Belum lama ini, The Economist Intelligence Unit (TEIU) merilis data indeks demokrasi tahun 2019 yang dilakukan di 167 negara. Indeks demokrasi 2019 menjadi yang terburuk sejak pertama kali dilakukan riset pada tahun 2006. Bahkan lebih buruk dari 2010 ketika dunia sedang dilanda krisis ekonomi dan keuangan global dengan indeks 5.46. TEIU menyebut 2019 sebagai “Tahun Kemunduran Demokrasi dan Protes Global”.
Indeks demokrasi didasari pada lima katagori, yaitu proses elektoral dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik dan budaya politik. Berdasarkan skor pada kategori tersebut tiap negara lalu diklasifikasikan dalam salah satu dari empat tipe rezim yakni demokrasi penuh (full democracy), demokrasi cacat (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoritarian (authoritarian regime). Indeks menggunakan skala 0-10, makin besar indeks menunjukkan demokrasi yang semakin baik.
Pada tahun 2019 indeks demokrasi berada di 5.44, menurun dari 5.48 di tahun 2018. Sejak 2011 hingga 2014 indeks demokrasi mengalami peningkatan gradual, tapi sejak 2015 dan 2018 mengalami stagnasi dan penurunan pada 2016 dan 2018. Tahun 2019 terdapat 68 negara mengalami penurunan indeks demokrasi dibandingkan tahun 2018, tapi 65 negara mengalami kemajuan dan 34 negara mengalami stagnasi.
Menurunnya indeks demokrasi global ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, meningkatnya kecenderungan pemerintahan elitis ketimbang demokrasi partisipatoris. Kedua, meningkatnya pengaruh lembaga-lembaga politik yang tidak dipilih dan tidak akuntabel. Ketiga, dihapusnya beberapa isu substantif yang penting secara nasional dari arena politik oleh keputusan para politisi. Keempat, meluasnya jarak antara elite politik dan partai dengan para pemilih. Kelima, menurunnya kebebasan sipil, termasuk kebebasan pers dan kebebasan berbicara.
Asia dan Indonesia
Sejak riset indeks demokrasi 2006, wilayah Asia dan Australia mengalami banyak kemajuan dibandingkan wilayah lain, meski masih di belakang Amerika Utara (8.59), Eropa Barat (8.35) dan Amerika Latin (6.13.) Namun indeks wilayah ini mengalami penurunan sejak 2017 dan stagnan di angka 5.67 pada 2018-2019. Di kawasan ini, Selandia Baru menempati skor tertinggi (9,26), mempertahankan posisi ke-4 dalam peringkat global. Sementara Korea Utara dengan skor 1,08 berada di posisi terbawah.
Indeks demokrasi di Asia mengalami berbagai perubahan. Kenaikan terbesar terjadi di Thailand pada 2019, meningkat 1.69 poin menjadi 6.32 dibandingkan 2018. Thailand mengalami transisi dari hybrid regime menuju flawed democracy. Indeks demokrasi di India menurun dari 7.23 pada 2018 menjadi 6.90 tahun 2019 akibat erosi kebebasan sipil. Skor Cina juga menurun menjadi 2.26 dan menempati rangking ke 153 akibat diskriminasi terhadap minoritas khususnya di wilayah Xinjiang dan pengawasan intensif atas pengguna daring.
Indeks demokrasi Indonesia pada 2019 berada pada peringkat 64 dari 167 negara dengan skor 6.48. Skor ini meningkat dari tahun 2018 dengan skor 6.39. Potensi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia bisa terjadi dengan munculnya wacana penghapusan pemilihan langsung oleh para politisi sebagai bentuk pelemahan sistem pemilu, menggantikan pemilihan kompetitif dengan tingkat partisipasi tinggi dengan prosedur yang tidak jelas.
