Dalam beberapa dekade terakhir ini, dunia banyak diwarnai oleh gerakan-gerakan ideologis berbasis teror yang mengatasnamakan kelompok jihadis Muslim. Aksi-aksi mereka terentang dari Asia, Eropa, bahkan hingga Amerika. Paling tidak, sebagai salah satu metode jihadisme, aksi bunuh diri merupakan praktik paling popular. Bentuk aksi bunuh diri ini merupakan salah satu bentuk respon dari kaum ekstrimis atas ketidakpuasaan dan protes, yang juga pernah menjadi metode umum selama seabad yang lalu dalam tragedi kaum anarkis di Eropa.
Sebagai gerakan trans-nasional, mereka memiliki kamp-kamp inti di belahan dunia mana pun. Dalam aksi rahasianya, negara-negara Barat tampaknya wilayah yang cukup aman bagi gerakan mereka, di samping bebas, kaum ekstrimis ini juga membutuhkan para teknisi-teknisi handal untuk merakit bom sekaligus strategi-strategi jitu untuk menumpas mereka yang dinyatakan sebagai musuh. Fenomena yang amat menarik adalah, mengapa kalangan terdidik, katakanlah kaum teknisi dan saintifik, begitu banyak terlibat dan menjadi salah satu aktor penting yang memobilisasi gerakan jihadis ini, baik di Timur maupun di Barat.
Di Indonesia misalnya, aktor-aktor teroris yang terlibat dalam rangkaian aksi terorisme dengan menggunakan metode bom bunuh diri baru-baru ini, juga bukan kalangan biasa. Mereka bukanlah orang-orang miskin yang sudah sangat lelah dengan ketimpangan ekonomi dan sosial, tetapi mereka bagian dari kalangan terdidik yang memiliki cukup finasial untuk menyambung hidup. Mereka dalam banyak hal, lebih dipengaruhi oleh kekuatan ideologi ekstrem bermotif agama.
Hal yang amat menarik ialah adanya satu perspektif baru yang dapat menjelaskan tentang khazanah “gerakan ekstrimis Muslim” ditinjau dari sudut pandang yang berbeda, sebab banyak peneliti tentang “ekstrimisme Islam” sejauh ini, hanya mendasarkan diri pada spekulasi dan teori, serta banyak dirumuskan di ruang kantor dan di balik meja. Kita perlu meninjau secara faktual dan komprehensif dalam memberikan satu argumentasi yang akurat dan memberikan titik cerah dalam memahami sifat fundamental dari ekstrimisme Islam dan mekanisme di balik kemunculannya.
Sebagaimana dalam penelitian Diego Gambitta & Steffen Hertog yang tertuang dalam buku ‘Engineers of Jihad’, ia menyatakan bahwa variabel pendidikan juga dapat menjadi kata kunci penting dalam meneliti aktor-aktor di balik gerakan ekstrimsime ini. Menurut Gambitta, penelitian berbasis variabel pendidikan memiliki sejumlah keuntungan, di antaranya dapat memastikan akurasi data dari riwayat hidup para aktor teroris, sebab riwayat pendidikan tidak mungkin salah, tidak seperti pekerjaan atau profesi lain yang dapat berubah-ubah. Sementara itu, pencarian aktor-aktor ekstrimis selalu berbasis data dan nama, dan hal ini bisa ditelusuri melalui gambaran pendidikan.
Salah satu kesimpulan menarik dalam penelitian berbasis variabel pendidikan adalah tentang “deprivasi relatif”, yakni suatu perasaan kecewa dari kaum ekstrimis karena adanya harapan yang tinggi sementara berbanding terbalik dengan kenyataan. Hal ini menjadi kunci dalam menjelaskan mengapa banyak kalangan terdidik dan saintis terlibat dalam aksi-aksi radikal dan teror di Timur Tengah dan negara-negara Barat, termasuk juga di Indonesia. Meski demikian, ini merupakan penjelasan ilmu-ilmu sosial humaniora dan tidak ada hubungan langsung antara ilmu-ilmu eksakta dengan ideologi ekstrimis.
