tetap mengacu kepada sebuah komitmen tertentu untuk berhasilnya suatu tujuan (bukan tugas) organisasi karena panggilan hati dan kerelaan.
Tidak sedikit kita temui, beberapa organisasi pelayanan berlindung di balik nama “tujuan-tujuan sosial” dari payung organisasinya memperlakukan para pekerjanya secara tidak pantas dengan dalih pelayanan. Perkataan “Tuhan mencukupkan kebutuhan Anda” menjadi suatu kalimat ampuh yang sesungguhnya justru melecehkan Tuhan sendiri. Tuhan memberikan otoritas kepada Anda untuk mengatur, kok malah Anda menuding balik kepada Tuhan bahwa Dia sanggup menolong pekerja-pekerja Anda?
Bakti sosial itu lain lagi. Itu bukan suatu kegiatan rutin, sekalipun kerap terjadi beberapa kali dalam setahun atau dijadikan rutin karena kebutuhan. Saya kira, soal ini tak perlu lah saya paparkan lebih jauh.
Nah. Balik ke isu pokok tulisan ini soal gaji, terkait heboh berita gaji seratus juta yang dianggap “terlalu”, mari kita belajar berhitung.
Penggajian mencakup aspek gaji pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Ketika seseorang dipercaya menjabat suatu posisi tertentu ada yang disebut tunjangan jabatan. Beberapa organisasi membedakan antara tunjangan jabatan struktural dan tunjangan jabatan fungsional. Jelas, karena tanggung jawab struktural itu berbeda dari tanggung jawab fungsional. Selain tunjangan jabatan, ada tunjangan transportasi, tunjangan komunikasi (ponsel), tunjangan kosmetik, tunjangan akomodasi, tunjangan konsumsi, tunjangan kehadiran, tunjangan kesehatan, tunjangan pendidikan, dsb. Di luar tunjangan, masih ada fasilitas non-materi, lho.
Bagaimana mengkategorikan sebuah tunjangan sebagai tetap atau tidak tetap tidaklah harus berlaku sama untuk semua. Jika suatu profesi mengharuskan dia sering berkeliling ke berbagai kota yang tetap secara teratur sehingga dapat diperhitungkan biayanya, maka tunjangan transportasi dan akomodasi untuk berkeliling bisa saja dijadikan tunjangan tetap.
Hak seseorang untuk mendapatkan fasilitas keuangan baik untuk memenuhi kebutuhan keuangan dia pribadi sebagai pejabat yang dipercaya (apa pun institusinya) bisa diatur dalam format hak keuangan pribadi yang bisa dibawa pulang (total take home pay), dan hak keuangan jabatan yang disebut tunjangan operasional. Bolehkah tunjangan operasional diuangkan untuk dibawa pulang sebagai “tambahan penghasilan pribadi”?
Ingat kasus Ahok dengan tunjangan operasional sebesar 1.2 Miliar rupiah yang dia kembalikan ke kas pemerintah ketika dia menjadi Gubernur DKI?
Ahoklah contoh yang unik bagaimana seorang pejabat mengelola hak keuangan operasionalnya dengan mendistribusikan hak itu sepadan dengan disposisi pekerjaan yang diturunkan ke bawahannya. Tunjangan operasional yang bersumber dari rakyat dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat melalui aktivitas para bawahan yang diperintahnya melaksanakan sebagian dari tanggung jawab dia. Hak keuangan dari jabatannya dikelola ke kantong-kantong operasional di bawahnya.
Jika Anda terlanjur nyinyir menyamakan hak keuangan dengan gaji, sebaiknya konsisten juga lah bersikap nyinyir untuk menyoal hak keuangan semua pejabat yang mengambil tunjangan operasionalnya sebagai hak pribadi dia, sekalipun peraturan tidak mencantumkan kewajiban mengelola tunjangan operasional itu secara detail ataupun tentang pengembalian uang ke kas pemerintah seperti yang dilakukan oleh Ahok.
Ini kan ranahnya mentalitas kerja. Kepengen jadi pejabat untuk dapat kekuasaan dan gaji besar, atau menjadi pejabat karena amanah?
Sekali nyinyir, ya sepertinya tetap nyinyir, tapi dengan kaca mata elang yang mencari mangsa. Bilangnya kritis, eh, kok pilih-pilih kasus dan membangun dalih?
Mari bandingkan lagi heboh kalimat gaji seratus juta untuk pejabat skala nasional, dengan gaji pejabat regional yang dirilis pemda dki ketika Anies menjabat. Ingat soal armada TGUPP Anies sebesar Rp. 28.5 M yang akhirnya turun menjadi Rp. 19.8 M untuk setahun? Tahukah Anda, berapa “total hak keuangan” yang Anda sebut gaji Bambang Widjojanto sebagai Ketua Bidang Pencegahan Korupsi? Rp. 41.220.000,- Sah. Entahlah, apakah pejabat DKI sekarang benar-benar sudah bersih dari korupsi?
Mau yang lebih besar sedikit dari itu? Ini dia, Amin Subekti, Sang Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan. Hak keuangannya adalah Rp 51.570.000,-
Asyik, ora? Itu tanggung jawab regional, lho. Yok bermatematika, untuk simulasi. Kalau Jakarta dianggap 30% bobot kepusingannya lebih berat dibandingkan total 33 wilayah lain, seandainya Amin Subekti dipindah ruang lingkup dari otoritas jabatannya, dari regional menjadi nasional, secara matematis, angka hak keuangan dia menjadi Rp. 171.900.000,- Tengoklah baik-baik. Apa yang dinyinyiri sebagai gaji seratus juta itu kegedean, jadi kekecilan ya?