Maraknya Protes Global
Menurunnya indeks demokrasi secara global 2019 telah menghasilkan protes rakyat di berbagai negara dengan skala lebih besar dari tahun 2014 ketika menghadapi krisis keuangan. Protes ini mengekspresikan sikap oposisi terhadap kekuasaan, ketidakadilan hukum, korupsi, dan tuntutan peningkatan partisipasi politik. Ketidakpuasan ini menyebabkan gelombang protes popular yang mengguncangkan rezim despotik dan demokratik di Asia, Amerika Latin, Karibia dan Sub Sahara.
Kesulitan ekonomi hampir merupakan prasyarat yang dapat menciptakan keresahan. Namun penurunan masalah ekonomi tidak selalu diikuti oleh keresahan. Hanya ketika kesulitan ekonomi disertai dengan masalah struktural lainnya maka sangat mungkin melahirkan protes meluas.
Faktor-faktor struktural yang berpengaruh dalam protes politik di antaranya ketimpangan pendapatan, kondisi pemerintahan, pelayanan sosial, ketegangan etnis, kepercayaan publik terhadap lembaga politik, dan sejarah protes. Namun dari semua faktor struktural tersebut, faktor paling menentukan dalam protes-protes sepanjang 2019 adalah erosi kepercayaan pada pemerintah, lembaga politik, partai dan politisi—apa yang umumnya disebut “krisis demokrasi”.
Di Amerika Latin, protes massa meletus pada 2019 di berbagai negara, yaitu Bolivia, Chili, Kolombia, Ekuador, Haiti, dan Venezuela. Pendorong protes ini bervariasi dari kecurangan pemilu hingga demonstrasi menentang tindakan korupsi dan penghematan. Semua menyatakan ketidakpercayaan pada keputusan dan kebijakan pemerintah.
Di Chili, protes rakyat meluas berawal dari kenaikan ongkos angkutan di Santiago. Protes atas kenaikan tiket ini meluas menjadi ekspresi ketidakpuasan rakyat pada isu lainnya ketika sistem politik dan pemerintahan tidak berfungsi untuk menyelesaikannya. Gerakan protes ini melahirkan partisipasi politik jalanan yang meluas dan negara menghentikannya dengan kekerasan militer dan penangkapan para aktivis.
Di Hong Kong, kaum muda awalnya melakukan protes terhadap amandemen yang diusulkan terhadap undang-undang ekstradisi Hong Kong yang memungkinkan pelaku kriminal diektradisi ke Cina daratan untuk diadili. Aksi protes lalu meluas dan menjadi tuntutan memperluas ruang demokrasi. Protes juga ditunjukkan pada peningkatan campur tangan pemerintah pusat pada masalah-masalah lokal, termasuk kebebasan berekspresi.
Di Indonesia, protes meluas dipelopori oleh gerakan mahasiswa yang berawal dari isu Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap akan melemahkan kewenangan KPK. Isu anti korupsi ini lalu meluas menjadi isu-isu demokrasi lainya dalam RUU Pertanahan, RUU KUHP dan RUU Ketenagakerjaan. Aksi protes mendapat respons Presiden Jokowi dengan menghentikan seluruh proses pembahasan RUU di DPR.
TEIU menyimpulkan bahwa protes global sepanjang 2019 adalah akibat erosi kepercayaan pada pemerintah, lembaga politik, partai dan politisi. Kondisi politik ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan respons dari masyarakat sipil. Kemunculan gerakan mahasiswa sepanjang September 2019 merupakan sinyal erosi kepercayaan kepada lembaga politik formal.
Fenomena gerakan mahasiswa 2019 harus dilihat secara positif yang menunjukkan menguatnya partisipasi politik kaum muda generasi milineal. Mereka memberikan koreksi untuk memperbaiki kinerja partai, lembaga parlemen dan pemerintahan. Semoga tahun 2020 tidak membawa erosi bagi indeks demokrasi dan makin meningkatkan partisipasi politik warga dengan cara-cara damai dan demokratis.
Penulis adalah Deputi Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden (2015-2019).
Menyukai ini:
Suka Memuat...