Di tengah isu peningkatan maksimalisasi vaksin dan pemulihan ekonomi nasional yang berdampak pada arah kehidupan masyarakat, wacana perpanjangan tiga periode Presiden kembali menguak belakangan ini. Sebagai negara hukum, Indonesia wajib memposisikan undang-undang dasar sebagai panglima tertinggi direpublik ini. Dengan demikian, demokrasi dan hukum akan berjalan secara berkelindan sesuai dengan harapan dan masadepan bangsa ini.
Secara konstitusional, amanat undang-undang dasar 1945 adalah tatanan baku yang tidak boleh diakali secara politis berlebihan, pasal 7 UUD telah membatasi masa jabatan Presiden yang berbunyi “Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Hingga hari ini, wacana jabatan presiden tiga periode beberapa waktu lalu terus digulirkan untuk melihat bagaimana respon atau reaksi dari masyarakat. Hal ini kemudian oleh Direktur Eksekutif Indopolling Network, Wempy Hadir dalam media kompas.com sebagai “testing on the wated” (23/6/21), atau kira-kira sebagai tes uji kepada publik masyarakat. Namun, bagaimana pun wacana tersebut tampak melanggar konstitusi UUD 1945 pada pasal 7 dan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2008, yang menyebutkan lamanya jabatan presiden.
Wacana tersebut juga ditolak oleh Presiden Joko Widodo karena ia sendiri tidak mempunyai niatan menjadi presiden selama tiga periode, bahkan ia tetap berpegang pada konstitusi. Presiden Joko Widodo dalam cnbcindonesia.com sangat menolak keras terkait wacana yang beredar, bahkan ia menganggap ada tiga motif mengenai wacana presiden tiga periode ini, yaitu: 1) seperti menampar muka Presiden Joko Widodo, 2) ingin mencari sensasi atau cari muka, 3) ingin menjerumuskan Presiden.
Tentu saja dampaknya dapat mendorong agar adanya pihak-pihak terkait yang berada di wilayah perwakilan daerah (DPR RI), untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945 yang berkaitan dengan masa jabatan presiden.
Pengguliran wacana ini, termasuk dilakukan oleh Relawan Jokowi-Prabowo (JokPro 2024). Namun dibelakang itu tidak dapat dipungkiri (bisa jadi) bahwa upaya yang dilakukan dalam menawarkan wacana presiden tiga periode, ialah bagian dari jalur aman bagi pihak yang berkepentingan untuk mempertahankan posisi yang dirasa sudah cukup strategis. Selebihnya bisa jadi dari posisi dan kepentingan di era Jokowi tidak mendapat hambatan, sehingga khawatir ketika pergantian presiden akan mendapat kendala bagi kepentingannya. Sekali lagi, itu semua ialah “bisa jadi”.
Manfaat Demokrasi atau Memanfaatkan Demokrasi
Misalnya, anggap saja jabatan presiden tiga periode terealisasi, lalu pertanyaan kemudian, Apa manfaat bagi negara? Bagaimana masa depan sistem demokrasi? Pertanyaan awal akan sulit terjawab karena peristilahan “manfaat” juga dapat dipaksakan atau bernilai pembenaran. Mungkin jawaban bagi yang mendukungnya memberikan alasan terkait realisasi program yang sebelumnya tidak terlaksana, sebaliknya yang bersebrangan akan mengatakan sama sekali tidak bermanfaat.
Lebih jauh lagi, jika terealisasi, maka otomatis Pasal 7 di dalam UUD 1945 akan mengalami amandeman dan pihak yang menolak presiden tiga periode akan berada dalam kondisi yang tidak jauh berbeda dengan masa Orde Baru, sebaliknya yang tetap mendukung presiden tiga periode akan menikmati posisi yang dirasa nyaman selama presiden yang menduduki tetap sama “orangnya”.
Realisasi presiden tiga periode secara konstitusi (berhasil diamandemen) sejatinya tidak begitu mempunyai permasalahan atas pertanyaan seputar bermanfaat atau tidaknya bagi negara, itupun jika presiden tidak terpilih lagi sampai tiga periode.
Namun, permasalahan akan muncul ketika presiden terpilih sampai tiga periode atau selama 15 tahun dipimpin oleh orang yang sama dan kabinet yang sama (atau tidak jauh dari sekelompok itu-itu saja). Artinya, negara tidak lagi berada pada poros sistem demokrasi, tetapi setengah monarki (bisa merambat pada banyaknya pejabat dari keluarga terdekat sampai ke bawah atau pemerintahan daerah), atau murni oligarki (sekelompok partai atau komunitas tertentu yang berkuasa mengambil alih sistem sampai ke bawah atau pemerintahan daerah dan kemudian mempertahankan, mengubah, dan semena-mena sepanjang sistem tersebut masih dikuasai).
Hal di atas sebenarnya sebagian sudah masuk pada pertanyaan kedua mengenai masa depan sistem demokrasi. Tentu saja demokrasi menjadi simbol di atas kertas, seperti atau tak ubahnya dengan era Orde Baru. Sistem demokrasi di masa depan, jika terealisasi presiden tiga periode, maka penulis menyebut istilah baru yang kemudian disebut “demokrasi oligarki semi monarki”. Bagi para pendukungnya, tidak menutup kemungkinan akan hidup seperti para bangsawan seperti halnya masa-masa kerajaan Romawi atau semacamnya, sistem kelas sosial kembali menguat, dan tumpah darah menjadi “primadona” serta paham-paham radikalisme-separatisme-terorisme menjadi “pahlawan” bagi para pejuang demokrasi murni (atau paham lain yang kemungkinan juga menolak) di masa depan karena menolak paham demokrasi oligarki semi monarki.
Masa depan sistem demokrasi (lagi-lagi jika presiden tiga periode terealisasi) akan menjadi ‘barang’ langka yang sebelumnya pernah diterapkan di bumi Indonesia, walaupun dewasa ini sistem demokrasi di Indonesia masih belum bisa dikatakan sempurna, tetapi setidaknya perjuangan yang dilakukan tidak seberat ketika presiden tiga periode terealisasi.
Mestinya selesaikan dulu perkara-perkara yang masih banyak dalam catatan merah, seperti masalah; 1) korupsi, kolusi, dan nepotisme; 2) kekerasan seksual, human trafficking, dan narkoba; dan 3) radikalisme, separatisme, dan teorisme. Setelah itu terealisasi, maka apapun sistem yang akan dibentuk atau diimpikan melalui perubahan konstitusi tidak menjadi “masalah”, sebab bukti dari berhasilnya sebuah kepemimpinan ialah “berhasil menuntaskan tiga masalah di atas. Walllahu a’lam.
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pancasila