Saat mendengar kabar bahwa ada Bhante dilarang melakukan aktivitas keagamaan atau ibadah di rumahnya, ada masygul saya rasakan. Sempat berharap, semoga itu hanya sekadar kesalahan informasi yang saya dengar. Namun berbagai pemberitaan menguatkan bahwa berbagai hal berbau agama Budha tak diperkenankan untuk ditampilkan.
Itu pemandangan di Legok, Tangerang. Saat membaca berbagai berita tentang itu, melemparkan ingatan saya pada situasi di mana saya mengikuti berbagai kegiatan Islam, dari yasinan, zikir, dan berbagai macam kegiatan beraroma agama. Tanpa merasa terusik.
Ketika lantunan zikir memuncak, pikiran mengalami ekstase, lantunan nama-nama Allah terlafal dan mengalir tanpa hambatan. Tak ada yang mengusik, tak ada yang melarang.
Saya membayangkan kenyamanan beribadah di manapun itu juga dapat dirasakan oleh umat agama lain. Seperti halnya saya melihat masjid di mana-mana, umat agama lain pun dapat leluasa membangun rumah ibadah di mana saja mereka bertempat tinggal sepanjang mereka membutuhkan itu.
Sayangnya, kecenderungan yang muncul, ketika umat di luar Islam beribadah, mereka acap mengalami ketidaknyamanan. Jangankan di luar Islam, yang masih menjadi bagian Islam, seperti jamaah di Cikeusik, bahkan tak lepas dari gangguan sampai dengan teror berdarah-darah. Ada kegelisahan dan perasaan geram, “Kok penganut agamaku kian tak ramah.”
Baca Juga: Jangan Remehkan Minoritas
Pemandangan itu hampir saban tahun terjadi. Di sisi lain, masyarakat pun acap menobatkan mereka yang tampil beringas dan gemar mengintimidasi yang berbeda sebagai “pahlawan”. Foto-foto atau gambar figur publik yang acap tampil secara kasar dalam menghadapi perbedaan, menghiasi dinding-dinding rumah mereka.
Figur Publik Itu Menjadi Model
Diibaratkan menciptakan satu bangunan, bagaimana gambar bangunan yang ada di desain, tentu saja menjadi penentu bagaimana bangunan itu kelak berdiri. Tak berbeda halnya figur publik yang diidolakan, terlebih dilekatkan dengan agama, maka mereka yang berada di posisi umat hampir dipastikan akan meniru bagaimana figur itu berpikir dan bersikap.
Di situ, bukan hal mengherankan jika belakangan kian banyak saja masyarakat yang mengatasnamakan agama untuk melegalkan aksi-aksi beraroma kekerasan atau bahkan ancaman. Kasus yang baru saja terjadi di Yogyakarta, di Gereja Lidwina, pun ditengarai tak lepas dari makin banyak figur publik yang nyaman-nyaman saja menyiram pikiran-pikiran anarkis dan merusak.
Masyarakat yang awam akan melihat apa yang diutarakan figur-figur publik, apa-apa kegiatan dilakukan oleh organisasi di bawah figur itu, sebagai sebuah model dan mereka mengikuti model itu.
Tragisnya, model-model yang buruk dalam pola pikir dan tindakan mengatasnamakan agama, hampir saban waktu menghiasi berbagai media. Sementara media-media pun melihat adanya “News Value” atau nilai berita dari figure itu. Dari sana proses meracuni pikiran itu berlangsung. Pikiran-pikiran itu lantas mengejawantah, menjadi sikap, menjadi kebiasaan, menjadi karakter, dan akhirnya memperlihatkan seperti apa sudah wajah negeri ini.
Begitulah yang terjadi terus menerus. Apa yang terjadi di Jogja dan di Tangerang menjadi sebuah pemandangan, yang semestinya tak perlu terjadi. Ya, andai figur publik yang muncul tak mengandalkan ego semata, entah alasan agama atau alasan garis politik. Mereka dapat lebih mempertimbangkan apa konsekuensi yang lahir di tengah masyarakat.
Sekarang, ada kecenderungan banyak figur publik yang tampil sekadar membantu para pengikut mereka tertawa lepas, bertepuk tangan, dan merasa menang. Bahkan ketika ada umat agama lain atau bahkan pengikut garis politik berbeda terzalimi, tawa lepas dan tepuk tangan itu semakin keras. Bagi mereka, makin membahana tepukan tangan makin terasa sukses apa yang mereka lakukan.
Sayangnya tawa dan tepuk tangan itu lagi-lagi dikesankan hanya halal untuk pengikut mereka sendiri. Sementara ketika kalangan yang berbeda dengan mereka terlihat tersenyum, mereka justru resah, mereka khawatir.
Akhirnya masyarakat muslim di negeri ini kian terkesan sebagai kalangan yang rentan gelisah, rentan merasa terancam. Tak berlebihan jika akhirnya muncul anekdote bahwa kita masyarakat muslim sudah begitu rentannya dengan kegelisahan yang tak perlu, sehingga beredarnya kardus-kardus mie instan saja bikin kita gelisah.
Semestinya tak ada yang perlu digelisahkan jika penganut agama lain beribadah, berkumpul, dan melakukan berbagai hal baik dan bermanfaat untuk masyarakat luas. Yang perlu digelisahkan adalah jika kita mengaku sebagai penganut agama terbaik tapi nyaris tak ada sikap dan perbuatan terbaik yang dapat kita tampilkan.
Menyukai ini:
Suka Memuat...