Siapakah tokoh yang tepat untuk mendampingi Jokowi di Pilpres 2019 mendatang? Pertanyaan penting dalam memasuki tahun Pemilu yang sudah diambang pintu 2019.
Pasti setiap calon Presiden memiliki strategi kemenangan. Begitu pula dengan Presiden Jokowi yang resmi diusung oleh PDI-P sebagai capres di Pemilu 2019 dalam rapat kerja nasional ketiga di Grand Inna Beach, Sanur Bali.
Jokowi harus memilih dengan tepat siapa bakal calon pasangannya.
Belajar strategi kemenangan yang pernah dimainkan pada saat Pilkada DKI, menurut pemikiran saya cuma satu yaitu ” ketika massa dan emosi umat Islam bisa dimobilisasi“, maka itulah kemenangan.
Disamping hal tersebut diatas, lawan Jokowi berharap melalui kampanye hitam, terutama soal kondisi ekonomi yang selama ini mengalami tekanan terus menerus sebagai akibat dari perubahan iklim ekonomi dunia yang sedang mengarah pada kelesuan pasar.
Kampanye hitam mengenai kondisi ekonomi, dijalankan melalui isu kolonialisme, isu pribumi, isu anti Islam, isu komunis serta Sara dan sebagainya.
Mencermati daftar calon Cawapres yang muncul saat ini, muncul nama seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan ( Menko Polhukam) Wiranto. Wiranto diusulkan sebagai cawapres Jokowi oleh Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang dalam pidatonya di acara syukuran Partai.
Demikian juga dengan nama Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB. Nama lain yang muncul adalah Ketua Umum PAN, Zulkifi Hasan , Ketua Umum PPP Romahurmuziy, yang disebut bakal diusung sebagai cawapres oleh partai berlambang ka’bah . Disamping sederet nama lain seperti Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY, Moeldoko, hingga Komarudin Watubun.
Pertarungan bursa cawapres Jokowi akan sangat dinamis. Siapakah Cawapres yang dapat menaikan elektabilitas Jokowi?
Berdasarkan survei Alvara Research Center, elektabilitas Jokowi saat ini mencapai 46, 1 persen, unggul jauh dari Prabowo yang memiliki elektabilitas sebesar 26, 5 persen.
Dengan elektabilitas yang sangat tinggi sebagai calon Presiden, tidak heran jika kemudian banyak muncul usulan-usulan nama dalam bursa calon wakil presiden yang bakal mendampingi Jokowi.
Baca Juga: Mengembalikan Jiwa Parpol Alat Perjuangan Rakyat
Mencermati jumlah pemilih terbanyak berada di pulau Jawa, maka siapapun Cawapres yang dipasangkan dengan Jokowi, adalah yang dapat menaikkan elektabilitas Jokowi. Ia juga harus seorang nasionalisme tulen, dapat memenangkan hati masyarakat terutama kelompok santri Jawa, serta memiliki kedekatan dengan Islam. Mampu dalam mengelola ekonomi. Sebab diprediksi, Indonesia dimasa mendatang akan mengalami krisis energi.
Cawapres harus memiliki kedekatan dengan para santri, sehingga ungkapan bahwa Jokowi pendukung China itu salah.
Setidaknya melawan isu anti Islam yang sering dihembus untuk menghadang Jokowi. Demikian juga Hoax dan ujaran yang berkisar pada isu SARA, isu LGBT, isu komunisme dan pekerja asing warga negara Tiongkok ( China ) serta pemberitaan lain yang sifatnya mencemarkan nama baik Presiden Jokowi.
Apalagi Indonesia masuk dalam lima besar negara yang memiliki pengguna Facebook dan Twitter terbanyak di dunia, sangat memungkinkan secara cepat penyebaran isu- isu tersebut dimainkan. Dengan tujuan memprovokasi pihak-pihak radikal Islam dan yang anti terhadap pemerintah.
Tujuannya tidak lain adalah kemenangan lawan Jokowi lewat polling elektabilitas.
Disamping faktor elektabilitas, sumber logistik dana juga berperan penting untuk menjadi Cawapres. Lalu siapa yang akan mendanai?
Membaca berbagai pengalaman, pemilik sumber dana biasanya akan merapat ke paslon yang pasti maju serta berpotensi menang, jika nantinya berpasangan dengan Jokowi.
