Menyoal intoleran dan radikalisme di Indonesia merupakan PR penting bagi Negara. Tahun 2016 tercatat kepolisian RI menangani 170 kasus terorisme, dan bahkan sampai detik ini gerakan intoleran dan terorisme masih berlangsung di mana-mana. Di desa Babat, kecamatan legok Tanggerang, kebaktian umat Budha yang menebar ikan ditolak oleh warga setempat. Di Sukabumi Jawa barat terjadi penganiyaan terhadap Pemuka Agama, penganiayaan sampai terbunuhnya Kepala operasi PP Persis di bandung Jawa barat, dan bahkan hari minggu kemaren (11/2/2018) juga terjadi penyerangan terhadap jemaat dan pastor di gereja Santa Lidwina Yogyakarta. Rentetan kejadian ini bukan sepenuhnya masalah ekonomi, meskipun faktanya masalah kemiskinan di Negara kita masih belum teratasi secara maksimal. Bukan juga masalah keadilan Hukum semata, meskipun negara kita masih jauh dari negara yang menjunjung tinggi hukum. Tetapi ini masalah yang abstrak, tidak kasat mata, masalah ideologi, masalah yang tertancap dalam hati radikalis yang tidak mudah dideteksi. Jika seperti itu, maka kejadian-kejadian tersebut hanya pucuk gunung es di atas air laut. Sisanya masih menjulang ke dasar laut, dan tinggal menunggu waktu untuk mendengar kabar terberangusnya bangsa Indonesia oleh para radikalis dan kelompok Intoleran.
Baca Juga: 2018 Merawat Kebhinnekaan Menolak Intoleransi
Di indonesia dengan dalih demokrasi semua ideologi dapat dipelajari dan didalami, bahkan ideologi yang intoleran juga menyebar dengan pesat. Apalagi ideologi tersebut bertemu dengan pemuda dan Mahasiswa yang masih berkembang mencari jati dirinya, maka sudah barang pasti akan mudah dibelokkan dan masuk dalam perangkapnya. Dalam hal demikian, diperlukan ketegasan Pemerintah untuk membubarkan dan pro aktif terhadap ideologi yang menyebabkan intoleran. Pemerintah dengan alasan apapun harus tidak bersikap Toleran terhadap intoleran, dan begitu juga sesegera mungkin memperlakukan PERPPU Nomer 2 pasal 59 tahun 2017 bahwa Ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan dan melakukan penyelahgunaan hukum perihal penistaan atau penodaan terhadap agama yang dianut di indonesia. Dan ketidaktegasan ini bisa dinilai bahwa aparat yang bersangkutan, bersekongkol ataupun berpihak terhadap intoleran, toleran terhadap intoleran tidak dibenarkan oleh Negara. Bahkan Dengan tegas Presiden RI mengatakan bahwa Negara tidak memberikan tempat secuilpun terhadap intoleran. Jika terus dibiarkan dan pemerintah masih lembek dengan kasus ini, maka lambat laun Negara yang berideologi pancasila dan menghargai kebhinnekaan serta kebudayaan ini akan seperti timur tengah yang tiap saat anak-anak ditontonkan dengan ledakan skala besar, dan ratusan nyawa melayang setiap menit bahkan dalam hitungan detik.
Faktor yang melatarbelakangi intoleran dan radikalisme adalah kecenderungan pemahaman yang tertutup, tidak mau berkompromi dengan pemahaman lain serta abai akan Kontekstualitas atau Hukum, akal dan realitas tidak berjalan beriringan, sehingga mereka merasa benar sendiri dan memaksakan tafsir tunggal terhadap setiap kejadian.
