Oleh: Ahmad FF
SERANGAN senja dalam kontestasi politik setingkat desa, kabupaten/kota, maupun nasional merupakan hal yang sudah dianggap biasa. Berbeda dengan saudaranya, yakni serangan fajar yang aksinya dilakukan pada pagi hingga menjelang tengah hari. Sedangkan untuk serangan senja berlaku pada menjelangnya senja sore hingga malam pun tiba. Dua kegiatan ini dilakukan oleh oknum-oknum tim sukses (timses) maupun partisipan dalam melancarkan aksi tebar jala. Kegiatan blusukan dengan menitipkan selembar amplop atau sembako hampir selalu ada ketika menjelangnya hari pelaksanaan pemilihan, baik kepala desa, walikota atau bupati, para dewan agung yang terhormat, sampai sekelas presiden.
Ada banyak versi pendapat mengenai saweran uang dua “serangan” ini. Nah, ada salah satu pendapat yang cukup menarik tentang dua serangan, bahwa agenda dua serangan merupakan sebuah tradisi mengakar secara turun temurun dan melekat di tengah masyarakat. Tradisi tersebut secara fakta lapangan memberikan dampak sosial bagi masyarakat dan psikologi untuk pelaku kegiatan dan masyarakat.
Tradisi serangan senja dan fajar merupakan sebuah permasalahan yang setiap momen pemilihan dapat dipastikan selalu menjadi kegiatan pelengkap tahapan pencalonan. Pelaku biasanya memberikan sebuah embel-embel istilah kekinian untuk mengaburkan bahasa suap menjadi pesangon maupun ongkos perjalanan pada calon korban. Banyak variasi saweran serangan yang diberikan oleh para calon kandidat kepada masyarakat yang menjadi target incaran suara pemilih untuk diberikan sebagai stimulusnya.
Di mulai dari uang, bahan pokok kebutuhan, hingga pemberian cuma-cuma untuk mendongkrak marwah loyal dan murah meriah mereka. Tak luput emak-emak garis keras dan militan menjadi target utama sebagai promotor kampanye gratisan, pemuda milenial dan kolonial yang menjadi target sasaran sebaran serangan senja dan fajar dari pelaku pencalonan menjadi target pelengkap dalam aksinya. Tradisi demikian kiranya merupakan sebuah dosa jariyah yang pada setiap momennya selalu menjadi budaya tidak sehatnya penerapan ilmu perpolitikan.
Serangan senja dan fajar memiliki dua dampak yang setelah dipikir dengan baik dan benar terdiri dari sosial dan psikologis. Pastinya, dua dampak ini berdasarkan penghayatan sebagai warga yang taat dan rajin menabung dari sisi negatif sebagai bahan pertimbangan saat momen pemilihan. Meskipun dalam faktanya semua orang telah mengetahui sisi buruk tersebut, mereka masih tetap mengiakan dengan dalih “tidak baik menolak rezeki”. Biasanya, para pemangku jabatan juga mendukung hal demikian karena turut menikmati lezatnya kucuran uang dadakan, sehingga tradisi orang-orang yang melakukan tersebut langgeng ila yaumil qiyamah.
Pertama, dampak secara sosial. Karena lingkungan yang sudah kental dengan tradisi sawer serangan fajar dan senja, secara sosial masyarakat akan selalu menunggu dan mewajibkan setiap momentum pencalonan ada harga ongkos yang mesti wajib dibagikan. Mereka berdalih bahwa ketika seorang calon dalam perjalanan tidak memberikan saweran pemilihannya, dan dipastikan menang, ia akan didaulat medit bahkan dibenci karena tidak membagikan ongkos politik wajib kepada warga. Kepemimpinannya tidak akan sehat, mengingat awal pencalonan tidak bermodalkan apa-apa. Terdapat sebuah tuntutan wajib yang harus diserahkan sebagai ritual tebar jala, meskipun tidak ada yang bisa memastikan bahwa ia akan menang ataupun kalah.
