Laporan Serikat News
Rabu, 27 September 2017 - 22:08 WIB
Sumber Foto: Dokumen Pribadi
Sumber Foto: Dokumen Pribadi
Oleh: Aidil Aulya
Gelar doktor merupakan gelar akademik tertinggi yang diperoleh oleh seseorang yang telah melewati fase pendidikan strata tiga (S3). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa, doktor merupakan gelar kesarjanaan tertinggi yang diberikan oleh perguruan tinggi kepada seorang sarjana yang telah menulis dan mempertahankan disertasinya. Di dalam pasal 20 UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa program doktor di perguruan tinggi diharapkan mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi kepada pengembangan, serta pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran dan penlitian ilmiah. Harapan yang dituangkan dalam pasal 20 UU Pendidikan Tinggi tersebut tentu tidak akan tercapai tanpa perjuangan yang melelahkan dan menguras banyak hal sehingga menghasilkan gelar kesarjanaan tertinggi. Gelar doktor tentu saja merupakan gelar akademik prestisius dalam dunia pendidikan yang dicita-citakan para sarjana.
Lingkaran Setan Pendidikan
Fenomena menarik akhir-akhir ini menyiratkan persoalan serius dalam dunia akademik di Indonesia. Adanya temuan dugaan praktik plagiasi dalam penyusunan skripsi, tesis, dan disertasi di salah satu universitas negeri terkemuka di Jakarta. Belum lagi masalah pengacuhan terhadap norma-norma dan etika akademik yang dilakukan oleh pelbagai program pascasarjana di Indonesia sehingga menghasilkan lulusan-lulusan yang jauh dari kualitas. Bahkan ditemukan dugaan praktik tidak etis yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang hanya mementingkan kuantitas lulusan dan mengabaikan peningkatan kualitas lulusannya. Sebagai contoh, opini majalah Tempo (Senin, 18 September 2017) mengupas data mengejutkan tentang rektor salah satu universitas di Jakarta yang bisa menghasilkan 327 doktor dalam rentang waktu 2012-2016. Jika dikalkulasi pertahunnya, artinya menghasilkan 65 doktor dalam satu tahun. Bahkan di kampus lain ditemukan juga seorang promotor yang meluluskan 118 doktor pada tahun 2016. Data dan fakta yang diungkapkan oleh majalah Tempo ini tentu mengejutkan dan menakjubkan. Sudahkah kualitas menjadi acuan utama dalam meluluskan para sarjanawan bertitel doktor tersebut? Atau hanya mengejar kuantitas lulusan dan atau bisa saja mengejar pendapatan finansial perguruan tinggi dengan banyaknya mahasiswa program doktor? Karena kita tahu, program doktor menghasilkan keuntungan materi dan non materi yang lumayan tinggi. Semua ini merupakan lingkaran setan (evil circle) sistemik permasalahan akut di perguruan tinggi Indonesia yang harus disoroti secara tajam.
Kalau permasalahan ini dibiarkan dan tetap menjadi praktik yang dianggap biasa oleh para sivitas akademika, ditakutkan bisa menjadi fenomena gunung es yang bisa saja meleleh kapanpun. Saat itu tiba, maka pendidikan di Indonesia akan kembali ke titik nol dan lulusan-lulusan di Indonesia hanya menjadi bahan ejekan bagi bangsa lain. Akibatnya, tidak hanya masyarakat umum, masyarakat akademik di dunia akan memandang sebelah mata ilmuwan-ilmuwan yang lahir, tumbuh, dan berkembang di Indonesia. Sehingga muncul ketidakpercayaan terhadap lulusan-lulusan pendidikan dari Indonesia. Perguruan tinggi serta para stakeholder pendidikan di Indonesia harus segera berbenah dan introspeksi diri. Disaat perguruan tinggi di negara-negara lain berlomba untuk meningkatkan kualitas lulusannya, di Indonesia terjadi praktik-praktik kejahatan akademik yang meruntuhkan integritas serta akuntabilitas perguruan tinggi. Padahal salah satu barometer kemajuan peradaban dunia adalah pendidikan yang berkualitas. Setidaknya dalam konsep ideal bisa disebutkan “semakin berkualitas pendidikan di suatu negara, maka semakin tinggi kualitas peradaban di negara tersebut.”
