“Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Kata-kata dahsyat dari Bung Karno itulah yang sering saya kutip di depan murid dan mahasiswa saya. Bahkan kepada mahasiswa internasional program doktoral, saya katakan, “setelah menyelesaikan S-3 kalian, jangan pernah berhenti belajar. Untuk menggantungkan cita-cita kalian setinggi bintang, kalian harus membuat gantungannya lebih dulu.”
Ketika mendengar penyampaian visi-misi Cawapres antara Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno, saya merasakan aura yang sama. Kedua Cawapres menginginkan generasi penerus bangsa bisa menempuh pendidikan sebaik mungkin. Mari kita ‘dengarkan’ sekali lagi apa janji mereka berdua ketika terpilih.
“Di bidang pendidikan, beasiswa akan kita teruskan dan akan kita tingkatkan sampai ke tingkat kuliah. Oleh karena itu, kepada anak-anakku semua saya nyatakan kalian jangan takut untuk bermimpi dan jangan takut untuk bercita-cita.”
“Orang tua tidak perlu khawatir akan masa depan anaknya la takhaf wa la tahzan. Kalian jangan takut dan jangan sedih karena sekarang negara telah hadir dan negara akan terus hadir membantu kalian,” janji ini diucapkan dengan penuh kewibawaan seorang Ma’ruf Amin.
“Oleh karena itu Prabowo-Sandi memiliki solusi di bidang pendidikan. Dua yang utama, pertama pendidikan tuntas berkualitas. Meningkatkan kualitas pendidikan adalah kualitas guru, kesejahteraan guru, terutama guru honorer.”
“Kita akan tingkatkan kesejahteraan dan pastikan status guru kurikulum kita perbaiki agar memiliki fokus pada pembangunan karakter dan akhlakul karimah. Kita juga pastikan bahwa sistem Ujian Nasional dihentikan, diganti dengan penulisan minat dan bakat.” Sandi seakan menambahkan apa yang Ma’ruf Amin ucapkan. Anak-anak Indonesia bisa mencapai pendidikan setinggi mungkin jika kesejahteraan guru ditingkatkan dan kurikulum diperbaiki. Klop.
Berbeda dengan debat pertama dan kedua, debat ketiga ini tidak ada aura saling sikat, sebaliknya saling hormat. Yang tua menghargai yang muda, yang muda hormat kepada yang tua.
Seandainya atmosfer ini sampai ke akar rumput, suasana Indonesia pasti lebih sejuk menjelang pencoblosan, apalagi disertai hujan yang masih terus turun.
Banteng New York Stock Exchange
Ketika foto bersama istri di patung banteng yang merupakan ikon New York Stock Exchange, saya merasakan aura euforia orang-orang di sekitarnya. Mengapa? Inilah lambang kedigdayaan ekonomi Amerika, meskipun terus-menerus digerogoti oleh ‘Kungfu Panda’ RRT yang ekonominya menggeliat luar biasa. Jika saya foto di ‘banteng saham’ ini hanya untuk dokumentasi saja, bisa saja ada orang-orang yang mimpi menjadi pialang saham raksasa seperti yang digambarkan dalam film “The Wolf of Wallstreet”. Kok bukan “The Bull of Wallstreet”?
Banteng perunggu yang menjadi salah satu ‘most photographed icon in New York’ ini menjadi rujukan orang-orang yang jalan-jalan ke kota terbesar di dunia ini. Tung Desem Waringin, dalam salah satu sesinya di kantor saya, pernah menunjukkan fotonya berciuman dengan istri di depan banteng prestisius ini. Kok tidak takut diterjang ya?
Menjadi Matador
Menjadi seorang matador menjadi impian para bocah Spanyol. Maklum jika sudah mencapai posisi ini, ketenaran dan kekayaan berlimpah menghampirinya. Banyak bocah Spanyol dulu yang ingin menjadi seperti Juan Belmonte, torero berkelas bintang yang menjadi matador kebanggaan rakyat. Mereka belajar menjadi matador jempolan dengan mengikuti festival jalanan di mana setiap orang—jika berani atas risiko sendiri—melompat tembok dan turun ke jalan sehingga diincar dan dikejar banteng liar yang sengaja dilepas di jalan.
Apa risikonya? Kematian. Selama ini kita melihat bahwa sang matadorlah yang berhasil ‘ngerjain’ sang banteng dan membuatnya kelelahan sampai akhirnya menusuknya dengan pedang sampai mati.
Apa bantengnya selalu bernasib sial seperti ini? Saya pernah membaca seorang turis yang ingin mencoba steak banteng di dekat arena. Banteng yang mati konon dijadikan steak dan dijual mahal. Bukan karena dagingnya yang empuk, melainkan sensasinya. Ketika steak pesanannya datang, dia kaget dan kecewa karena dagingnya kecil dan tipis. Saat dia protes ke pramusaji, dengan tenang pelayan restoran itu menjawab, “kan tidak selalu bantengnya yang kalah?”
Tiba-tiba saja selera makannya berhenti total. Perasaan jijik dan mual langsung menghampirinya. Sambil mengomel, “you kira aku kanibal apa?” dia keluar dari resto itu.
Nah, untuk menjadi pemenang di dalam kehidupan yang semakin keras ini seorang bocah bukan hanya membutuhkan pendidikan yang memadai, melainkan juga pengalaman tempur di lapangan. Nah, negara seharusnya hadir bagi mereka sejak di usia dini agar bisa mendapatkan pendidikan terbaik.
Saat liburan bersama keluarga ke Brunei Darussalam, saya dibuat kagum dan tercengang dengan apa yang saya dengar. Konon Kerajaan Brunei menjamin setiap rakyatnya untuk sekolah setinggi mungkin dengan biaya negara.
Nah, inilah PR besar yang diemban oleh masing-masing Capres-Cawapres jika mereka terpilih nanti. Oleh sebab itu, jangan golput. Pilih sesuai hati nurani siapa di antara keempat Capres-Cawapres itu yang benar-benar bisa mewujudkan janji kampanye mereka, termasuk jurkam mereka. Bukan yang sekadar cuap-cuap dan asal ngoceh.
Penulis Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa
Menyukai ini:
Suka Memuat...