Data lapangan menyebutkan, sebagaimana juga dianalisis oleh Gambitta, ada sekitar 497 anggota kelompok radikal di dunia Islam yang aktif sejak tahun 1970. Dari data ini, hanya 28 yang punya pendidikan di bawah pendidikan tingkat lanjut dan 76 orang telah lulus sekolah tingkat lanjut. Dua ratus tiga puluh satu orang telah menjalani pendidikan tinggi, baik lulus maupun tidak, dan dari jumlah itu setidaknya 40 orang belajar di negara-negara Barat.
Hal yang menarik juga adalah adanya bukti lapangan yang menyatakan bahwa, dengan membandingan pendidikan dari gerakan Islam ekstim kanan dan gerakan radikal kiri. Hasilnya cukup menarik, yakni umumnya kalangan gerakan ekstim kanan ini tersedot dalam jurusan sains, sementara gerakan ekstrim kiri justsu dalam jurusan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Tetapi ini tidak bisa menyimpulkan secara tegas bahwa mahasiswa sosial tidak tertarik dengan gerakan ekstrim.
Ada perspetif psikologisme yang dapat menjelaskan secara intrinsik tentang rasionalitas yang dimiliki oleh mereka yang berhaluan kanan atau ekstrem. Kajian menyeluruh terhadap literatur, yang umumnya berfokus pada kepribadian yang mendasari sikap sayap kanan dan konservatisme, yang merupakan ciri emosional adalah adanya kecenderungan merasa jijik terhadap di luar kelompok mereka.
Ciri lain yang cukup relevan adalah adanya kebutuhan akan penyelesaian di bidang kognitif. Ciri ini menunjukkan pada keteraturan, struktur, dan kepastian. Ciri yang terakhir dan cukup menarik adalah adanya dorongan emosional untuk membedakan secara tegas dan jelas antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Selain perspektif deprivasi relatif, perlu juga dinyatakan bahwa sarjana teknik tidak hanya secara proporsional lebih rentan dibanding sarjana lain dalam bergabung dengan Islam esktrem tetapi juga bergabung dengan, bahkan ketika kondisi ekonominya tidak begitu buruk. Di Timur Tengah misalnya. Ada bukti kuat bahwa ahli teknik lebih mungkin bergabung dengan kelompok oposisi kekerasan dibanding non kekerasan, memilih kelompok agama dibanding sekuler, dan lebih kecil kemungkinan membelot setelah mereka bergabung dengan kelompok Islamis.
Teori mengenai ekstimisme lain berpendapat bahwa profil ekstimis akan ditentutan oleh pilihan para perekrut, dengan kata lain di dorong oleh kebutuhan. Perekrutan akan lebih memilih anggota yang lebih berpendidikan dan di antara mereka, memiliki keahlian yang berguna bagi pertempuran yang mereka jalani.
Dalam kasus negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, deprivasi relatif dan kecenderungan ideologis bekerja sama; yakni yang pertama memilih lulusan-lulusan elit dan yang kedua mengingkatkan perbandingan ahli teknik di dalamnya. Terkait hal ini, ada interaksi antara kondisi sosial dan karakteristik pribadi, yang telah banyak diduga oleh para peneliti dapat bekerja. Tapi di Barat dan di beberapa negara Asia berkembang, serta juga antara ekstremisme sayap-kanan, kecenderungan ideologis sendiri sudah cukup menentang dugaan sebelumnya, yakni untuk menarik jumlah besar ahli teknik untuk menjadi radikal.
Secara substansif, sebagai titik kesimpulan, kita dapat mengindentifikasi aspek ideologi mana yang benar-benar penting dalam mengelompokkan orang-orang dengan ciri-ciri berbeda yang juga masuk ke dalam politik ekstrem berbeda. Contohnya, preferensi akan keteraturan sosial, penghindaran perubahan, dan intoleransi terhadap anggota di luar kelompok, sementara ciri-ciri lain dari ideologi yang beragam dalam kelompok-kelompok sayap kanan antara Amerika dan Eropa, atau antara Islamisme dengan sekuler kanan, tergantung kepada konteks.
Magister Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada & Ketua Pusat Studi Keislaman dan Ilmu-Ilmu Sosial di Pesantren Baitu Hikmah Krapyak Yogyakarta.
Menyukai ini:
Suka Memuat...