Pemberian gelar doktor honoris causa (HC) kepada presiden ke-5, Megawati Soekarno Putri oleh Universitas Negeri Padang (UNP) menuai polemik dan kontroversi. Setidaknya terjadi dikotomi antara yang pro dan yang kontra terhadap pemberian gelar ini. Kontroversi tentu hal yang bisa dan biasa terjadi di tengah arus komunikasi yang begitu masif dan terkadang distorsif. Pelbagai diskusi yang terjadi baik di dunia nyata ataupun perbincangan warga net di dunia maya menyiratkan pertanyaan besar, apa urgensinya pemberian gelar tersebut? Sebenarnya, jika diacu pada regulasi yang ada, pemberian gelar kehormatan seperti honoris causa ini merupakan hak perguruan tinggi. Perguruan tinggi sepenuhnya memiliki hak dalam penetapan pemberian gelar tersebut. Di dalam pasal 27 UU No. 12 tahun 2012 disebutkan bahwa perguruan tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan. Apalagi, dalam catatan saya, ini adalah gelar doktor honoris causa dalam negeri kedua yang didapatkan oleh Megawati. Pada tanggal 26 Mei 2016, Megawati juga pernah dianugerahkan gelar doktor honoris causa oleh Universitas Padjajaran (UNPAD) di bidang politik dan pemerintahan.
Pemberian gelar kehormatan kepada pemimpin-pemimpin Indonesia bukanlah merupakan hal yang mengejutkan. Banyak tokoh-tokoh dan pemimpin Indonesia memperoleh gelar kehormatan ini. Presiden Soekarno saja mendapatkan 26 gelar doktor HC dari pelbagai perguruan tinggi dalam ataupun luar negeri. M. Hatta mendapatkan gelar doktor HC dari UI dan UGM dalam bidang hukum. Gus Dur mendapatkan gelar kehormatan ini dari Universitas Sorbonne. Sedangkan SBY sampai saat ini sudah memiliki 12 gelar doktor HC yang diterima dari perguruan tinggi luar ataupun dalam negeri. Direncakan pada bulan Oktober 2017 nanti, SBY akan mendapatkan gelar kehormatan yang ke-13 yang diberikan oleh Charles Darwin University, Australia.
Dalam sejarahnya, kontroversi pemberian gelar kehormatan tidak hanya terjadi pada kasus Presiden Megawati saja. Pada tahun 1970-an, di Universitas Indonesia terjadi perdebatan mengenai pemberian gelar kehormatan di bidang ekonomi kepada M. Hatta. Perdebatan tersebut didasarkan pada anggapan bahwa teori ekonomi Hatta dianggap usang dan tidak relevan lagi oleh UI. Padahal, dalam lintasan sejarah Indonesia, teori ekonomi Hatta dianggap sesuatu yang original dan luar biasa pengaruhnya. Namun masih saja terjadi polemik dan perdebatan. Perdebatan merupakan ciri khas dunia akademik yang harus terjadi. M. Hatta yang jelas-jelas memberikan sumbangsih luar biasa dalam bidang ekonomi saja bisa menjadi polemik, maka polemik mengenai pemberian gelar terhadap Megawati merupakan sesuatu yang absah saja terjadi. Pihak yang pro jangan terlalu mendukung membabi buta, karena kadang terkesan cari muka dan cari perhatian. Sedangkan pihak yang kontra juga jangan keterlaluan dalam membenci dan menolak penganugerahan gelar tersebut. Sadarilah, itu adalah hak penuh perguruan tinggi yang dijamin oleh Undang-undang.
