SERIKATNEWS.COM – Pada Sabtu, 12 Februari 2022, The al-Falah Institute Yogyakarta mengadakan acara webinar di Live Zoom dengan topik “Pesantren dan Deradikalisasi Agama”.
Diskusi Live Zoom kali ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Gus Irwan Masduqi (Ponpes Assalafiah Mlangi/Lakpesdam Nu) dan pembicara kedua Dr. phil. Fadhli Lukman (Dosen UIN Sunan Kalijaga). Kedua pembicara kebetulan berasal dari daerah yang sama yaitu dari Yogyakarta. Pembicara pertama Gus Irwan Masduqi merupakan alumni al-Azhar Mesir yang pernah menulis buku Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama (2011) memberikan pemahaman tentang (Peran Pesantren dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia) dan pembicara yang kedua Dr. phil. Fadhli Lukman Beliau pernah menulis buku berjudul Menyingkap Jati Diri al-Qur,an: Sejarah Perjuangan Identitas Melalui Teori Asma’ al-Qur’an (2018) memberikan pemahaman tentang (Terjemahan Quran dan Potensi Radikalisme).
Acara dimoderatori oleh Saiful Bari ini berlangsung kurang lebih selama 2 jam 30 menit dan dibuka dengan pembukaan dari MC (Atika Muhimmatul Mauqfirah) dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci al-Qur’an, menyanyikan lagu Indonesa Raya, dan sambutan-sambutan, kemudian dilanjutkan dengan perkenalan dari para pembicara yang diperkenalkan oleh Moderator, diskusi berlanjut dengan penyampaian dari para pemateri dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, dan acara webinar akan ditutup dengan pembacaan doa bersama.
Webinar The al-Falah Institute Yogyakarta dengan tema “Pesantren dan Deradikalisasi Agama“ ini diharapkan memberikan pemahaman keagamaan yang toleran dan moderat sehingga dapat mewujudkan pemahaman yang bersifat kemanusiaan dan bisa menghindari pemahaman yang berpotensi memicu pemahaman agama yang radikal.
Pemateri pertama menuturkan pentingnya anti radikalisme melalui pesantren namun pemateri memberikan saran bahwa tidak semua pesantren itu bersikap toleran.
“Tidak semua pesantren itu terbuka, ada pemimpin Pesantren (Kiai) yang pemikirannya kolot ada pula yang berwawasan luas, dan hal itu dituduh liberal. Begitu pula ajaran-ajarannya ada tradisi kitab kuning yang Turats Tasamuh (toleran) ada pula yang Turats al La Tasamuh (tidak toleran) ada yang berifat pro teroristik ada yang tidak pro teroristik maka daripada itu santri-santri diharapkan bisa memilah dan memilih mana paham di Pesantren yang isinya bersifat humanis dan yang bersifat radikal.”
Ada beberapa poin khusus yang disampaikan oleh Gus Irwan Masduqi:
- Ahlusunnah wal jamaah jangan sampai diartikan secara sempit (hanya NU dan Muhammadiyah) karena banyak aliran aswaja yang berfiat radikal dan aswaja yang berifat toleran dan humanisme.
- Banyak kitab-kitab klasik kita yang melegalisasi sistem perbudakan dan ini sudah mengakar namun menurut ulama-ulama kontemporer kita hal ini tidak sesuai dengan nilai nilai kemausiaan dan tidak boleh diimplementasikan di kehidupan kita.
- Radikalisme tidak hanya ada di ISIS, FPI,dan HTI di NU juga ada yang bersikap radikalisme yaitu ada seorang Kiai yang masih mengharamkan sekolah formal.
Pemateri kedua menuturkan “Terjemahan al-Qur’an menjembatani tradisi tafsir yang elitis dengan masyarakat umum akan tetapi pada saat yang sama juga memutus relasi pembaca dengan tradisi tafsir” dengan hal ini terjemahan mempermudah masyarakat umum untuk mempelajari isi al-Qur’an dengan makna tunggal karena terisolasinya tafsir-tafsir ulama dan karena hal itu masyarakat umum enggan untuk mempelajari tafsir-tafsir yang lebih luas. Obyek yang dituju oleh terjemahan al-Qur’an adalah mayarakat luas sehingga memperluas jangkauan pembaca tafsir sedangkan tafsir elitis jangkauan pembacanya adalah masyarakat Pesantren. Dengan penegasannya beliau mengatakan “Ketika seorang masuk ke dunia tafsir maka dia akan berlanjut kepada tafsir yang luas dan ketika seseorang masuk ke dunia terejemahan maka dia akan berhenti diterjemahan itu dengan makna tunggal karena secara Hermeneutis pembaca itu menyetarakan antara terjemahan dengan teks al-Qur’an”.
Dari beberapa poin di atas moderator menyimpulkan bahwa “kita harus lebih berhati-hati terhadap apa yang kita pelajari karena paham radikalime masih ada di sekeliling kita dan sebagai pelajar kita dituntut untuk memfilter pemahaman yang tidak bersikap toleran dan humanis.” Lalu Bisakah kita menghubungkan terjemahan al-Qur’an dan radikalisme agama? Moderator menegaskan “berbahaya ketika terjemahan dianggap sama dengan teks al-Qur’an karena hal ini akan melahirkan pemahaman yang tekstual dan pemahaman yang tekstual cenderung akan melahirkan paham radikal.”
Webinar kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan ditutup dengan pembagian doorprize kepada peseta yang terpilih.(*)
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...