Oleh: Sangaji
Kampus sebagai miniature Negara, tentunya menjadi wadah bagi mahasiswa untuk belajar berdemokrasi dan berpolitik, sebagai bekal menghadapi realitas di luar kampus pasca lulus. Hanya saja di UIN SUKA, ada pihak-pihak tertentu yang menghalangi proses berpolitik dan berdemokrasi. Pada tanggal 1 November 2017, SEMA, Wakil Rektor (WR) III, dan WD III tidak menemukan kesepakatan (deadlock) terkait mekanisme PEMILWA. Kemudian keputusan itu diserahkan kepada Rektor. Menanggapi kebuntuan ini, Rektor menyatakan “Selama tidak bertentangan dengan SK Dirjen, maka sistem ke-Partai-an tidak dilarang.” Keputusan yang dikeluarkan oleh Rektor UIN-SUKA tersebut tenyata kalah dengan forum kultur yang dimotori oleh WR III. Pada tanggal 4 November di warung makan Lestari, WR III bersama organ ekstra menyepakati mekanisme PEMILWA tanpa partai. Keputusan sepihak yang diambil oleh WR III bersama koleganya (anti partai), yang memutuskan bahwa PEMILWA diselenggarakan melalui Musyawarah Mahasiswa (MUSMA). Keputusan WR III ini cacat hukum sebab tidak melalui mekanisme pengambilan keputusan yang sah.
Tidak berhenti disitu, karena merasa bersalah juga malu, akhirnya WR III kembali (tidak kapok) menerbitkan surat Pada 21 November 2017. Dengan Nomor B-6144/Un.02/R.3/TU.00/11/2017. Surat tersebut bersifat PENTING perihal PEMILWA 2017. Surat ini dikeluarkan berdasarkan hasil rapat bidang kemahasiswaan dan kerjasama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada hari selasa 21 November 2017 pukul 12:30 WIB menghasilkan keputusan, bahwa diberi tiga opsi pemilihan pengurus ORMAWA yaitu:
Pertama pemilihan pengurus SEMA/DEMA melalui Musyawarah. Pemilihan HMJ/HMPS melalui pemilihan terbukan dengan E-Voting.
Kedua pemilihan dengan musyawarah mahsiswa dapat ditinjau dengan atau kontrak perjanjian yaitu; partisipasi pemilihan di atas 75% .
Ketiga kalau dua hal itu tidak diterima, maka pemilihan pengurus SEMA/DEMA dilakukan oleh bidang kemahasiswaan dan kerjasama.
Respon atas surat ini juga dilakukan oleh ketua SEMA-U saudara Viky Artiando Putra, dalam suratnya menolak seluruh opsi yang ditawarkan pada surat yang disampaikan oleh WR III. Dan akhirnya berujung pada kesepakatan menemukan jalan tengah dengan alasan ingin mengakomodir seluruh elemen mahasiswa yaitu pemilwa menggunakan sistem partai dan pemilihan menggunakan e-voting. Dengan adanya kesepakatan ini, pelaksanakan pemilwa disepakati akan dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2017. Keputusan kembali diundur ketika pada tanggal 4 Desember 2017 sekelompok mahasiswa berdemonstrasi ke rektorat menuntut pemilwa yang akan dilaksanakan dan disepakati itu ditolak dan memberi opsi bahwa pemilwa diadakan pada bulan Maret 2018 dan membentuk tim Ad-Hock sebagaimana pemilwa tahun lalu.
Kritik dan Saran Untuk Kebijakan Wakil Rektor (WR) III
Pemilwa kembali diundur sampai pada akhir Desember 2017 adalah keputusan yang dibuat oleh pemangku kebijakan atas desakan massa aksi. Bapak WR III dalam hal ini selalu menggunakan alasan mengakomodir segala aspirasi yang ada nyatanya membuat jalannya pemilwa menjadi tertunda. Sebagai saran, penulis memberi saran bahwa prinsip yang harus digunakan oleh WR III adalah “ Jika tidak bisa diselamatkan seluruhnya, maka selamatkan lah sebagiannya”. Sebagai pemimpin mengakomodir segala kepentingan umum adalah hal yang wajib untuk dilakukan, akan tetapi melihat kondisi selama ini terjadi bahwa keinginan itu menjadi utopis dilakukan melihat ada banyak kelompok dengan kepentingan yang sangat berbeda jauh dan sulit menemukan jalan tengah, jalan tengah pun diopsikan nyatanya juga ditolak oleh beberapa kelompok.
Kita paham apa yang dimaksud oleh WR III, akan tetapi pada kenyataannya bahwa keinginan tidak sama dengan kenyataan yang terjadi. Penulis meyakini bahwa hal ini juga dipahami oleh pemangku kebijkan, sampai akhir ini pun segala kesepakatan rapat-rapat resmi selalu tidak memiliki “taring” sebab selalu keluar dari kesepakatan pihak sah yang semestinya memutuskan yaitu WD III, WR III dan Sema-U. maka diluar keputusan yang tidak melibatkan elemen tiga itu adalah keputusan yang tidak sah dilihat dari aspek aturan yang berlaku. Penulis paham, bahwa kadang kita harus mencederai peraturan yang berlaku dalam kondisi tertentu, akan tetapi jika itu dilakukan berkali-kali maka untuk apa adanya aturan ?.
Penulis sekali lagi paham apa yang dimaksud oleh WR III sebagaimana WR III juga paham bahwa ada prinsip yang menyatakan bahwa “Kebijakan pemimpin haruslah mengedepankan kemaslahatan bersama” dan juga menghindari kemudratan, sebagaimana pula itu dilakukan dengan mengundur kembali pemilwa yang sudah dilaksanakan rangkaiannya serta jadwal telah diatur, jika diundur itu menguras tenaga KPUM-U dan KPUM-F sebagai panitia pelaksana yang juga harus mengatur ulang jadwal dan menguras tenaga yang ada. Tentu WR III sangat paham bahwa “menghindari Kemudharatan lebih diutamakan daripada mendatangkan Kemaslahatan”.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...