Objek pertanyaan utama adalah, apakah urgensi dan relevansinya pemberian gelar tersebut terhadap dunia pendidikan? Bagi yang pro dan kontra, harusnya diskusi diarahkan pada objek pertanyaan utama tersebut. Hal ini tentu menghasilkan diskusi yang produktif dan objektif. Kita harus menghindari praktik penilaian-penilaian prematur dan subjektif dalam melihat suatu fenomena. Jika diskusi ini didasarkan pada objek yang tepat, tidak perlu lagi ancam-mengancam untuk mengerahkan 5000 mahasiswa sebagaimana yang diungkapkan salah satu tokoh Sumatera Barat terkemuka itu, bukan? Itu bukan cara-cara beradab dan intelektual khas dunia akademik. Kita tentu sangat percaya bahwa UNP sebagai pihak yang memberikan gelar tersebut sudah mengacu kepada regulasi-regulasi yang berlaku. Regulasi yang dimaksudkan antara lain, UU No. 12 tahun 2012, Permendikbud No. 21 tahun 2013 tentang pemberian gelar doktor kehormatan, dan Permenristekdikti No. 65 tahun 2016 tentang gelar doktor kehormatan.
Sudah menjadi rahasia umum, pemberian gelar kepada tokoh-tokoh nasional terkadang hanya sebagai hidangan pembuka untuk menyampaikan maksud utama. Ditakutkan terjadinya praktik lobby politik atau kepentingan politis yang dibungkus dengan kado gelar akademik. Seakan-akan pemberian gelar tersebut merupakan langkah pertama mendapatkan kesan positif, lalu dilanjutkan dengan lobby belakang meja yang sulit diterka oleh masyarakat awam. Harusnya gelar kehormatan yang merupakan hak penuh perguruan tinggi tersebut tidak diobral hanya untuk kepentingan salah satu pihak. Gelar kehormatan harus didasarkan pada pencapaian yang benar-benar dicapai oleh objek penerima gelar. Bukan pencapaian yang dicari-carikan agar menjadi dalih pembenaran terhadap pemberian gelar tersebut. Rusaknya lembaga pendidikan di Indonesia terutama pendidikan tinggi disebabkan oleh berkurangnya pencarian dalih kebenaran ilmiah dan merebaknya praktik pencarian pembenaran kekuasaan. Semoga UNP terbebas dari segala kecurigaan yang memberikan stigma negatif terhadap keputusan yang diambil.
Sudah saatnya kita berpikir dengan nalar sehat dan kritis, bahwa pemberian gelar kehormatan kepada siapapun harus diukur dengan indikator-indikator yang berdampak positif terhadap pendidikan Indonesia. Akar-akar praktik jahat obral gelar akademik dimanapun harus dilawan atas dan demi kemajuan pendidikan. Kritikan dan perdebatan sehat sangat dibutuhkan apalagi dalam iklim akademis di perguruan tinggi. Semua sivitas akademika tidak boleh menunduk dan tertunduk pada praktik-praktik jahat dan tidak fair dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Ke depannya kita berharap agar gelar kehormatan tidak diobral namun diberikan secara objektif dan fair. Hal terpenting lainnya, kita juga harus menghindari praktik-praktik penolakan yang didasarkan pada penilaian subjektif, berupa suku, agama, ras dan juga preferensi politik.
Lebih lengkapnya silahkan baca http://aidilaulya.com/2017/09/27/memotong-akar-obral-gelar/
*saat tulisan ini dipublikasikan, rektor salah satu Universitas di Jakarta yang dimaksudkan sudah dicopot dari jabatannya oleh Menristekdikti
SETIAP tanggal 1 Oktober, warga Indonesia merayakan Hari Kesaktian Pancasila. Ini adalah momen bersejarah yang mengingatkan pada kekuatan ideologi dasar
Oleh: Aliya (Wasekum Bidang Eksternal Kohati HMI Komisariat Lancaran, Guluk-Guluk, Sumenep) SEJAK dibentuknya Korps HMI-Wati (Kohati) sebagai lembaga semi otonom
Pendahuluan Pada masa pemilihan pemimpin negara, masyarakat memang terlarut dalam euforia pesta rakyat. Saling menjatuhkan dan mengolok-olok, dengan strategi ad
WARTAWAN bernama Erfandi itu dikeroyok sampai bonyok, dibanting, diseret, dirampas barang-barangnya, dompet maupun handphone, dan dipaksa merayap di tanah. Selain
MENJELANG pemilu 2024, rakyat Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi kesekian kalinya untuk memilih para calon pemimpin, mulai dari tingkat Presiden