Apakah di lingkungan sekitar kalian terdapat kasus tentang kekerasan seksual? Adakah salah satu anggota keluarga kalian yang pernah mengalami kejadian tersebut? Atau bahkan kalian pernah mengalaminya sendiri?
Mungkin kasus tersebut pernah terjadi di lingkungan sekitar anda, tetapi beritanya tidak tersebar secara luas. Terdapat juga kemungkinan bahwa korban sengaja menutupi kasus tersebut karena takut dianggap aib oleh masyarakat sekitar.
Seiring berkembanganya zaman, masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi. Baik melalui media massa maupun media sosial. Begitu juga dengan berita tentang kasus kekerasan seksual.
Beberapa waktu terakhir kasus mengenai kekerasan seksual marak terjadi di Indonesia. Baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Hal ini membuat kita harus semakin mawas diri di setiap situasi dan kondisi. Faktanya, pelaku kekerasan seksual banyak juga dilakukan oleh orang terdekat kita, seperti tetangga bahkan anggota keluarga.
Lalu, apa itu kekerasan seksusal? Menurut penjelasan Poerwandari (2000), kekerasan seksual merupakan bentuk tindakan berupa ajakan atau desakan seksual seperti mencium, meraba, menyentuh yang tidak diinginkan oleh korban.
Lebih dari itu, gurauan-gurauan seksual, pemaksaan menonton video porno, juga termasuk dalam kategori kekerasan seksual. Namun yang menjadi masalah dalam hal ini adalah tidak semua masyarakat menyadari. Lantas bagaimana kita dapat mengukur adanya tindakan kekerasan seksual dan sudah berapa banyak kekerasan seksual terjadi di Indonesia?
Catatan Buruk Kekerasan Seksual
Sebagaimana data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat bahwa sejak 1 Januari hingga tanggal 16 Maret 2021 terdapat 426 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dari jumlah 1.008 kasus.
“Sejak 1 Januari sampai 16 Maret 2021, terdapat 426 kasus kekerasan seksual dari 1.008 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.” Hal ini disampaikan langsung oleh Asisten Debuti Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan Ali Khasan dalam diskusi daring pada Jumat (19/3/2021) yang lalu.
Lebih dari itu, Komnas Perempuan juga memiliki catatan bahwa selama rentang tahun 2021 ini setidaknya terdapat 1.983 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal. Sebagaimana catatn tersebut, setidaknya terdapat 962 kasus kekerasan terhadap perempuan dimana hal ini terdiri dari 371 kasus kekerasan seksual dan sebanyak 229 kasus pemerkosaan.
Hal ini menunjukkan betapa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tidak dapat dipandang sebelah mata oleh beberapa pemangku kebijakan. Bahkan tidak sedikit kasus yang tidak memiliki kejelasan atau tidak dapat diungkap secara faktual dengan berbagai sebab.
Salah satu kasus yang sempat geger di media sosial kemarin yaitu kasus kekerasan seksual serta kasus penganiayaan yang terjadi pada anak SD di kota Malang. Dikutip dari Solopos.com, kuasa hukum dari korban, Leo A Permana, menceritakan jika peristiwa yang dialami oleh kliennya ini terjadi pada hari Kamis (18/11/2021).
Sekitar pukul 10.00 WIB, pasca korban pulang dari sekolah, ia dicegat oleh pelaku dengan memberikan bujukan akan diajak pergi jalan-jalan. Pada kenyataannya, sang korban dibawa ke rumah pelaku dan terjadilah tindakan kekerasan seksual.
Hal ini menjadi semakin memperihatinkan lantaran kemarahan sang istri dilampiaskan pada korban. Korban dibawa ke sebuah tanah lapang dan dianiaya oleh masyarakat sekitar.
Terdapat contoh lain dalam kasus kekerasan seksual. Sebagaimana kasus yang dilakukan oleh seorang guru boarding school di kota Bandung yang memerkosa 12 santriwati di bawah umur. Dikutip dari portal IDN Times, Setidaknya terdapat 12 korban dalam kasus ini. Bahkan di antara korban kekerasan seksual berumur 16-17 tahun hingga mengandung dan melahirkan.
Melihat cerita dua kasus memilukan ini memperlihatkan bahwa masih banyak kasus kekerasan seksual yang memerlukan perhatian. Berbagai stakeholder baik Komnas Perempuan maupun kelompok kepentingan lain harus memberikan fokus lebih tinggi.
Tidak menutup kemungkinan masih banyak kasus lain yang lebih parah butuh mendapatkan perhatian. Seperti kasus yang terbaru, mahasiswa universitas Brawijaya yang meninggal dunia dan salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu kekerasan seksual berupa pemerkosaan melalui pemberian obat.
Kejahatan Seksual dan Penanganannya
Di zaman sekarang teknologi dan informasi semakin maju. Banyak sekali teknologi mutahir yang telah berkembang pesat, di antaranya media massa dan media sosial. Dengan adanya media massa dan juga media sosial, kita semakin mudah mendapatkan akses berita terbaru yang telah terjadi, terkhusus pada berita kekerasan seksual.
Tidak luput dari sentuhan masyarakat, mereka beramai-ramai mengomentari terjadinya peristiwa kekerasan seksual ini. Banyak dari mereka yang mengungkapkan rasa kepada korban.
