Terdapat suatu permasalahan yang sering diperbincangkan dalam Metafisika dan Epistemologi tentang diri manusia. Bagi filsafat manusia, semua gejala atau fenomena yang terjadi merupakan objek materiil. Metafisika mengangkat (titik didalam titik, meneliti cahaya dalam cahaya itu sendiri) terdalam tentang diri sehingga mengejar dunia luar (eksterior) dan menjauhkan rasio epistemologi dalam diri metafisika. Epistemologi sendiri memaparkan kerangka diri manusia menjadi open folder (selalu memberi wadah yang baru untuk perluasan dalam isi makna) yang melimpah. Diri diangkat melalui berbagai macam keseluruhan; yang terdiri dari sifat mengetahui, individu, ego, perasaan dan keseluruhannya.
Terdapat wacana yang tersampaikan dibeberapa literasi, bahwa diri itu tersampaikan oleh kata aku. Manusia yang menyadari diri sebagai “Aku”, sadar akan secara global bahwasanya seluruh fenomena yang terkait pada diri manusia bukan merupakan gejala- gejala belaka, yang terlepas satu sama lain. Didalam diri menyadari saling dihubungkan dengan asumsi kata “-ku”: pemahamanku, egoku, individuku, perasaanku. Secara Implisit diri mengangkat statusnya ada dan kebaradaan yang terelasi oleh objek dan subjek yang eksplisit.
Namun semuanya itu tidaklah mutlak. Aku merupakan kesatuan utuh dan memiliki orisinalitas yang menyendirikan saya dari segala apapun yang lain. Langkah berikutnya yaitu “cogito ergo sum“, merupakan konsepsi pemikiran descarter yang mengasumsikan pikiran menjadi sandaran sebuah identitas keberadaan. Pernyatan demi pernyataan; menjadi sebuah open folder bagi epistemologi untuk sepiring nasi yang tersaji dan bisa menjadi ratusan dengan di saji perbutir.
Secara otonom Diri-ku akan disingkap dengan diadakan oleh yang lain-mengadakan yang lain. Cashback kepada konsepsi dercartes “cogito ergo sum” dimana diri-ku diadakan oleh pikiran, yang memberi sifat keadaan pada diri-ku. Ada secuil sentilan bagi keberadaan aku secara sosialis; bahwa ketentuanku seluruhnya tergantung pada pengakuanku terhadap yang-lain, dan pengakuan mereka terhadap aku. Dimana letak keberadaan diri-ku?
Menganalisis Diri-ku secara otonom adalah hal yang begitu panjang. Tapi bukan berarti pengungkapan disini tidak bisa menangkapnya secara singkat dan gamblang. Pada dasarnya ‘aku’ dan yang-lain saling mengadakan dengan benar-benar. Bagaimanapun penghayatan konkret yang sangat pribadi, manusia baru berada di dalam korelasi dengan yang-lain. Kita hanya dapat mencapai kenyataan masing-masing di dalam korelasi atau hubungan timbal balik. Yang satu menjadi syarat mutlak untuk adanya yang lain; sudah termuat dengan implisit di dalam pengakuan mutlak yang induk. Tidak ada yang mulai lebih dulu. Aku adalah benar-benar manusia karna ada hewan serta mahkluk yang lainnya. Aku mahasiswa karna ada siswa. Itu ungkapan karna ada perbandingan dan penunjang keberadaan.
Pada refleksi antropologis ditemukan fakta yang berlainan. Manusia memang sadar akan diri sendiri sebagai substansi otonom, berdikari, absolut. Namun, itu hanya terjadi di dalam korelasi dengan yang-lain.
Pengakuan akan yang-lain dan kesediaan untuk mengadakannya sebagai yang-lain itu mengadakan aku sendiri secara unik dan kaya.
Ketika aku menyadari keberadaan yang-lain, otomatis diri memikirkan aku. Walaupun mungkin aku akan disatukan oleh serba lain. Keseluruhan jika ditangkap, sebenarnya menjadi satu realitas yang sama. Saling memuat dan saling diandaikan. Maka akan ada pengungkapan secara implisit yang disajikan oleh epistemologi dan menambah eksistensi sebenarnya manusia.
*Penikmat tidur dan suka begadang.
Mahasiswa Jurusan Filsafat UIN SUKA yogyakarta.
Penikmat tidur dan suka begadang,Ketua Bidikmisi Angkatan 2016 UIN SUKA yogyakarta Mahasiswa Jurusan Filsafat UIN SUKA yogyakarta
Menyukai ini:
Suka Memuat...