Tak ada kata terlambat dari pada tidak sama sekali, hal ini yang cocok saya katakan pada tulisan ini. Mengenang kematian Tan Malaka pada tanggal 21 Ferbruari 2018 kemarin membuat saya beriktikat untuk menulis tentang beliau. Walau banyak tulisan mengenai Tan Malaka, tapi tak apalah saya menuliskan dengan cara pandang yang berbeda.
Ia adalah pemikir yang mampu mengawinkan teori dengan aksi. Baginya, teori hanya sekadar pisau analisis untuk melakukan revolusi. Hidupnya secara utuh diabdikan untuk kepentingan rakyat. Karena konsistensi dan komitmennya dalam membela rakyat itulah ia menuai banyak ancaman, bukan saja dari penjajah melainkan sesama anak bangsa. Sejak kecil ia hidup di lingkungan yang kental dengan nuansa keislaman, dunia pergerakan, dan peduli pada pendidikan. Ia adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Datuk Ibrahim Tan Malaka, anak Minang yang mencoba peruntungannya di tanah rantau dari Minangkabau ke Harlem Belanda. Seorang penyuka sepak bola, pemain cello, pandai mengaji dan mahir bersilat. Karena mengaji dan silat merupakan warisan dari kebudayaan Minang. Di samping itu, Minang sendiri adalah salah satu sentral persinggahan perekonomian pada zaman dahulu, sehingga menjadikannya sebagai pencetus lahirnya sekolah pertama yang menggunakan bahasa Belanda.
Baca Juga: Madilog dalam Sepak Bola
Kweekschool For de Kock atau disebut dengan Sekolah Radja menjadi pusat pendidikan ala Eropa yang mendapat respon positif dari masyarakat Minang. Tapi sayang, sekolah yang hanya diperuntukan pada kalangan elite bangsawan dan orang-orang Belanda telah menciptakan garis demarkasi yang kuat. Untung saja, tidak sedikit pribumi yang bisa masuk di Kweekschool salah satunya adalah Tan Malaka. Konon, di sekolah itulah Tan Malaka pernah jatuh cinta pada Sjarifa Nawawi, satu-satunya gadis Minang yang pertama masuk Kweekschool.
Perjalanan hidup Tan Malaka ibarat pertunjukan film luar negeri yang tak bisa penonton tebak ending ceritanya. Sewaktu-waktu ia sebagai buron dari berbagai negara dan bangsanya sendiri, tetapi di waktu yang lain ia menjadi sosok pahlawan bagi masyarakatnya. Bahkan, namanyapun sesekali sayu terdengar oleh bangsanya—mungkin tidak pada zaman ini—atau sesekali namanya menghilang dari catatan kepahlawannya- mungkin tidak bagi masyarakat Minang- yang mulai mengangkat namanya sebagai simbol keminangan.
Merantau menjadi salah satu “kewajiban” bagi laki-laki Minang. Menurut orang Minang merantau menjadi salah satu alternatif karena minimnya kamar di rumah yang mampu menampungnya. Tetapi, pada hakikatnya merantau merupakan ikhtiar pencarian jati diri dari purta Minang. Rantau pertama kali Tan Malaka ialah saat ia bersekolah di Kweekschool. Meskipun letak dari rumahnya tidak terlampau jauh, tetapi bagi Tan Malaka itulah suatu pelajaran yang berharga. Alasannya karena di tempat itulah ia bertemu dengan kondisi baru dan pola pikir berbeda sehingg menjadi pelajaran hidup yang ia harus hadapi.
Di Kweekschool, Tan Malaka dikenal dengan sosok yang jenius, walau termasuk murid yang sedikit nakal. Ia mendapat sorotan lebih dari gurunya Horensma. Bahkan, Horesma meramal bahwa kelak ia akan menjadi anak yang sukses dengan bermodalkan kepandaian dan kegigihannya dalam belajar. Meminjam bahasa Bourdieu, satu praktik sosial akan ditentukan dengan mempunyai modal budaya selain modal simbolik, modal ekonomi dan modal sosial yang akan berpengaruh terhadap habitus Tan Malaka.