Selanjutnya, tidak ada saweran tidak akan jalan. Ini merupakan nyata bahwa dampak negatif tradisi tersebut menimbulkan ketergantungan awal bagi si pemilih karena tidak menyebarluaskan ongkos politiknya kepada warganya. Ya, meskipun kenyataannya warga tidak akan memilih semua para calon dan mereka hanya memanfaatkan momen bagi-bagi rezeki nomplok dadakan, sehari tanpa kerja. Terakhir, orang yang memiliki kemampuan dalam memimpin akan takut sebelum mencalonkan diri akibat dugaan modal politik pencalonan yang besar, tidak ada modal, dan malas untuk berutang. Akhirnya, yang memiliki integritas pemimpin akan kalah dengan pesaing bermodal dan diperkuat dengan narasi “tidak ada uang, maka terbuang”.
Kedua, dampak psikologis dari agenda tebar jala sawer serangan. Pertama para calon harus sekuat tenaga, baik modal maupun kecakapan dalam tawar menawar ketika prosesi tebar saweran saat berhadapan dengan para pelaku. Belum lagi bertemu dengan emak-emak militan yang doyan sogokan, dapat dipastikan pelaku harus memikirkan ulang. Selain itu, momen cari sebanyak-banyaknya uang utang ongkos pencalonan sebagai media utama dalam menggaet suara jalur patas. Bagi para calon ketika mendengar kabar buruk tidak masuknya dalam deretan pemenang, dapat dipastikan akan mengalami beberapa gangguan, seperti stres, tidak enaknya nafsu makan, bingung menutupi hutang, dan penjualan aset rumah tangga sebagai penjaminan bayar hutang tebar saweran.
Terakhir dari dampak secara psikologis dapat dipastikan adanya tahapan pemulihan untuk menutupi modal yang keluar sebagai modal tebar saweran dalam prosesi serangan senja dan fajar melalui tarif tunai administrasi penerimaan perangkat baru, bau-bau penilapan dana pemerintahan yang berujung korupsi jamaah maupun perorangan. Ini mengacu pada etos kerja dan kepribadian pemimpin ketika terpilih menjadi seorang pemenang dalam sebuah kontestasi perpolitikan. Kebanyakan orang berpendapat, ini merupakan hal-hal yang dapat dipahami sebagai hal biasa dan mungkin lumrah untuk dilakukan. Namun, kembali lagi kepada individu masing-masing bahwa setiap keputusan dan kebijakan memiliki sebuah dampak yang berjangka panjang.
Sebelum menutup tulisan receh ini, penulis ingin mengajukan sebuah solusi pilihan yang jika dipikir dengan akal waras dan sehat dapat menjadi sumbangan ide pemikiran dan kebijakan yang cukup supportif dalam pembangunan sumber daya manusia. Pertama, perkuat sosialisasi dampak negatif politik uang (money politic) atau saweran, dengan mendatangkan pihak-pihak berkompeten dalam bidangnya. Tentunya, berhadapan dengan perorangan manusia yang memiliki perbedaan watak dan ambisi, setidaknya terdapat langkah konkret untuk menjamin politik sehat. Kedua, adanya pendukung kebijakan edukasi politik kepada warga bahwa hal tersebut tidak baik bagi keberlangsungan hidup. Terakhir, kembalikan kepada setiap individu manusia bahwa kita diberi akal sehat, hati nurani yang bersih oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk memilih hal-hal baik bersifat jangka panjang. Oleh sebab itu, mari gunakan dengan semestinya agar terciptanya suasana yang baik dan sehat. Maka dari itu, bersama-sama meningkatkan kesadaran dan kewarasan tahap pemilihan. Kejahatan akan berhenti seiring dengan pengurangan dosis pelaku beserta segala ambisi jalur pintasnya.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...