Kritik yang disampaikan diwaktu yang tepat dengan cara yang tepat, merupakan obat bagi yang di kritik. Ini harus dimaknai bahwa pengkritik memang peduli dan sayang kepada orang yang dikritik. Ibarat orang tua yang menegur sang anak, yang melakukan sebuah kekeliruan. Itu dilakukan karena orang tua memang peduli dan sayang kepada anak yang ditegurnya.
Soal kartu kuning yang diberikan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI Zaadit Taqwa pada acara Dies Natalis ke 68 UI pada Jumat lalu, menarik untuk dibahas. Banyak aspek yang dapat didiskusikan tentang hal tersebut. Patut kita tinjau dari aspek etika, tentang kepantasan cara yang dilakukan oleh Ketua BEM tersebut.
Kita semua sepakat, bahwa kehadiran Jokowi di acara tersebut merupakan tamu yang diundang oleh pihak Universitas Indonesia. Sebagai tamu yang diundang, siapapun mengerti adab tentang tata cara dan etika menerima tamu. Lalu apa masalahnya?
Baca Juga: Mahar Politik dan Politik Mahar
Menurut saya, posisi Ketua BEM tersebut sebagai bagian dari civitas akademika UI adalah bagian dari pihak Pengundang. Sebagai bagian dari pengundang, sudah semestinya pengundang menjaga marwah dan martabat Universitas Indonesia, untuk memperlakukantamu secara patut serta menghargai/menghormati tamu tersebut selama berada dalam rumah pihak pengundang.
Mari kita bayangkan analogi berikut, saat kita mengndang seseorang dalam acara keluarga kita, misalnya resepsi perkawinan. Lalu mendadak, diantara keluarga kita (mungkin anak, mungkin saudara, mungkin paman) menyampaikan protes kepada tamu yang diundang. Apa yang terjadi?
Tamu tentu kecewa, dipermalukan secara terbuka di depan umum. Tentu ada keluarga lain dari pihak pengundang merasa malu adanya insiden demikian. Kira-kira demikianlah kondisi psychologi para pihak yang sedang ada di dalam suasa perhelatan tersebut.
Meskipun secara demokrasi, tidak boleh ada larangan berpendapat yang dikeluarkan secara tertulis maupun lisan, namun adab tata krama harus pula diperhatikan.
Menyoal sikap dan cara Ketua BEM UI membunyikan pluit diikuti dengan mengeluarkan kartu kuning sebagai bentuk protes dan kepada presiden, menurut saya tidak sepatutnya. Mengapa? Ada dua sebab.
Pertama waktu dan tempat penyampaian protes tidak tepat. Jokowi bukan dalam program kunjungan kedinasan atas inisiatifnya sendiri, namun hadir sebagai undangan khusus untuk memberikan sambutan. Kalau mau sampaikan protes, lebih terhormat dilakukan di depan istana negara atau dipublik area seperti di Monas. Dugaan saya, Ketua BEM tersebut memang sengaja memanfaatkan momentum tersebut agar beritanya menjadi viral.
Kedua, insiden tersebut, tidak semata-mata sebuah kritikan murni yang obyektif. Ketua BEM tersebut patut diduga melakukan kritikan atas dasar informasi yang dia peroleh dari berbagai sumber berita, yang dia sendiri tidak tahu secara langsung, melihat langsung atau mendengar langsung. Kritikan tersebut lebih berdimensi politis ingin mempermalukan Jokowi, mengingat Ketua BEM tersebut merupakan simpatisan parpol yanag kontra pemerintah.
Fenomena perpolitikan di tanah air, akhir-akhir ini terkadang membuat kita mengurut dada bahkan sesak napas. Demokrasi yang seharusnya membuat jati diri bangsa ini menjadi lebih bermartabat, dijadikan alat untuk berpendapat semena-mena, sewenang-wenang bahkan mengeluarkan ujaran kebencian.
Saya sepakat, bahwa pemerintah belum sempurna, Jokowi masih perlu kerja kerja dan kerja. Tapi tidak ada sedikitpun menghargai hasil kerja Jokowi, bahkan dia selalu di bully membuat kita pantas bertanya, dimanakah hati nurani orang-orang yang selalu mengatakan Jokowi gagal?
Menyukai ini:
Suka Memuat...