Mereka juga berlomba-lomba untuk memberikan dorongan bagi korban agar tetap bersemangat dalam menjalani hidup. Mereka berpikir bahwa korban mana yang ingin dirinya mengalami tindakan kekerasan seksual. Selain itu, keluarga korban juga merangkul para korban yang mengalami peristiwa tragis ini.
Namun, tidak semua masyarakat memberikan tindakan positif dengan memberikan dukungan kepada korban. Kenyataannya masih sering dijumpai baik di lingkungan sekitar maupun di media sosial yang menyalahkan korban dari tindakan kekerasan seksual. Bahkan, mungkin tak jarang kerabat dari korban masih menyalahkan korban atas peristiwa yang telah dialami.
Umumnya, tindakan masyarakat yang menyalahkan korban mencoba melabeli, melontarkan omongan yang justru menyudutkan psikologis korban, bahkan memberikan komentar yang bertendensi merendahkan di sosial media.
Tindakan victim-blaming seperti ini menjadi salah satu bentuk dari rape culture, di mana tindakan ini dilakukan dengan meyalahkan atau menganggap tindakan pelecehan yang terjadi merupakan bentuk imbas dari tingkah laku sang korban. Victim-blaming juga dijelaskan sebagai salah satu bagian yang lebih besar dari budaya pemerkosaan dan menganggap jika tindakan kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu hal yang lumrah terjadi.
Selain sifatnya yang menyalahkan korban sebagai penyebab terjadinya pelecehan maupun kekerasan seksual, victim-blaming juga memberikan dampak berupa terbentuknya pola pikir serta opini bagi masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Restikawati (2019) menjelaskan bahwa apabila hal seperti ini terus terjadi, maka akan sangat merugikan pihak korban kekerasan seksual. Hal ini tentu dapat membuat korban merasa tidak mendapatkan keadilan bahkan lebih parahnya dapat mengakibatkan munculnya depresi.
Setidaknya terdapat beberapa dampak secara psikis yang dirasakan korban setelah mengalami kekerasan seksual. Berdasarkan hasil penelitian Fuadi (2019), ia menjelaskan dampak secara psikis yang dirasakan korban kekerasan seksual diantaranya yaitu Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan depresi.
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) menurut Kaplan, H.I., Sadock, B.J., & Grebb, J.A., (1997) merupakan bentuk sindrom kecemasan, lanilitas automatic, ketidakrentanan emosional, serta kilas balik yang berasal dari pengalaman yang teramat pedih, baik secara fisik maupun emosi yang melampuai batas ketahan orang pada umumnya.
Individu yang mengalami ini akan merasakan tidak nyaman apabila dihadapkan pada kondisi yang sama atau mirip dengan kejadian yangpernah dialami. Selain itu, korban cenderung ingin menghindar dari situasi atau kondisi yang menyebabkan mereka merasa kembali pada saat terjadinya kejadian tersebut (Zuhri, 2009).
Terdapat beberapa kriteria dalam mendiagnosis ganggaun PTSD yang telah dijelaskan oleh Grinage (2003), di antaranya: (1) individu merasa terganggu akan kenangan atau ingatan tentang kejadian pengalaman traumatic secara berulang-ulang, (2) perilaku ingin menhidar dari individu, (3) mengalami gejala-gejala secara berulang apabila dihadapkan pada suatu kondisi yang mirip dengan kejadian traumatic, (4) adanya gejala yang menetap pada diri individu, minimal selama satu bulan.
Selain PTSD, korban kekerasan seksual juga dapat mengalami depresi akibat dari tekanan dari kejadian yang telah dialami tersebut. Individu akan merasa jika dirinya sudah tidak berguna, menganggap dunia kejam terhadapnya, dan merasa sudah tidak memiliki masa depan lagi.
Depresi sendiri merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan merasa dalam kondisi emosi sedih, muram, serta terkait dengan gejala-gejala kognitif, fisik, ataupun interpersonal (AP, dalam Aditomo & Retnowati, 2004). Pendapat lainnya juga menjelaskan bahwa depresi merupakan suatu bentuk keadaan emosi yang memiliki karakteristik seperti perasaan sedih, merasa gagal dan tidak berharga lagi, serta menarik diri dari orang lain maupun lingkungan sekitar (Sue, et.al, 1986).
Jika dilihat dari dampak buruk yang diterima oleh korban, maka pihak di sekitar korban memiliki tanggung jawab untuk memberikan positive value kepadanya. Lebih dari itu, banyaknya kejadian kejahatan seksual ini membuat pemerintah harus lebih memiliki instrument mitigasi masalah. Hal ini bertujuan untuk penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak atas apa yang dirasakan oleh korban.
Purwanti, A., & Hardiyanti, M. (2018) menjelaskan bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam mitigasi atau penanganan kasus kejahatan seksual, yaitu dengan menbentuk suatu sistem baru berupa kebijakan. Selain itu, dari sektor legislatif juga memiliki andil penting seperti dimasukkannya Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam Prolegnas. Ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban, serta agar negara lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan mencegah terjadinya tindakan serupa di masa mendatang.
Mahasiswi Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Menyukai ini:
Suka Memuat...