Orang-orang kecil seringkali berada dalam keadaan terpaksa menerima. Diam bukan berarti setuju. Bersuara keras belum tentu berarti mengerti.
Ketika media sosial ramai menyiarkan pengesahan UU MD3, dalam waktu kurang dari 24 jam saya menerima ajakan tanda tangan petisi menolak keputusan itu di berbagai grup WA.
Saya tak bisa banyak bersuara karena bukan pakar hukum, namun saya juga tak mungkin diam.
Sekalipun sedikit pengertian saya tentang hukum tata negara, hukum pidana, hukum moral, hukum etik, namun ada beberapa prinsip dasar, yang saya percaya, dimiliki oleh semua orang terkait otoritas dan kewenangan jabatan dan institusi. Dan ini dimiliki oleh semua orang, termasuk orang kecil.
Atas prinsip dasar itulah saya menelisik situasi kepemimpinan nasional saat ini.
Orang kecil boleh bersuara. Haknya dilindungi oleh undang-undang. Prosedur menegur, memanggil, melakukan proses persidangan jika harus sampai kepada persidangan, sekiranya orang kecil bersuara lantang padahal dia tidak paham sudah diatur oleh undang-undang. Beberapa kasus orang kecil ini bersuara karena upah. Mereka dibayar untuk itu. Nah, jika orang kecil nya diciduk, orang besarnya bagaimana?
Orang besar itu punya kekuasaan: bisa uang, bisa jabatan, bisa pendukung (massa).
Terbiasa menanamkan pengertian bahwa, di dalam politik, jabatan adalah uang dan massa, maka ramai-ramailah orang-orang kecil bermimpi jadi orang-orang besar demi uang dan massa.
Begitulah asal mula terpilihnya mereka. Jabatan dituju supaya bergelimang harta dan dipuja.
Celakanya, orang-orang besar ini lantas menjadi bermulut besar untuk menjadi begitu pandai berbicara dan mempengaruhi massa pendukungnya demi mempertahankan kekuasaan dari jabatannya.
Itulah yang sekarang terjadi dengan pengesahan UU MD3.
Para pejabat penguasa bermulut besar mengira bahwa orang-orang kecil itu tidak mengerti.
Ketika satu orang mengampu jabatan secara salah, dan dia ada di kursi tertinggi pemimpin besar, maka yang terjadi adalah para pengikutnya menjadi semakin liar mendorong pemimpin besar terperangkap dalam kesalahan demi kesalahan yang dibuatnya yang dituangkan sebagai keputusan untuk disetujui bersama, demi kelanggengan kekuasaan.
Jabatan menjadi kursi empuk yang tidak boleh digeser dan harus dipertahankan dengan cara apa pun. Buat saja regulasi-regulasi yang ujungnya menguntungkan dan memperkokoh posisi mereka. Bukankah orang-orang kecil tak paham?
Jabatan sebagai amanah menjadi suatu hal yang kabur. Itu tertinggal jauh dan nyaris terkubur.
Bagaimana orang-orang kecil belajar dari situasi ini?
Yuk, berpikir simpel, gunakan saja akal sehat dan hati nurani. Cukup, kok!
1. Orang besar itu bicara apa? Jika pejabat legislatif berkata mengritik pejabat pemerintah adakah mereka mengungkapkan data yang benar, atau asal ngomong? Sekolah boleh tinggi, jabatan boleh keren, namun jika omong besar mereka kelasnya seperti anak SD yang kurang didikan sehingga berani omong tanpa berpikir apa akibat dari segala omongannya, apakah orang besar ini pantas dalam mengampu jabatannya? Boro-boro disebut amanah, bertanggung jawab dengan perkataannya saja dia tidak bisa!
2. Orang besar itu berbuat apa? Jika dia menjabat karena mewakili rakyat, siapa rakyat yang dibela nya? Adakah dia di antara rakyat yang dibelanya? Kapan dia ada di situ? Sekali saja, pas publikasi, atau dia bolak-balik ke situ untuk memastikan ada sesuatu yang sedang dikerjakannya di situ yang harus dikelola dan dikontrolnya? Mampukah dia menjelaskan rangkaian dari proses pekerjaan yang melibatkan keputusannya? Mengertikah dia menjelaskan akibat dari keputusan-keputusannya bagi kepentingan orang-orang yang ditujunya untuk dibela itu.
3. Orang besar itu melaporkan apa? Apa hasil dari buah perkataan dan jerih payahnya? Apa laporan yang dia sampaikan? Apa tanggapan dari orang2 yang menerima manfaat dari hasil kerjanya?
Jika tidak tampak ketiga hal tersebut dalam kiprah seseorang ketika menjadi pejabat, maka sangat bisa dipastikan pejabat itu hanya sekadar suka jabatan demi kekuasaan, namun dia tidak berjuang di jalan amanah.
Maka tak heran lah, jika UU MD3 disahkan.
Orang-orang besar itu haus jabatan demi kekuasaan bukan untuk amanah, namun demi kenyamanan uang dan status, serta nama besar dari sebuah omong besar!
Pejabat publik? Ah, biasa aja. Toh, publik yang bisa dibayar untuk mendukung sang pejabat tetap berkuasa pun ada dan masih banyak. Ya itu, orang-orang kecil yang tidak mengerti namun dijadikan mengerti oleh informasi yang sesat asal mereka kecipratan uangnya. Beli suara mereka sebanyak-banyaknya. Sesudah itu, lupakan.
Karena itu, jika merasa diri orang kecil, lebih baik, mari, tetaplah jadi orang kecil, tapi bangunlah jiwa yang besar. Jangan mau dibeli suaramu untuk mendukung kekuasaan yang tidak amanah. Supaya kelak, ketika waktunya tiba, Anda bisa jadi orang besar yang amanah karena langkahnya barokah!
Orang amanah tidak mengejar uang dan kekuasaan. Pejabat amanah tidak suka pamer kekuasaan dan sembarangan omong besar.
Mereka yang sekarang menjabat dan merasa jadi orang besar dan semena-mena membuat keputusan-keputusan besar itu sudah waktunya bersiap diri menyadari kekerdilan jiwanya yang hanya terbungkus uang dan kekuasaan. Sadarlah, kiranya!
*Penulis adalah Konsultan Manajemen dan Penulis Lepas.
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada