SERIKATNEWS.COM – Beragam suku di Indonesia memiliki beragam cara menghadapi bencana secara turun temurun. Suku Mbojo tinggal di kawasan Gunung Sangeangapi pun memilikinya.
Lokasi suku ini ada di Kecamatan Wera, Bima. Pembelajaran mitigasi bencana letusan Gunung Sangeangapi dengan merasakan fenomena alam dan perilaku hewan yang gelisah.
Aktivitas kegempaan di Gunung Sangeangapi kini berada pada Level II atau berstatus waspada. Masyarakat di sekitarnya dan wisatawan tidak diperbolehkan untuk mendekat atau beraktivitas di dalam radius 1.5 km dari pusat aktivitas Gunung Sangeangapi.
Kementerian ESDM, Badan Geologi serta Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Pos Pengamatan Gunung Sangeangapi mengeluarkan hasil rekaman keseharian tingkat aktivitas Gunung Sangeangapi. Periode pengamatannya pada tanggal 18 Oktober 2018 pukul 00.00-24.00 WITa.
“Visualisasi Gunung jelas. Asap kawah bertekanan lemah hingga sedang teramati berwarna putih dan kelabu dengan intensitas tipis hingga sedang dan tinggi 100-350 m di atas puncak kawah,” kata Hadi Purwoko dalam laporan tertulisnya, Jumat (19/10/2018).
Gunung api berketinggian 1949 mdpl ini berada di Desa Sangiang, Kecamatan Wera Kabupaten Bima. gunung ini merupakan salah satu dari tiga gunung api selain Rinjani dan Tambora yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Masyarakat dan wisatawan yang hendak berkunjung ke sana diimbau agar mewaspadai bahaya aliran piroklastik. Mereka juga tidak diperbolehkan mendekati dan beraktivitas di daerah di antara Lembah Sori Wala dan Sori Mantau hingga mencapai pantai serta Lembah Sori Boro dan Sori Oi.
Masyarakat, petani dan wisatawan yang hendak berkunjung ke sana juga tidak diperbolehkan untuk mendekati dan beraktivitas pada semua lembah sungai yang berhulu dari pusat aktivitas puncak Gunung Sangeangapi. Hal ini untuk menghindari potensi ancaman bahaya aliran lahar yang mungkin terjadi pada saat terjadinya hujan.
Sementara itu, salah seorang warga lokal Kecamatan Wera yang dikonfirmasi, Saifulah H Anwar (36), mengatakan warga di sana sudah terbiasa mendengar suara dentuman yang bersumber dari Gunung Sangeangapi. Malah hal itu tak dihiraukan lagi namun tetap waspada.
“Kami ini sudah terbiasa. Saking terbiasanya, letusan itu kadang sudah nggak dihiraukan lagi, bukan berarti mengganggap remeh ya. Kita tetap selalu mengutamakan kewaspadaan. Setiap hari malah kami mendengar dentuman-dentuman itu,” tuturnya.
Selama ini, kata Saifullah, tidak adanya proses pelatihan mitigasi bencana terhadap masyarakat yang menetap sementara di Pulau Sangeangapi oleh institusi yang berwenang. Jarak antara Sangeangapi Pulau dan Sangeangapi darat sekitar 15 kilometer dan hanya belajar pada tingkah laku hewan dan kondisi alam.
“Ketika tingkat kegempaan meningkat, cuaca gerah dan hewan mulai gelisah, maka itu adalah tanda-tanda akan ada letusan. Kalau ada fenomena seperti itu maka masyarakat mulai meningkatkan kewaspadaannya,” tutup Saifullah.
Letusan besar dari Gunung Sangeangapi ini tercatat pada Mei 2014 lalu. Abu vulkanik letusan itu berdampak hingga ke Australia dan cukup mengganggu aktivitas warga di sana.
Buat yang suka berswafoto, Agrasen Ki Baoli juga menjadi spot yang bagus. Siap-siap bawa kamera maupun ponsel untuk mengabadikan momen-momen wisata di sini.
Untuk wisata ke sumur bertingkat tidaklah sulit. Lokasinya di Hailey Road, Jantar Mantar, New Delhi. Dari India Gate traveler bisa berjalan kaki antara 10-15 menit. Namun jika naik kendaraan umum seperti taksi maupun tuktuk ada baiknya memperlihatkan lokasi ini melalui aplikasi pencari jalan.
Untuk memasuki Agrasen Ki Baoli, traveler juga tidak perlu membayar uang sepeserpun alias gratis. Traveler bisa langsung masuk ketika tiba di halaman depan. Namun sangat disayangkan, masih sedikit informasi yang terdapat di Agrasen Ki Baoli ini mengenai sejarah dan asal-usul bangunannya.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.