Menyikapi fenomena suburnya tindakan koruptif (mencuri) bagi sebagian kalangan pejabat pemerintahan dengan ditandai banyak tertangkapnya oknum pejabat dan pengusaha melalui tangkap tangan atau OTT oleh KPK atau Satgas anti-korupsi Kejaksaan, telah memancing emosi dan nalar kita sebagia bagian dari anak bangsa yang risau melihat fenomena tersebut. Bisa jadi selama ini kita pun luput dari banyak perilaku korupsi yang dilakukakn oleh pejabat pemerintahan setingkat lebih rendah hingga sampai ke pemerintahan desa. Satu penamaan penyakit yang kronis tentunya, dan satu cara pengobatannya yaitu sikap malu berbuat korupsi. Jika saja korupsi sudah dianggap sebgai hal yang lumrah, lebih bahaya kalau korupsi pada level negara atau dikenal dengan corruption state capture.
Kita, menengarai perbuatan korupsi (mencuri) ini sudah sangat membahayakan stabilitas keuangan negara yang include menjadi basis ketahanan negara, Indonesia yang tengah beranjak dari negara berkembang menuju negara maju telah tersandra oleh korupsi yang sistematis dan massif. Pertanyaan dasarnya adalah apa yang termasuk perbuatan korupsi? Apa solusi atas kondisi faktual ini? bagaimana memberi masukan agar kita bisa berbuat untuk menyelamatkan keuangan negara ini yang semakin hari kian berkembang biak, seperti negeri yang disesaki banyak penyamun dan rampok-rampok negara.
Kalau meninjau UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) No. 31 Tahun 1999 jo No. 20 Tahun 2001, perbuatan yang termasuk korupsi telah diklasifikasi menajdi beberapa bagian antara lain 1. Kerugian atas keuangan negara diaturr dan diundangkan dalam pasal 2 dan 3. 2. Suap menyuap diatur dalam pasal 5 ayat 1 huruf a dan huruf b, pasal 6 ayat 2, pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d hingga sampai ke pasal 13. 3. Penggelapan dalam jabatan, diundangkan pada pasal 8, pasal 9, pasal 10 huruf a, huruf b, huruf c. 4. Pemerasan, diundangkan dalam pasal 12 huruf e, huruf g, huruf f. 5. Perbuatan curang, diundangkan dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d. 6. Benturan kepentingan, telah diatur dalam pasal 12 huruf i. 7. Gratifikasi, ini tradisi warisan dari dulu yang sulit hapus, bahkan kini menjadi kebiasaan yang melekat, gratifikasi ini diundangkan dalam pasal 12 ayat 2 huruf b, jo pasal 12 huruf c.
Undang-undang di atas sebagai alat jerat bagi perbuatan pidana korupsi terhadap para pelaku, dan aturan pencegahan atas perilaku korupsi. Menjadi keniscayaan bagi kita warga bangsa untuk mematuhinya, meski ada diantara sesama kita terlalu berani untuk melanggarnya dengan fikiran dan rasa sadar bahwa sesungguhnya undang-undang tersebut tidak meperbolehkan berbuat korupsi. Bagaimana ide, pandangan dalam pencegahan atas korupsi tersebut. Hemat saya sudah saatnya pemerintah harus berani memberlakukan hukum Islam (fiqih) untuk lebih efektif mencegah dan mengobati penyakit kronis ini (korupsi). Dalam kitab Fathul Mu’in syarah Qurrotul ‘Ain (salah satu kitab kumpulan hukum Islam madzhab Syafiiyah) di halaman 130 diuraikan “wa yaqtho’u kuu’a yamini baalighin saroqo rub’a dinarin aw qiimatahu min hirzin laa maghshuuban aw fiihi, wa yuqtho’u bi maali waqfin wa masjidin laa hushrihi wa laa bi maali shodaqotin wa huwa mustahiqqun “. Lebih lanjut Syeikh Zaenudin bin Abdul Aziz Al Maleabari dalam kitabnya tersebut menjelaskan bahwa kata yaqtho’u adalah vonis memotong tangan bagi pencuri (koruptor) yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah lembaga yudikatif setelah ada tuntutan pemilik harta baik negara maupun pribadi dan telah memenuhi persayaratan atas ketentuan hukum potong tersebut menyangkut saksi, alat bukti dan barang bukti. Ini jelas sejalan dengan firman Allah SWT “ al saariqu wa al saariqotu fa aqtho’uu aidiyahuma “ dan hadits Rosulullah SAW yang tertuang dalam kitab Shoheh Muslim juz 2 halaman 47 bahwa “ la’ana Allahu al saariqo yasriqu al biidlota fa taqtho’u yadahu wa yasriqu al habla fa taqtho’u yadahu “.
Penjelasan fiqih terkait pidana al-sirqoh (korupsi) dengan ketentuannya menghukumi dengan memotong tangan-nya (hukum potong tangan) jelas pasti memicu perasaan dan tanggapan berbeda. Namun ketentuan hukum potong tangan ini jika orientasinya pencegahan secara massif lebih bisa dan tepat, maka perlu dimasukkan pada point-point dari pasal UU Tipikor yang direncanakan masuk revisi Balegnas (Badan Legislasi Nasional DPR RI). Tentunya bukan berarti menghilangkan pasal hukum pidana yang sudah berlaku secara konvensional menggunakan KUHP, namun untuk memperkuat efektifitas kinerja KPK dalam memberantas perbuatan korupsi sangat layak untuk dimasukan sebagai pasal dalam UU Tipikor sebagai kelanjutan dari revisi UU No. 20 Tahun 2001.
Wakil Ketua PW Ansor Banten