Ternyata, bukan hanya dalam pernikahan istilah Mahar digunakan. Terminologi ini ada juga digunakan dalam politik di Indonesia. Ada pihak yang keberatan dengan kata mahar ini digunakan selain untuk bagian dari prosesi menuju pernikahan. Tidak sedikit yang mengatakan tidak apa-apa digunakan, karena itu Cuma sebuah analogi.
Apapun kata yang mau digunakan, kenyataan yang terjadi menjelang perhelatan pilkada saat ini, sebagian publik sudah mendengar dan membaca adanya transaksi take and give. Jika disederhanakan, istilah ini tentu merujuk kepada sebuah hubungan antara bakal calon kepala daerah dengan kendaraan politik. Anda mau jadi calon, kami dikasi berapa?.
Heboh tentang mahar politik ini sekitar satu bulan lalu, menghentakkan banyak orang. Bukan karena istilah maharnya, namun oleh informasi dan pengakuan dari La Nyala yang blak-blakkan menyebut dirinya dimintai sejumlah uang yg nilainya cukup fantastis, jika ingin maju dalam pilkada Jawa Timur. Hebohnya lagi karena La Nyala menyebut nama salah satu Ketua Partai.
Situasi yang dialami La Nyala ternyata terberitakan terjadi juga di Cirebon dan Kalteng. Sayangnya pengakuan yang gemuruh disampaikan oleh La Nyala dan bakal calon lainnya di awal, berujung senyap di akhir. Tiada kabar berita, setelah pihak Bawaslu mengatakan sulit dibuktikan.
Kitapun bertanya-tanya dengan berbagai asumsi jawaban yang liar. Publik kadang mengabaikan urusan penegakan hukum, ketika ada peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu, publikpun percaya pada sebuah peristiwa hukum karena ada yang mengaku, ada yang melihat atau ada yang mendengar.
Berbicara tentang Mahar Politik dan Politik Mahar di negara kita, semua pada tahu hal tersebut terasa adanya, namun sulit dibuktikan. Hal ini diakibatkan oleh licin dan cerdasnya para pihak untuk menyembunyikan adanya mahar tersebut. Para pihak sadar bahwa mahar tersebut merupakan sebuah aib sekaligus pelanggaran hukum pemilu. Kasus mahar baru akan terbuka, jika bakal calon gagal diusung sehingga bernyanyi. Jika besaran nilai mahar disepakati dan yang dimintai mahar sanggup, maka tidak akan tercium oleh publik.
Setuju atau tidak, mahar politik adalah perbuatan busuk, tercela dan harus diperangi. Orang yang kemudian menjadi seorang kepala daerah melalui proses pemberian biaya pelicin alias mahar politik, masuk dalam kategori memperoleh jabatan melalui pembayaran. Padahal, mestinya, pemimpin yang dipilih, bukanlah karena ia masuk melalui pintu berbayar, namun karena ia memang diinginkan oleh pemilihnya.
Selama politik mahar masih berlaku di negara ini, jangna harapkan masyarakat akan mendapatkan pemimpin yang kredibel, kompeten dan jujur. Akibat politik mahar, orang yang terpilih tersebut tentu berhitung berapa banyak saya “membeli” maka berapa banyak harus saya “peroleh kembali”.
Politik mahar benar-benar perbuatan yang menciderai proses demokrasi yang seharusnya. Orang berlomba-lomba jadi pemimpin karena berharap akan ada keuntungan secara politik dan ekonomi secara spekulatif. Ia tidak peduli apakah daerahnya akan maju, masyarakatnya akan sejahtera. Didalam pikiran dan orientasinya. Menjadi pemimpin melalui proses politik mahar, tujuannya adalah kekuasaan untuk meraih kemanfaatan ekonomi bagi diri atau kelompoknya.
Penutup, penulis sampaikan kesimpulan yang bisa diperdebatkan. Bahwa mahar politik dan politik mahar, akan mengakibatkan bangsa ini terpuruk kedalam lobang kesuitan sosial politik ekonomi dan hankam. Saat bangsa lain bergerak maju, kita berkutat disekitar mahar politik dan plotik mahar yang mengerikan. Apakah kita biarkan hal ini?
*Penulis Adalah Koordinator/Ketua KOMETRI NTB
Menyukai ini:
Suka Memuat...