Seiring berjalannya waktu dengan kondisi sosial masyarkat yang terjajah membuat hati Tan Malaka terketuk melihat realitas tersebut. Dan, dari situlah pemikiran kritis Tan Malaka tercipta. Setelah lulus dari Kweekschool, Horensma menganjurkan Tan Malaka agar melanjutkan studinya ke Harlem Belanda guna mendapat ijazah sebagai guru. Keinginan Tan Malaka terpenuhi dengan adanya sumbangsih besar dari gurunya dan Yayasan Engku yang ada di Minang. Kegigihan Tan Malaka dan pengalamannya dalam merantau kini jauh berbeda dibandingkan dengan ketika ia masih berada di Kweekschool.
Di Harlem Belanda, Tan Malaka menemukan berbagai pemikiran yang mungkin salah satunya sejalan dengan kondisi yang akan dipraktekkan di negaranya guna mengusir penjajah. Ia banyak belajar tentang Revolusi Soviet, membaca buku kritis dari Nietzsche, Karl Marx, Hegel dan betemu dengan orang-orang revolusioner seperti keluarga Vander Mij, seorang pensiunan buruh progersif serta aktivis pergerakan. Belanda adalah tempat bertemunya habitus yang sama dengan Tan Malaka sehigga menghasilkan praktik sosial berupa pemikiran revolusioner.
Dua kondisi kehidupan Tan Malaka yang mampu menghasilkan praktik sosial berupa pemikiran revolusioner harus di lacak sejak kehidupannya selama di Minangkabau yang menjadi pusat pendidikan pertama. Itulah pondasi awal yang membentuk pemikiran dasar Tan Malaka, serta tokoh-tokoh revolusioner lain seberti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin dan, Agus Salim yang menjadi bukti pencapaian dari keberhasilan Minang dalam melahirkan orang-orang yang berpengaruh.
Kedua, alam Harlem Belanda sebagai pengukuhan pemikiran Tan Malaka yang nantinya sebagai bukti keberhasilan dari akumulasi pemikiran yang menghasilkan pemikiran revolusionernya. Salah satu karyanya yaitu “Near de Republic” jauh sebelum bapak proklamator kita berbicara konsep republik, Tan Malaka sudah membicarakan lebih awal. “SI Semarang dan Onderwijs” salah satu karya Tan Malaka di bidang pendidikan dengan basis kerakyatan serta pendidikan yang luwes dengan karakter keindonesiaan. Patutlah berbangga hati masyarakat Minang khususnya dan Indonesia pada umumnya mempunyai aset terbesar dari sumber daya manusia seperti Tan Malaka yang lahir di Tanah Minang.
Belajar dari perjalanan hidup Tan Malaka dan ketekatannya dalam semangat merantau menghasilkan pemikiran baru bagi tanah kelahirnnya patut dicontoh oleh pemuda dan pemudi Minang supaya dalam budaya rantau masih dijaga kelestariannya dalam pencapaian guna kesejahteraan tanah kelahirannya. Bukan merantau sebagai alternatif baru dalam mencari peralihan guna mendapat sesuatu yang sifatnya hanya sementara. Jadinya merantau sebagai upaya pencarian jati diri dari manusia yang benar-benar manusia sebagai rahmatan lil alamin.
Melupakan atau dilupakan adalah satu sifat alamiah manusia yang perlu menjadi koreksi guna memilah dan memilih apa yang perlu dilupakan dan apa yang perlu kita ingat, seperti halnya sosok Tan Malaka. Jadikanlah pelajaran dari spirit perjuangannya demi membebaskan bangsanya demi mewujudkan Indonesia yang adil dan beradab, tetapi perjuangan di era sekarang bukan lagi perjuangan menggunakan persenjataan, perjuangan di zaman ini adalah perjuangan di dalam pendidikan, maka dari itu pendidikan sebagai tombak dari semangat perubahan ala Tan Malaka. Untuk mengenang kematiannya semoga tumbuh benih-benih seperti Tan Malaka yang mampu mengharumkan dan memperindah suasana Indonesia yang berasaskan Bhineka Tunggal Ika. Amien…
*Penulis adalah alumni Pascasarjana Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta dan aktif dalam komunitas Braindilog Sociology sebagai pelopor otonomi teori sosiologi keindonesiaan.
Menyukai ini:
Suka Memuat...