Covid-19 menjadi satu pandemi global yang tidak hanya membuat prkatisi kesehatan di beberapa penjuru dunia bekerja ekstra keras. Bekerja tiada kenal waktu. Badan berbalut pelindung yang menyekat diri agar tidak tertular oleh pasien positif Covid-19. Beragam hastag, meme, kartun, karikatur dan ucapan-ucapan terima kasih membanjiri pemberitahuan di setiap media sosial. Walaupun ada juga berita yang mencengangkan dan mengkhawatirkan.
Dalam situs Wall Street dijelaskan bahwa belum pasti siapa yang menjadi patient zero atau pasien yang pertama kali terserang virus ini. Ada yang mengatakan bahwa sudah sejak 17 November 2019, ada juga yang mengatakan bahwa covid pertama kali diidentifikasi pada 10 Desember 2019. Dari seorang laki-laki lansia sampai wanita berumur 57 penjual daging di pasar Huanan, Wuhan. Sampai akhirnya wabah ini menyebar ke Iran, Itali dan akhirnya sampai juga di Indonesia.
Segala kebijakan mulai diterapkan untuk mencegah covid. Pemerintah tidak me-lockdown tetapi menggunakan kebijakan social discanting, bekerja dari rumah, tidak bersentuhan, jaga jarak, dll. Walaupun isu lockdown menuai polemik. Sehingga menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menilai bahwa “lockdown Jakarta bisa berdampak terhadap distribusi pangan, apalagi pasokan pangan ibu kota sebagian besar bersal dari luar provinsi.” Ya… tentu dilema yang sangat berat, apalagi kalau masalah perut dan dompet.
Permasalahan sosial yang muncul akibat adanya pandemi global ini semakin kompleks. Di samping sebelum adanya pandemi, persoalan di berbagai sektor di negara ini juga bermasalah, baik kesehatan, pendidikan, kebudayaan, agama dan perekonomian. Maka wajar, adanya pandemi menjadi kepanikan yang sangat serius. Lho… virus ini bisa merenggut nyawa lho. Begitu juga dengan batuk, pilek, tersedak makanan dan lain sebagainya. Pada dasarnya manusia memiliki imun yang sangat luar biasa kuat. Kalau kata dokter Tirta, imun manusia itu sudah pinter, jadi kalau ada virus yang masuk ke dalam tubuh, spontan imun akan melakukan pertahanan.
Dengan kata lain, yang perlu dijaga adalah pola makan, pola gizi, dan pola hidup, jangan lupa ketahanan mental. Oke.. semisal ada yang mengatakan bahwa dari sebelum adanya covid, kita ini sudah makan seadanya, kerja malam, bahkan kerja di tempat-tempat kumuh, kenyataannya kita masih sehat. Lalu ada juga yang membantah bahwa mati itu urusan Tuhan, lalu kalau kita gak kerja kita dapat makan dari mana?
Permasalahan utamanya, bagaimana memberi kesadaran kepada khalayak bahwa covid itu sebenarnya bisa dicegah dengan pola makan dan pola hidup yang sehat? Caranya? Memanfaatkan sosial media. Mengapa sosial media justru membuat sebagian besar masyarakat takut dan ngeri, bahkan untuk bersalaman saja tidak mau, padahal belum tentu yang mengajak bersalaman itu terkena covid. Agaknya memang ada masalah dengan ketahanan mental manusia saat ini.
Kebutuhan masyarakat saat ini adalah penguatan mental, di samping pendampingan dan pemantauan dari pihak medis, pun pemerintah. Penguatan mental ini bukan menjadikan orang terlalu berani kepada covid, atau sebaliknya. Tetapi menumbuhkan kesadaran untuk menjaga diri dan lingkungan sekitar agar kembali sehat. Asap pabrik mengepul, limbahnya membanjiri sawah dan sumber air, alat transportasi yang semakin hari semakin banyak ketimbang penggunanya, penebangan pohon dengan alasan perluasan lahan, dan lain sebagainya. Hal ini juga menjadi pengaruh terhadap daya tahan manusia, baik kesehatan badan dan ketahanan mentalnya.
Covid bukanlah pandemi yang menyekat gerak perkembangan sosial, tetapi menjadi daya sadar bagi siapa pun untuk bergerak agar bisa lebih menempatkan diri. Mental adalah ruang isolasi yang sangat erat dengan keterlibatan diri dengan lingkungan. Mengapa? Karena mental menjadi satu kendaraan utuh untuk menyikapi apa yang diterima baik dari luar maupun dari dalam. Biasanya ia akan menerima dan menolaknya dengan keseuaian ketahanan mentalnya.
Sayangnya, sejak covid digaungkan oleh beragam media sosial, tidak sedikit masyarakat yang kemudian begitu kaku terhadap kondisi sosial di sekitarnya. Menjaga jarak, ketakutan yang berlebihan, bahkan rela untuk tidak bersalaman dengan sahabat karibnya di kantor, perkuliahan atau warkop-warkop kesayangan. Situasi sosial yang berkembang pasca adanya covid benar-benar merekonstruksi daya pikir dan daya sikap sosial. Memang sementara, tetapi akan menjadi kebiasaan yang akan berkelanjutan nantinya.
Lalu, bagaimana seharusnya agar dampak covid ini tidak terlalu menjadi momok bagi setiap manusia? Ketahanan mental. Lalu bagaimana mewujudkan ketahanan mental tersebut? Membangun kepercayaan satu sama lain, analisis diri menjadi prioritas utama, membangun keyakinan akan kesiapan menghadapi covid atau masalah apa pun dengan menumbuhkan kesadaran akan potensi yang dimiliki, tidak membatasi diri untuk lebih terbuka dalam menghadapi siklus perubahan sosial, baik secara ekonomi, perilaku sosial-budaya dan kesadaran keberagamaan.
Sedang Nyantri di Bayt Al-Karim Gondanglegi dan Bayt Al-Hikmah Kepanjen Malang