Senin 6 Januari 2020, Azas Tigor Nainggolan yang mewakili gerakan masyarakat Jakarta menggugat Gubernur Anies Baswedan–terkait bencana banjir yang terjadi akibat hujan di malam pergantian tahun kemarin–diwawancara dalam program Primetime News di Metro TV.
Program itu juga menghadirkan Muslim Muin, anggota TGUPP DKI Jakarta yang sedang di Bandung, melalui video conference.
Menurut Nainggolan, salah satu alasan penggalangan dukungan untuk melancarkan “class action” terhadap kepemimpinan Anies Baswedan tersebut adalah soal ketiadaan atau ketidaksiapan pemerintahannya menyelenggarakan “early warning system”. Atau sistem peringatan dini agar masyarakat dapat mengantisipasi bencana dan meminimalkan dampak yang harus mereka tanggung.
Menyitir penjelasan Muin yang menyampaikan bahwa banjir terjadi tak semata karena hujan setempat (lokal), tapi juga akibat kiriman dari kawasan hulu yang terletak di Bogor, Nainggolan justru mengeluhkan ketidaksigapan DKI dalam menyampaikan informasi yang diperlukan kepada warganya. Sebab menurut dia, 8 jam perjalanan sebelum air dari kawasan pegunungan tiba, pemerintah Jakarta harusnya mampu menyampaikan peringatan yang sepatutnya. Paling tidak, masyarakat bisa menyelamatkan diri maupun harta benda mereka yang masih dimungkinkan. Meski pun kediaman mereka tetap diterpa banjir.
***
Saya terkejut ketika mendengar tanggapan Muslim Muin saat ditanya pembawa acara pada program itu. Dia mengungkapkan (early warning system) sesungguhnya telah dilakukan, yakni berdasarkan informasi prakiraan cuaca yang disampaikan oleh BMKG. Tapi bencana yang terjadi sekarang, disebabkan oleh pola hujan yang terjadi 200 tahun sekali. Masih menurutnya, tak satu kota pun di dunia ini yang merancang sistem drainage berdasarkan pola curah hujan yang terjadi dalam rentang waktu itu.
Muslim Muin kelihatannya tak memahami, soal sistem peringatan dini yang dimaksud dan ingin digugat Nainggolan. Sebab, dia berkilah soal data curah hujan yang digunakan untuk merancang infrastruktur yang disediakan, memang tak memperhitungkan anomali 200 tahun sekali tersebut.
Tanggapan Muslim itu seolah-olah ingin mengatakan bahwa tugas dan tanggung jawab pemerintah telah tunai, jika infrastruktur yang disediakan sudah mampu mengantisipasi prakiraan curah hujan tertinggi pada rentang waktu tertentu yang digunakan untuk merancang infrastruktur. Lalu dia “mengarahkan” agar tuntutan Nainggolan, sebaiknya dialamatkan kepada BMKG yang tak mampu melakukan “prakiraan” terjadinya curah hujan siklus 200 tahunan, saat pergantian tahun kemarin.
***
Azas Tigor Nainggolan yang dari gelar kesarjanaannya menunjukkan latar belakang ilmu sosial (hukum), justru terlihat lebih memahami konsep rekayasa teknologi. Hal yang semestinya lebih dikuasai dan dipahami Muslim Muin yang berlatar belakang engineering. Mengapa demikian?
Tuntutan yang dimaksud Nainggolan justru menggambarkan, pemahamannya tentang kemewahan yang disediakan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi hari ini. Sehingga mestinya, DKI Jakarta sudah mampu memikirkan dan mengembangkan gagasan terkait early warning system tersebut di atas.
Selain kemajuan teknologi yang tersedia dan kini semakin terjangkau, musibah banjir sendiri merupakan bencana yang hampir rutin berlangsung setiap tahun. Kali ini memang dirasakan yang paling hebat. Setidaknya selama 20 tahun belakangan.
Jika berbagai upaya yang dilakukan belum mampu mengatasi ancaman banjir, teknologi yang ada telah memungkinkan upaya disrupsi, pada sistem manajemen perkotaan yang berkaitan dengan early warning system warganya, sehingga bisa meminimalisasi korban maupun kerugian.
