Pagebluk mencengkeram peradaban. Coronavirus (Covid-19) yang kini dinaikkan levelnya oleh WHO menjadi pandemi telah berdampak besar pada lokus kehidupan, salah satunya pada bidang keagamaan. Praktisnya, ia berdampak pada penafsiran dan perilaku agamawan. Misalnya pemegang otoritas agama seperti Rabi garis keras, Pendeta Kristen dan pengkhotbah Muslim di Jerussalem dan belahan dunia lain yang didominasi umat beragama seperti Indonesia.
Masing-masing pemegang otoritas itu ada yang menyebut “Coronavirus adalah hukuman, tanda kedatangan Mesias” dan “Corona adalah salah satu tentara Allah SWT, bahwa Allah sedang menghukum para pendosa – “mereka yang menyerang orang yang beriman kepada-Nya.” Sedang di Indonesia ada seorang ustaz yang dengan arogan menyebut “Corona sebagai azab bagi bangsa Cina yang menindas Muslim Uyghur” dan seterusnya.
Perilaku itu berkenaan dengan gejala post-modernisme, yang mengukur kebenaran agama-agama secara subjektif. Sehingga dalam kajian pasca kebenaran (post-truth), salah satu penyebab dari matinya kepakaran (the death of expertise) adalah mewabahnya irasionalitas agama. Di samping itu, pandangan fanatisme teologi puritanisme telah bergerak cukup jauh dengan menutup kran keterbukaan tafsir agama yang mengandung unsur kesadaran modern dan peka terhadap rangsangan kultural serta rasa realitas sosial.
Perilaku demikian tentu sangat disayangkan. Pasalnya, kebenaran performatif itu diutarakan di saat kegetiran pandemi sudah mencapai titik parah. Sementara instruksi lockdown (penguncian) sudah ditetapkan di beberapa negara sebagai iktikad memberangus mata rantai persebaran wabah. Banyak pihak bahu-membahu mengingatkan untuk menaati anjuran WHO dalam menjaga lingkungan diri dan sosial. Secara naluriah, wabah itu membentuk solidaritas sosial di tingkat kewaspadaan antar sesama, oleh Mustofa Akyol fenomena ini semestinya dimanfaatkan tidak hanya untuk membangun rasa nasionalisme saja, melainkan juga solidaritas internasionalisme.
Tapi, sekali lagi, iktikad dhohir itu seakan-akan diruntuhkan konstruksinya oleh pemegang otoritas agama-agama. Pada titik ini, kecenderungan agama—yang digambarkan di pembuka tulisan ini—masih stagnan pada wawasan hidup jahiliah. Wawasan itu tidak lantas muncul ‘mak-njegagik’ begitu saja, ia terkait dengan kurasi pengetahuan yang diserap oleh agamawan dan ditetapkan melalui konsensus yang terbatas, baik secara saintifik maupun wawasan global. Agama, alih-alih menjadi konstruksi pembangunan dunia, ia malah berada di titik ‘menjadi beban kemajuan.’
Permasalahan agama dan sains semacam ini sudah pernah saya ulas pertengahan tahun lalu, dalam sebuah artikel yang berjudul Inteligensia Muslim di Era Pasca Kebenaran (Detik.com, 28/06/2019). Tulisan itu menyoroti kejumudan berpikir agamawan apabila berhadapan dengan pengetahuan modern. Campur-aduk objek profan dan sakral sering kali menjauh dan jatuh dalam kantong-kantong yang dislokasi dan bahkan nir-konteks. Selain itu, tafsir agama yang digunakan sebagai legitimasi dalam berdalih cenderung dirumuskan secara gegabah, bahkan serampangan. Sehingga, pada titik tertentu, ia membutakan ketakwaan pada wawasan global dan perubahan sosial yang dinamis.
Teologi Wabah
Arogansi agama yang berwujud ceramah atau dogma fatalisme itu kemudian menjadi tolak ukur dari kondisi teologis agama yang tidak baik-baik saja. Secara tipikal, ceramah ini mengundang kembali pertanyaan dari duduk perkara keterkaitan antara agama dan ilmu pengetahuan/sains.
Ian G. Barbour (2002) mengistilahkan pemegang otoritas agama yang mengumbar sentimen sebagai kelompok yang menggandrungi paradigma konflik (enemies). Lebih jauh Barbour mendefinisikan bahwa paradigma konflik merupakan pola pikir yang selalu membenturkan kebenaran subjektif dengan relativisme moral.
Dalam konteks ini, ada dua problematika mendasar yang menjerat agamawan berparadigma konflik tersebut. Pertama, pemasungan akal, ia merupakan persoalan klasik dari ketidak-sanggupan agama dalam memodifikasi ornamen-ornamen rasio guna menafsiri nilai-nilai agama yang lantas menjadikan tafsir agamawan tidak memiliki rasa realitas sosial, alias tidak membumi. Padahal masa pagebluk ini seharusnya menjadi batu ujian bagi kesadaran teologis dalam menaikkan derajat ketakwaan, baik takwa preventif maupun takwa transformatif untuk mencegah penularan (contagion).
Kedua, kekeringan substitusi adalah muasal dari operasi cuci tangan para agamawan untuk membasuh ketidak-sanggupan memberikan jawaban atas para jamaahnya dalam menghadapi gejala pandemi coronavirus. Pesan mereka pada umumnya satu: be careful! Selebihnya, iktikad preventif hanya berputar-putar pada ritual-ritual sakral bahkan bisa dikatakan tidak berbuat apa-apa, dalam bahasa lain mereka menggali kuburnya sendiri.
Kekeringan substitusi itu tampak jelas dari sikap sepele dan menyepelekan pandemi dengan menganggapnya sebagai “hukuman bagi pendosa.” Maka bertobatlah! Di sini literasi agama-agama fardu didorong perkembangannya. Faktor ini mengandung arti bahwa teologi mempunyai tantangan spesifik yaitu memperkaya khazanah kebahasaan sebelum mendefinisikan ulang atau membubuhkan sebuah fatwa keagamaan. Sebab kemampuan berbahasa mempengaruhi inteligensia agama dalam mendefinisikan dirinya.
Agama, sebagai sistem keyakinan, menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai kebudayaan masyarakat, menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan para anggota masyarakat untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya. Paling tidak, dalam konteks ini, nilai esoterik dan eksoterik agama bisa berjalan sejajar dengan memaksimalkan pendayagunaan rasionalitas untuk tetap berjalan di jalan tengah.
Alangkah baiknya jika para pemegang otoritas agama itu mencari struktur-struktur penalaran yang dasarnya lebih luas. Yang tidak menegasikan anjuran agama dalam menghormati ilmu dan membuatnya terbelakang secara kultural. Ala kulli hal, tugas klasik agama adalah membangun suatu dunia bersama di dalam semua kehidupan sosial itu menerima makna purna. Bukan malah membiarkan riak-riak kejumudan logika agama menafikan ilmu pengetahuan/sains. Semoga!
Peneliti Muda Isais UIN SUKA
Menyukai ini:
Suka Memuat...