Mbak, jangan gitu dong berhitungnya. Mana bisa dibanding-bandingkan? Pake simulasi pula. Angka 30% nya dari langit?
Eh, terima kasih kritiknya. Situ ternyata waras. Yo, waras bareng-bareng.
Kalau gaji dinyinyiri dengan perspektif yang salah, ya salah kesimpulannya. Kalau gaji dibanding-bandingkan ke sana – ke mari apa pun skala pembanding yang situ pakai, ya jadi repot urusannya.
Semuanya harus kembali ke aturan baku yang berlaku umum dalam sistem penggajian. Bisa kok ditelusuri kenapa Anies memutuskan membayar Ketua TGUPP sebesar itu hak keuangannya. Kalau situ nyinyir, usut dong. Dari mana angka itu turun, lalu laporan pertanggungjawaban nya apa? Ya sama saja. BPIP juga begitu. Bisa ditelusuri dari mana angka seratus juta itu muncul, lalu ikuti kiprahnya dalam laporan pertanggungjawaban kinerja. Beberapa bisa langsung terukur, sebagian yang lain masih membutuhkan waktu untuk melihat hasilnya. Namun, intinya saya mau kenbali ke pertanyaan, “Emang situ mau, kerja tapi tak digaji?”
Yuuk, kita lanjutkan sedikit lagi. Kasus yang muncul memang asyik buat kita belajar, kok. Jangan ikut-ikutan beropini atau mengembangkan suatu opini demi solidaritas. Melainkan, mari melatih sikap dan nalar kita sendiri terlebih dahulu supaya kita juga maju..
Berapakah gaji yang pas? Pasti, kita akan melanjutkan ke pertanyaan: “Gaji yang pas untuk pekerjaan apa?”
Kalau di pabrik, operator produksi, nama umumnya, buruh, adalah level terendah di perusahaan manufaktur. Sesudah itu ada kepala regu, kepala seksi, supervisor, superintendent, manager, direktur. Kira-kira: 7 level.
Kalau operator produksi bergaji 4 jt, lalu dengan tanggung jawab yang bisa diukur, level di atasnya akan bergaji lebih besar dan semakin tinggi semakin besar. Asumsi peningkatan tanggung jawab berumus deret ukur, katakanlah 1.5 kali, maka kepala regu akan bergaji 6 jt, kepala seksi 9 jt, supervisor 14.5 jt, superintendent 21.75 jt, manager 30.875 jt, direktur 46.3jt. Itu rumus penyederhanaan. Biasanya, itu menjadi angka dasar. Karena selain gaji dasar, ada tunjangan jabatan yang besarannya dikorelasikan kepada ruang lingkup dan ekspektasi dari hasil yang diharapkan dari sebuah jabatan. Anggaplah parameter risiko jabatan diukur dengan bobot 1, 2, 3, 4. Semakin tinggi bobot dari risiko jabatan, semakin besar pula kompensasi benefit yang diterimanya (keluar dengan nama tunjangan lain / tunjangan jabatan), Maka, jika gaji dasar manajer produksi di angka 30.875 jt, lalu kita tambahkan hitungan risiko jabatan, katakanlah di level 3, yang setara dengan 6 jt, maka total yang diterima manajer produksi menjadi 36.875 jt. Plus uang transport, plus uang kesehatan.
Ingat ya, angka 1.5 kali di atas adalah asumsi.
Jadi,
Kalau mau berkomentar gaji di level teratas yang dianggap ketinggian, lihatlah ke level terbawahnya, berapa gaji plus tunjangan2 yang diterimanya.
Saya miris melihat mentalitas dan reaksi sebagian besar dari masyarakat.
Kita harus belajar untuk tidak menyoal sesuatu secara reaktif.
Gaji besar dan kecil itu relatif sekali.
Ada orang yang tak mampu mengelola gaji yang besar, dan tetap selalu merasa kurang. Ada orang yang tahu menyikapi rejekinya, sekalipun nilainya tak seberapa.
Jika mengelola rejeki yang sedikit saja kita tak tahu bersyukur dan tak pandai menyikapinya, lalu nyinyir dan marah-marah mendengar “orang lain dibayar dengan gaji besar” padahal kita tak tahu sungguh risiko dan tanggung jawab yang diembannya, pertanyaan saya, “Kalau situ yang diplot di posisi dengan gaji segitu, dengan segala kondisi yang mendukung bahwa situ mampu melakukannya karena sesuai dengan prestasi” apakah situ akan menolak, dan berkata, “Yo wis, Pak Bos. Saya akan terima pekerjaannya, soal gaji gakpapa. Bayar saja pakai senyum dan 2 M (Makasih Mas)”. Emang situ mau?
Bereaksi lah secara wajar, supaya kita tidak harus dikerat lidahnya gara-gara sok tahu nyinyir gaji orang lain, padahal bisa jadi, kita sendiri sedang makan uang yang belum tentu halal karena aktivitas politik salah kaprah.
Kalau mau ngompori, “Itu anggota DPR emang dapat berapa setiap bulannya? Udah ngecek belum?”
Penulis Adalah Konsultan Manajemen dan Penulis Lepas
Menyukai ini:
Suka Memuat...