Salah satu pendekatan yang memuat nilai untuk mengimbangi dan mencegah Radikalisme tersebut adalah kebudayaan atau kearifan lokal. Kearifan lokal dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai dan pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan dan bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Dalam disiplin antropologi dikenal dengan istilah local genius, Haryati Soebadio menyatakan bahwa local genius adalah Cultural Identity, identitas atau kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengulas kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Karakteristik budaya lokal di Indonesia sangat mengandung nilai-nilai toleransi, sehingga memberikan edukasi terhadap masyarakat luas untuk saling terbuka dan berdialog. Lunturnya budaya identitas lokal yang melanda generasi muda tersebut dituding sebagai salah satu faktor pemicu intoleran dan radikalisme, meyebabkan kekosongan nilai yang dianut, sehingga paham radikal dan intoleran mengisi kekosongan tersebut. Oleh sebab itu melestarikan dan memperkenalkan budaya lokal sangat diperlukan untuk mengembalikan ruh bangsa ini, bangsa yang toleran, menghargai perbedaan dan hidup rukun dengan semangat gotong royong, sehingga menjadi bangsa yang bermartabat dengan budaya lokalnya, berjiwa nasionalisme dengan mengerti ideologi negaranya.
Baca Juga: SETARA Insitute Minta Jokowi-JK Menjadi Garda Terdepan Menangkal Radikalisme
Pemberdayaan kearifan lokal atau kebudayaan tersebut perlu untuk segera dicanangkan serta diprogramkan dalam setiap pendidikan, bahkan perlu disuarakan dengan lantang di kampus-kampus. Sebab belakangan ini dicurigai adanya ajaran radikalisme yang menjangkit mahasiswa, bahkan terorganisir dalam organisasi kemahasiswaan. Asumsi ini diperkuat dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh wahid institute sepanjang Bulan juli sampai Bulan desember 2014 yang menemukan fakta-fakta bahwa gerakan intoleransi menguat di sekolah-sekolah menengah Negeri. Dengan demikian penelitian yang dilakukan 2014 lalu siswa yang diteliti pada saat ini sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, jika tidak diantisipasi dan diidentifikasi maka akan semakin menguat dan meluas. Pun juga penguatan empat pilar kebangsaan harus diajarkan dan direalisasikan di kampus sebagai benteng pemersatu Bangsa.
Maka, Jangan salahkan mahasiswa yang berdemo meminta keadilan. Jangan salahkan kata yang keluar dari Mahasiswa sebagai sebuah cacian atau ujaran kebencian. Jangan salahkan suara minor yang memberontak menuntut hak hukumnya diproses. Dan jangan salahkan Mahasiswa yang kecewa atas lambatnya proses hukum yang sudah selayaknya diselesaikan negara. Keyakinan, kecintaan, rasa memiliki dan ingin menjaga kerukunanlah yang membuat Mahasiswa bersuara lantang memberi masukan, kritikan bahkan bantuan baik berupa fikiran, tenaga maupun sumbangsih lain. Semua muncul karena kecintaan terhadap negara ini dan bagi Kami mahasiswa UIN Sunan kalijaga Yogyakarta NKRI adalah harga Hidup. Kami siap mengamalkan dan menghidupi Indonesia dengan ideologi Pancasila dan Bersatu dalam Kebhinnekaan.
Karena itu, Kami atas nama pemuda dan mahasiswa mengutuk penyerangan jamaat Gereja st.Lidwina Dk. Jambon Trihanggo Gamping sleman yogyakarta yang disebabkan oleh pemuda yang bernama Suliyono. Kami mengajak Pemuda dan mahasiswa Indonesia untuk menyuarakan kembali dengan keras dan lantang sumpah mahasiswa sebagai pemersatu pemuda dan mahasiswa indonesia. Bahwa kami mahasiswa Indonesia bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan. Berideologi satu, ideologi pancasila. Berbahasa satu Bahasa tanpa kebohongan, berbahasa satu bahasa menolak kekerasan. Berbahasa satu, mengutuk Intoleran.
NKRI Harga Hidup … !!!
Salam Mahasiswa … !!!
*Penulis adalah Presiden Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Presiden Mahasiswa UIN Sunan kalijaga Yogyakarta
Menyukai ini:
Suka Memuat...