Mitos Pemimpin Dwi-Tunggal
Herbert Feith, dalam bukunya yang berjudul (The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia), mengisahkan tentang pasang surut demokrasi di Indonesia dan membagi dua tipe kepimpinan yakni seorang kharismatik atau solidarity makers (penggalang solidaritas) dan seorang teknokrat atau administrator.
Kala itu, dua sosok yang dimaksud sebagai pasangan pemimpin ideal di Indonesia ialah figur Sukarno sebagai seorang kharismatik dan Hatta sebagai seorang teknokrat. Tentu, pasangan dwi-tunggal ini telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka sedang berupaya menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara besar yang kompeten, berpikir maju dan patut diperhitungkan.
Baca Juga: Mengukur Cawapres Jokowi 2019-2024
Dari sisi kharismatik Sukarno, kita dapat menangkap bagaimana seseorang yang akrab disapa Bung Karno ini memiliki visi dan ideologi yang kuat dalam menggalang kekuatan rakyat Indonesia untuk bersatu padu merebut kemerdekaan. Si Bung Karno memang berhasil mewujudkannya, dengan ideologi “Marhaenisme” yang ia sebut sebagai azas perjuangan berwatak kerakyatan ia mampu menggerakkan jutaan massa yang dinamakan
marhaen itu.
Namun, ideologi jika tak dilaksanakan dengan baik maka hanya akan bersifat utopis. Dan itulah tugas yang diemban oleh seorang Hatta, sebagai seorang teknokrat dan pernah mengenyam pendidikan di Eropa, si Bung Hatta meramu sehingga perpaduan antara teori dan praktik dalam kehidupan bernegara dapat sejalan sesuai dengan apa yang
dicita-citakan.
Tipe kepemimpinan kharismatik Sukarno inilah yang kemudian memberikan harapan besar bagi rakyat Indonesia saat itu. Dalam ideologi Marhaenisme, Bung Karno mengungkapkan tentang dua azas perjuangan yang berwatak asli rakyat Indonesia yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Nasionalisme yang bercorak perikemanusiaan dan bukan chauvinis, serta demokrasi Indonesia yang terdiri dari kedaulatan politik dan ekonomi.
Kedua paham antara sosio-nasionalisme dan sosi-demokrasi disebutkan oleh Bung Karno tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dan hal ini bahkan dipertemukan dalam konsep Trisakti oleh Bung Karno sebagai tonggak pembangunan nasional yang adil, yakni berdaulat dibidang politik, berdikari dibidang ekonomi dan berkepribadian dalam
kebudayaan
Baca Juga: Presiden: Pasar Tradisional Masih Miliki Daya Tarik
Sementara itu, ciri utama dari tipe kemimpinan teknokrat adalah berpikir secara metodologis dan menggunakan logika ilmiah muncul pada pemikiran Hatta tentang sistem ekonomi koperasi. Cita-cita revolusi pasca kemerdekaan bagi Hatta adalah melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis dan konkret. Hal itu diungkapkan dalam konsep koperasi untuk membangun perekonomian nasional sehingga negara yang baru merdeka bisa mandiri dan menstabilkan keuangan negara ditengah keterbatasan.
Sayangnya, duet kepemimpinan dwi-tunggal itu tak sampai berumur panjang. Bahkan jarang kita temukan lagi di masa demokrasi Indonesia modern. Bisa dikatakan saat ini kita sedang menghadapi krisis kepemimpinan ideal akibat fase politik yang identik liberal dan pragmatis.
Menanti Regenerasi Politik
Tak sedikit partai politik sekarang “mandul” melahirkan kader-kader ideologis yang bersifat visioner. Mereka (partai politik) pasca reformasi hanya berorientasi bagaimana bisa saling merebut kekuasaan untuk mengunggulkan kelompok atau golongan masing-masing.
Oleh sebab itu, Indonesia sebagai negara besar yang pernah berjaya dimasa awal kemerdekaan harus rela tertinggal dengan negara-negara berkembang lainnya. Konflik antara dua pemimpin ini berawal sejak Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden. Meski hubungan kedua tokoh masih dikatakan harmonis diluar konstalasi politik di Indonesia, namun berdampak pada arah pembangunan
negara yang belum terselesaikan sampai saat ini.
Sekarang, banyak figur kharismatik (politisi) menggunakan kekuatan uangnya untuk “membeli” suara rakyat saat pemilihan umum (pemilu) berlangsung demi mempertahankan dan melanggengkan kekuasaaannya. Sementara para teknokrat menganggap bahwa pemilu sama halnya bersifat politis yang berdasarkan kepentingan sesaat bagi para politisi.
Padahal, seperti yang dikisahkan sebelumnya bahwa demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sebaiknya tak bisa dipisahkan. Pertanyaannya, apakah rakyat Indonesia saat ini sudah cerdas dalam memanfaatkan hak
konstitusinya?
Pasca Reformasi dan Indonesia Sentris
Baru-baru ini, Badan Pusat Statisik (BPS) merilis jumlah penduduk miskin Indonesia berkurang menjadi 25,95 juta jiwa (9,82%) per Maret 2018. Jika dibandingkan pada bulan Maret 2017, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 27,7 juta jiwa (10,64%). Penyebabnya, pemerintahan di era Jokowi-JK mengaku telah memaksimalkan penyaluran subsidi dan pemberian bantuan sosial untuk mendorong penurunan tingkat kemiskinan tersebut.
Merujuk pada pencapaian pemerintahan Jokowi-JK mengingatkan bagaimana ramuan dari peran kedua pemimpin kharismatik dan teknokrat berhasil menyelamatkan Indonesia dari krisis kepemimpinan. Selanjutnya, konsep Trisakti Bung Karno yang menjadi roh dari Nawa-Cita pemerintahan Jokowi-JK harus terus diwujudkan sehingga pembangunan nasional yang berorientasi Indonesia sentris.
Oleh sebab itu, menyambut Pemilihan Umum 2019 mendatang ada tiga hal yang perlu menjadi catatan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk menghadapi perkembangan geopolitik dan tantangan
ekonomi global ke depan.
Pertama, memiliki visi pembangunan berkelanjutan Indonesia sentris untuk pemerataan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, maka partai politik perlu menurunkan ego masing-masing kelompok dan lebih mengutamakan kepentingan bangsa Indonesia.
Kedua, dalam menyelamatkan bonus demografi Indonesia dibutuhkan kepemimpinan yang memiliki kemampuan untuk menjaga kedaulatan teritori Indonesia serta meredam isu disintegrasi bangsa yang dapat menyebabkan
perpecahan antar golongan masyarakat di daerah.
Ketiga, tantangan ekonomi global dapat berpengaruh pada krisis moneter, maka figur teknokrat bukan saja bersifat administrator melainkan mampu mempentrasikan perekonomian nasional dengan orientasi pembangunan industri yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Berdasarkan ketiga kriteria diatas, manakah yang menurut masyarakat paling tepat sebagai paket pemimpin ideal di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019? Siapapun itu, paket pemimpin kharismatik dan teknokrat masih dianggap paling cocok untuk iklim demokrasi kita.
Indonesia Controlling Community