Jika sebagian besar aktivitas kita terjadi di sekitar lingkungan rumah tinggal sendiri, kata pulang menjadi hilang makna. Ya, kita pasti pulang kembali ke rumah sendiri sesudah aktivitas itu berlalu; untuk makan, mandi, dan beristirahat.
Jika kita punya keluarga yang harus diurus: orang tua yang sakit, anak-anak yang masih kecil, dan istri atau suami yang kita kasihi, maka kata pulang pun menjadi penting dan relevan. Kita harus pulang, tanpa kita sadari, tidak selalu karena alasan pribadi ingin pulang, melainkan karena mereka -orang-orang yang kita kasihi itu– membutuhkan kehadiran kita.
Sebagian orang enggan pulang bilamana membayangkan bahwa ketika menginjak halaman rumahnya, dia akan mendapat kembali neraka kehidupan rumah tangga yang penuh sandiwara dan perang kata-kata atau luapan emosi. Orang-orang ini mencari “rumah” di tempat-tempat lain dan beberapa di antaranya bahkan tidak pernah berhasil menemukannya karena hatinya ada di rumahnya yang sesungguhnya sementara pikirannya dipenuhi kesedihan karena ketidakberdayaan mengubah keadaan.
Namun, di antara yang tidak bisa pulang itu adalah seseorang yang hidup dalam konflik dirinya sendiri antara mau pulang, boleh pulang, harus pulang, atau tidak bisa pulang.
Sayangnya, orang ini terlanjur masuk dalam gambar diri sebagai tokoh atau yang ditokohkan, sehingga dia berlindung di balik ketokohannya itu di dalam skenario pulang.
Baca Juga: Ditolak itu, Karena Menolak
Mau pulangkah? Pasti. Siapa yang tidak rindu kepada segala kenyamanan hidup di kampung halaman. Merindu rumah tinggal dengan segala kenangan terindah nya adalah sebuah rasa sakit yang menunggu terpuaskan dan bisa bikin susah tidur. Jika tidak ada halangan, ya pulang saja. Rindu terobati, sakit pun pergi.
Masalahnya, boleh pulang atau tidak? Ini urusan siapa yang mengambil keputusan? Diakah, atau pemilik rumah yang lain tempat dia berbagi hidup? Rumah yang terlalu besar untuk dihuni sendirian menjadi rumah yang sama sekali jauh dari nyaman sekalipun perabotan di dalamnya begitu mewah. Apalagi, jika faktanya adalah rumah besar ini memiliki kamar-kamar yang selama ini sudah terbuka dihuni oleh beragam keluarga dan handai tolan. Jika dia ingin pulang, sudahkah hubungan dengan seluruh keluarga dan handai tolan ini dibereskan dulu? Jika masalah masih belum diselesaikan dan dianggap selesai secara sepihak, tentu saja kerabat ini tidak akan tinggal diam.
Apakah harus pulang? Tentu hal ini tergantung siapa yang memerlukan kepulangannya. Mereka yang menggantungkan hidupnya dari dia pasti mengharapkan kepulangannya. Ya, dia harus pulang, karena tanpa dia aku bisa mati!
Jika demikian situasinya, mari kita ajukan pertanyaan singkat ini: “Diakah pemilik nyawamu? Diakah tuhanmu? Di mana imanmu berpijak?”
Seseorang tidak harus pulang karena kebutuhan orang lain.
Kerap terjadi ada anak-anak dikumpulkan untuk segera pulang karena salah satu dari orang tuanya sedang sakit keras dan terlihat tanda-tanda hendak meninggal. Mereka harus dikumpulkan karena orang tua memanggil dan hendak menyampaikan pesan-pesan terakhir. Ini adalah model harus pulang karena hak dan kewajiban sebagai ahli waris.
Begitulah.
Keharusan pulang seseorang karena nilai diri ketokohan bisa jadi lebih merupakan konsekuensi logis dari keadaan nyaris sekarat nya rumah yang ditinggalkan terlalu lama karena tidak terurus. Sang tokoh lupa diri bahwa dia pernah abai dan lalai mengelola rumahnya sendiri, sehingga berbagai tikus dan kecoa bertambah banyak dan liar di dalam rumahnya. Keju dan kue-kue tersebar di mana-mana, dan diperebutkan tikus-tikus atau kecoa itu. Bisa jadi, ketika tokoh itu pulang pun harus repot mengurus tikus dan kecoa selain menyapu dan mengumpulkan kembali remah-remahnya.
Ah, peernya banyak banget ketika dia pulang itu. Jika demikian, keharusan pulangnya sesungguhnya menjadi tanda tanya besar. Tidak bisa kah tikus-tikus bermusyawarah saja untuk mengangkat raja tikus yang lain supaya rumah bisa dikuasai oleh para tikus? Memangnya, cuma dia yang bisa membereskan rumah? Memangnya, tugas diakah untuk membereskan rumah itu?
Nah, beda ceritanya jika situasinya adalah memang tidak bisa pulang.
Kamu tidak akan pernah bisa pulang jika tidak punya ongkos, atau tidak punya muka untuk menutupi kemaluan sekalipun kemaluanmu sudah tertutup rapat oleh balutan kain yang nyaman atau bahkan terlihat mewah. Kamu juga tidak akan pernah bisa pulang jika sebagian dari orang-orang di rumahmu mulai terusik oleh kehadiranmu yang selalu berkata dan berlaku seenak perut dan dengkul. Sangkamu, semua orang suka akan perut dan dengkulmu?
Jika kamu beranggapan bahwa kamu sebegitu berharga bagi orang-orang lain sehingga pasti harus pulang, pernah kah kamu belajar jujur kepada dirimu sendiri untuk mendengarkan kembali semua ujaranmu dan menonton kembali semua sepak terjangmu? Sudahkah kamu belajar jujur berbicara kepada dirimu tentang siapa kamu bagi dirimu, siapa kamu bagi orang lain, siapa kamu di hadapan Tuhanmu?
Dunia itu bukan milik kita, apalagi kamu. Untuk apa jadi tokoh dunia jika matimu nanti telanjang juga dengan nama harum dan busuk berbaur jadi satu. Bau busuk itu merusak harum narwastu. Baju saja tidak bisa dibawa ke kubur, apalagi rumah tinggal. Namamu itu lah yang penting. Tabiatmu itulah yang tersisa.
Jadi, jika masih merindu dan ingin pulang: cobalah jujur dahulu kepada nuranimu sendiri. Siapa kamu?
*Penulis Adalah Konsultan Manajemen dan Penulis Lepas.
Penulis Adalah Konsultan Manajemen dan Penulis Lepas
Menyukai ini:
Suka Memuat...