Maka diperlukan sosok Cawapres yang memiliki basis dukungan Islam untuk menghadapi aksi-aksi Islam tolak Jokowi yang selama ini digalang oleh Gerindra, PKS dan Panplus alumni 212 serta GNPF.
Disamping memiliki kemampuan menggalang dukungan finansial, tentu yang paling penting adalah basis massa Islam.
Lawan Jokowi hanya akan mampu ungguli Jokowi, jika umat Islam telah berhasil dipolitisasi, melalui politik identitas dan anti komunisme. Jikalau secara sistematis berhasil memobilisasi massa serta emosi umat Islam.
Demikian juga bakal Cawapres Jokowi diharapkan mampu menggalang dukungan Partai Islam, dan ormas-ormas seperti NU dan Muhammadiyah, serta basis rakyat dengan semangat nasionalisme tulen dalam menghadapi massa Islam yang dapat dimobilisasi.
Strategi yang tepat tentunya merangkul komunitas Islam tradisional.
Memperkuat dukungan solidaritas koalisi partai politik yang ada. Untuk itu tentu perlu merangkul juga partai Demokrat yang akan bisa mengajak PAN.
Jikalau kubu koalisi Gerindra-PKS berhasil menggaet Demokrat-PAN, maka dapat dipastikan Jokowi akan kalah suara pemilih.
Atau sebaliknya kalau Demokrat- PAN memunculkan calon baru , tidak ke Jokowi dan Prabowo. Namanya politik segala sesuatu dapat berubah karena kepentingan.
Dan yang perlu mendapat perhatian bersama atas pentas pesta demokrasi Indonesia adalah tidak lagi dari semua calon kuat yang muncul adalah kader sesungguhnya parpol.
Semua parpol krisis kader kepemimpinan. Contohnya seorang Jokowi saja bukan kader PDIP. Demikian juga Prabowo, RR, Cak Imin, AHY, GN, Mahfud. Parpol cuma kendaraan siap jual saat pemilu.
Mengapa Prabowo menjadi kandidat terus atau Jokowi nyalon terus? ya karena tidak punya calon selain pemilik partai. Demikian juga PKB dan semuanya.
Jangankan kader, membiayai operasional partai saja tidak mampu. Akhirnya cuma sibuk mencari tokoh yang bisa diorbitkan.
2019 yang diributkan Cawapres, karena ya tidak memiliki kader sendiri, akhirnya sebatas sibuk menumpang dari ketokohan yang ada.
Pemilu dan Pilpres tidak lebih dari pemilihan artis populer saja dimana parpol tidak lebih EO acaranya. Dan akhirnya memakai cara tidak beretika dengan kampanye hitam dan politik identitas minus program.
Indonesia masa depan model apa kalau sistem pembinaan parpol dan kaderisasi tidak optimal??
Maka hanya memunculkan pemimpin transaksional minus program bagi kemajuan bangsa dan negara.
Seharusnya partai politik adalah tempat dimana seorang pemimpin dilahirkan atas dasar program untuk membangun bangsa dan negara.
Kunci kemenangan pada akhirnya bukan terletak pada program tetapi pada memobilisasi massa dan kekuatan dukungan logistik saja.
Lalu, apakah masih bisa berharap akan muncul seorang Cawapres yang bisa memperkuat dan menambah kemampuan Capres?
Cawapres yang nanti setelah 2024, berpeluang menjadi pemimpin selanjutnya yang tangguh dan mampu membawa bangsa dan negara ke arah yang lebih baik lagi.
Sangat miris apabila Partai Politik bukan lagi sebagai tempat pengkaderan tokoh, telah berubah menjadi tempat makelaran tokoh untuk dijual pada saat Pemilu. Bukankah kebiasaan seperti ini yang terus terjadi seperti lingkaran setan yang tidak bisa terputus.
Siapapun yang dipilih Jokowi untuk menjadi Cawapres, disamping mengangkat elektabilitas yang lebih tinggi, juga harus memiliki gagasan terbaik untuk kemajuan bangsa.
Harapan rakyat semakin tinggi terhadap jawaban untuk krisis energi serta perekonomian ke depan.
Cawapres harus menjadi penyeimbang dalam politik nasional dan mampu mendukung perubahan dalam mengatasi krisis energi yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Menyukai ini:
Suka Memuat...