Mungkin Nainggolan terinspirasi dari berbagai aplikasi teknologi yang akhir-akhir ini telah akrab dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika “waze” atau “google map” kini tersedia untuk membantu kita memilih rute tercepat yang dapat dilalui, hingga perkiraan waktu tempuh perjalanan dari satu lokasi ke lokasi yang lain, bukankah mestinya dapat dibayangkan aplikasi teknologi lain yang dapat membantu masyarakat mengetahui perkiraan tinggi genangan air yang bakal terjadi pada berbagai lokasi di Jakarta?
***
Kini, “sunnatullah” banjir dengan curah hujan seperti kemarin, mestinya tak lagi menjadi isu yang diratapi. Kerusakan alam yang terjadi akibat ulah manusia, telah berlangsung hampir sepanjang masa. Berupaya menormalisasikannya, tak mungkin dilakukan dalam waktu singkat. Termasuk mengubah perilaku dan kebiasaan mereka yang selama ini tak peduli dan cenderung merusaknya. Maka curah hujan tinggi yang diduga terkait dengan gejala perubahan iklim global tersebut, meskipun kita sesali, tapi tak perlu terus-menerus diratapi.
Jika bencana banjirnya adalah “sunnatullah”, upaya mencegah atau setidaknya meminimalisasi korban dan kerugian material, kini semakin mungkin dihindari. Tentunya dengan memberdayakan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang telah kita capai hingga hari ini.
Bukankah cara memandang persoalan, berpikir, hingga mengembangkan gagasan maupun inovasi seperti di atas tadi, jauh lebih wajar dan pantas, jika dibayangkan oleh Muslim Muin yang katanya salah seorang pakar dari Institut Teknologi Bandung tersebut?
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang kini semakin inklusif, semakin mungkin pula dimanfaatkan, untuk meniadakan maupun meminimalisasi deviasi dan penyimpangan dari kondisi ideal suatu rancangan yang sebelumnya bersifat statis. Sebab kecanggihan teknologi hari ini maupun di masa depan, memang semakin mudah menjalankan permodelan dinamis secara “real-time” yang menjadi salah satu pra-syarat pengembangan “kecerdasan buatan” atau artificial intelligence itu.
***
Kepakaran teknologi yang disematkan sebagian kalangan kepada Muslim Muin, seharusnya jauh lebih bernilai dan mulia dibanding peran “politis” TGUPP yang disandangnya. Sikap dan caranya dalam menanggapi keluhan masyarakat yang diwakili Azas Tigor Nainggolan itu, sungguh tak sepatutnya.
Sebagai bagian dari kalangan akademisi perguruan tinggi ternama di negeri ini, Muslim Muin harusnya tak perlu membabi buta mempertahankan “kebenaran” hipotesanya yang rapuh dan ketinggalan zaman. Sebab, persoalan menghadapi dan menangani ancaman banjir di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang terletak di kawasan pesisir pantai itu, sejatinya harus dan perlu disikapi dengan pemberdayaan kecerdasan-buatan atau artificial inteligence.
***
Politik memang seni dan ilmu untuk merebut kekuasaan yang secara normatif ditujukan untuk menghadirkan kebaikan bagi seluruh masyarakat, baik yang mendukung maupun menentangnya.
Tapi definisi politik dalam konteks merebut kekuasaan tersebut, tak mesti berlangsung secara konstitusional semata. Sebab politik juga memiliki kecenderungan untuk menghalalkan segala cara dan inkonstitusional.
Semua itu memang mungkin terjadi. Sebab politik berkaitan erat dengan persepsi maupun pencitraan yang ditegakkan dan diyakinkan kepada pendukungnya.
Akademisi dan ilmuwan mestinya tak perlu menceburkan diri di “kubangan” yang kotor itu. Apalagi sampai harus meninggalkan, bahkan mengabaikan, prinsip dan obyektivitas ilmu maupun pengetahuan yang dimilikinya.
Tsunami tak pernah bisa diramalkan kapan, di mana, dan seberapa besar bakal terjadi. Meski di kawasan yang sudah dimaklumi rawan sekalipun. Korban tewas ketika terjadi bencana tsunami di Jepang tahun 2011, mencapai lebih dari 10 ribu jiwa.
Kerja keras kalangan ilmiah di bidang ilmu pengetahuan maupun teknologinya, telah memungkinkan pencegahan jumlah korban yang jauh lebih besar. Tanpa pengembangan sistem mitigasi yang berdasarkan pengalaman musibah di Aceh saat tsunami menerpa 7 tahun sebelumnya (menewaskan hingga 250 ribu jiwa), bencana yang terjadi di Jepang itu, diperkirakan bakal menelan korban lebih 4 kali lipat.