Banyak pihak yang mengeluarkan tuduhan bahwa aksi-aksi teror yang terjadi di Indonesia adalah sebuah rekayasa. Tuduhan tersebut lalu dihubungkan juga dengan momentum Pilpres yang akan dilakukan di Indonesia pada 2019 nanti. Tuduhan seperti itu memang tidak pernah disertai dengan bukti akurat, namun dikeluarkan hanya dengan asumsi-asumsi dan khayalan konspirasi, yang cenderung mengarah kepada keuntungan kelompok tententu.
Aksi teror, terlepas dari kepentingan politik kelompok trans nasional, terjadi karena kelompok yang melakukan teror tersebut ingin memaksakan keinginannya dengan cara kekerasan. Cara ini dipilih agar masyarakat takut dan mengikuti apa yang diinginkannya. Kelompok ini tidak menggunakan cara-cara yang legal seperti mengikuti mekanisme demokrasi, atau cara konfrontasi terbuka seperti perang, karena jumlahnya yang sedikit dan biasanya adalah kelompok minorotas dan marginal. Mengingat kekuatannya yang kecil, maka untuk mendapatkan gaung dan dampak yang besar dilakukan cara yang ekstrim dan menarik perhatian dunia, yaitu dengan cara teror.
Dalam kasus terakhir di Indonesia, kejadian rusuh narapidana terorisme di Mako Brimob, (8-10/5/2018), disusul kemudian dengan aksi bom bunuh diri di tiga Gereja di Surabaya, (13/5/2018), aksi bom bunuh diri di Mapolresta Surabaya (14/5/2018), dan serangan di Mapolda Riau (16/5/2018) tidak lepas dari tuduhan sebagai rekayasa. Kelompok penuduh tentu hanya menggunakan asumsi pribadinya tanpa bekal data, fakta dan analisis yang memadai. Tuduhan ini lebih didasarkan pada kebencian atau pandangan politik yang berbeda.
Rangkaian aksi teror di Mako Brimob, Surabaya, dan Riau, dan diikuti dengan berbagai penangkapan di wilayah Indonesia, menunjukkan bahwa pelaku yang telah mati karena aksi bunuh diri dan yang tertangkap di berbagai kota mempunyai hubungan dalam satu jaringan Jamaan Ansharut Daulah (JAD) yang diketahui berafiliasi dengan ISIS. Bukti-bukti bahwa JAD berafiliasi dengan ISIS diperoleh dari dokumen-dokumen yang disita dari para pelaku serta dokumentasi pembaiatan anggota JAD untuk setia kepada ISIS.
Fakta lain yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara ISIS di Surian dan Irak dengan Indonesia ditunjukkan oleh The Soufan Center pada Oktobet 2017. Organisasi yang terpercaya dalam bidang intelijen dan terorisme ini menyatakan bahwa ada 600 WNI yang telah bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah, yang terdiri dari 113 wanita dan 100 anak-anak, sisanya adalah pria dewasa.
Dalam laporan tersebut (update Maret 2017) bahwa sudah ada 50 orang kembali ke Indonesia dan 384 masih bertahan, sisanya tidak diketahui. Meskipun data tersebut telah mengalamai perubahan, terutama pasca ISIS di Irak dan Suriah mendapat gempuran dari pasukan multinasional, namun tetap saja menunjukkan bahwa ada kaitan kuat antara kelompok radikal di Indonesia dengan ISIS.
Fakta-fakta lain adalah beberapa aksi teror di Indonesia diakui oleh ISIS sebagai bagian dari aksinya seperti teror bom Thamrin. Selain itu pola-pola aksi teror yang dilakukan oleh kelompok yang berafiliasi dengan ISIS di Indonesia polanya sama dengan aksi teror di berbagai negara yang mempunyai afiliasi dengan ISIS.
Di luar faktor tersebut kelompok radikal pelaku teror di Indonesia telah membuat sejarah baru dengan melakukan aksi teror bom bunuh diri oleh satu keluarga. Di Irak dan Suriah aksi bom bunuh diri dengan mengorbankan anak-anak dan wanita sudah terjadi. Hal ini dilakukan untuk menghindari deteksi dari kelompok lawan. Aksi di Indonesia yang sangat mirip adalah yang akan dilakukan oleh seorang wanita ke Istana negara dengan menggunakan bom panci, yang akhirnya dapat digagalkan.
Aksi teror bom bunuh diri dan aksi kekerasan lain oleh ISIS diadopsi oleh kelompok radikal di Indonesia yang berafiliasi dengan ISIS, meskipun untuk melakukan perlawanan bersenjata secara terbuka sangat sulit dilakukan di Indonesia. Dalam skala aksi gerilya bersenjata, kelompok radikal pelaku teror yang menggunakan perlawanan bersenjata terjadi di Poso, yaitu yang dilakukan oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur. Kelompok MIT merupakan salah satu kelompok teror yang berafiliasi dengan ISIS, yang cukup kuat setelah JAD. Namun dengan adanya operasi Tinombala yang dilakukan oleh pemerintah, kelompok MIT mulai terkikis habis.
Para simpatisan dan anggota ISIS di diketahui mempunyai tiga pilihan untuk berjihad (versi mereka). Pertama adalah melakukan hijrah ke Suriah yang dianggap sebagai kewajiban Ansharut Daulah. Jika pilihan pertama tidak bisa dilakukan maka pilihan kedua adalah dapat melakukan amaliyah, yang biasanya dengan aksi teror, di negerinya sendiri. Hal ini semakin meningkat frekuensinya pasca ISIS terdesak di Suriah dan Irak, karena akan menutup peluang pilihan pertama. Ketiga, jika tidak bisa melakukan pilihan pertama dan kedua, maka dapat dengan cara menyumbangkan harta ke orang lain yang terpilih untuk melakukan aksi teror.
Pilihan-pilihan jihad simpatisan ISIS di Indonesia inilah yang menjadi dasar utama terjadinya aksi-aksi teror di Indonesia beberapa tahun terakhir ini terutama yang diketahui mempunyai keterkaitan dengan kelompok radikal trans nasional ISIS. Motif ideologi yang sangat kuat karena telah terpapar paham radikal dari ISIS menjadi alasan utama para pelaku tersebut melakukan hijrah ke Suriah, melakukan aksi teror di negaranya sendiri (Indonesia), atau menyumbang dana bagi aksi teror yang dilakukan oleh orang lain.
Tidak ada bukti bahwa aksi teror yang tejadi adalah hasil rekasaya, dan tentunya tidak ada orang yang mau mengorbankan nyawanya hanya karena motif untuk menjalankan rekayasa. Tuduhan-tuduhan yang mengatakan bahwa aksi teror di Indonesia adalah rekayasa terbantahkan dengan fakta-fakta yang ada.
Dalam semangat negara untuk melakukan perang terhadap terorisme, tuduhan bahwa aksi teror adalah rekayasa, bahkan dianggap sebagai skenario politik yang dihubungkan dengan Pilres, merupakan suatu langkah kontraproduktif. Hal ini diduga merupakan sebuah upaya untuk menjatuhkan pemerintah, terutama di mata pendukung kelompok oposisi.
Tentu saja hal tersebut dapat ditindak dengan tegas oleh aparat penegak hukum mengingat tuduhan tanpa bukti tersebut bisa menyebabkan pemberantasa terorisme menjadi terganggu. Selain itu, tuduhan-tuduhan tersebut juga merupakan suatu upaya penyebaran kebohongan yang dapat berimplikasi kepada tindakan hukum.
Pengamat Intelijen, Mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.
Menyukai ini:
Suka Memuat...