Kasus terorisme merebak di Indonesia sejak pekan kemarin. Dimulai dari persitiwa Mako Brimob Jakarta, bom Surabaya, Sidoarjo, Riau hingga menyebar ke daerah-daerah lain. Diberitakan polisi yang tergabung dalam Densus 88 gencar melakukan penangkapan para terduga teroris, sebagai hasil pengembangan dari penangkapan teroris sebelumnya. Seperti efek kartu domino, satu kali tepuk rentetannya panjang sekali. Belum ditambah dengan analisa pengamat, dari para profesional, pakar radikalisme dan terorisme hingga kelas amatiran yang wara-wiri di media sosial. hasil pengamatan itu bukan malah membuat suasana menjadi tenang, tetapi semakin keruh dan mencekam.
Satu hari setelah peristiwa tragedi Surabaya, terus terang saya sempat mengalami ketakutan untuk keluar rumah. Seperti mengalami paranoid, ketakutan yang berlebihan seolah teroris dan bom ada dimana-mana. Apalagi wilayah Cirebon dan Indramayu sudah masuk daftar merah kelompok radikal, karena berapa tahun silam pernah terjadi pengeboman di masjid Mapolresta Cirebon, dan penangkapan beberapa orang terduga teroris di daerah Indramayu serta Cirebon. Bukan tidak mungkin apa yang terjadi di Surabaya dan daerah lainnya, baik pelaku, korban maupun tempat kejadian juga akan menimpa kita semua.
Kemudian tentang terorisme yang dikaitkan dengan Islam. Sebagai penganut Islam aswaja dan pengikut NU, harus saya akui jika para pelaku ketika melakukan perbuatannya itu menggunakan simbol agama. Bahkan, pada hari yang sama ketika tragedi itu berlangsung, satu keluarga yang melakukan bom bunuh diri ditiga gereja, masih beribadah sholat subuh berjama’ah. Sebuah ironi yang harus menjadi pelajaran kita bersama, jika ketaatan manusia terhadap agama ternyata tidak sebanding dengan nilai kemanusiaan yang dia miliki. Artinya, ketika setiap agama mengajarkan tentang makna cinta dan perdamaian, lalu ada pemeluknya yang menyalahgunakan ajaran agama untuk melakukan kekerasan, bahkan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja, maka dia bukan bagian dari agama itu. Karena sudah melenceng jauh dari apa yang diteladankan oleh para bijak bestari disetiap agama.
Tetapi dengan perstiwa itu, mau tidak mau kita sebagai umat Islam harus instrospeksi diri, kembali untuk melihat sejauh mana kepedulian kita pada lingkungan sekitar. Terhadap orang-orang terdekat, mengenal lebih dekat saudara, keluarga, sanak, kerabat, dan tetangga. Selain untuk mendeteksi lebih dini potensi adanya gerakan radikalisme, juga untuk meningkatkan kewaspadaan agar setiap orang yang kita kenal tidak terlibat atau menjadi bagian dari kelompok takfiri wahabi, jaringan terorisme transnasional. Sebab yang sangat disayangkan adalah ketika melibatkan anak-anak dan perempuan dalam tindakan radikalisme hingga berujung maut, tentu akan menjadi preseden buruk bagi masa depan toleransi di Indonesia.
Hal yang patut kita apresiasi penuh adalah langkah cepat pihak Polri dan Pemerintah Indonesia dalam mengatasi teror dari kelompok radikal ini. meski sempat diwarnai dengan kesalahpahaman ketika ada aparat kepolisian yang menggeledah seorang santri karena dikhawatirkan barang yang dibawa dalam kardus adalah bahan peledak. Padahal bagi santri kardus sudah menjadi bawaan lumrah ketika musim liburan tiba, yang bisa multifungsi untuk membawa apa saja, seperti yang dulu pernah penulis alami juga saat menuntut ilmu di pesantren. Dan akhirnya ketegangan itu berakhir dengan baik, bahkan keduanya, santri dan polisi itu mengambil foto bersama sebagai bukti telah ada kesepakatan perdamaian. Meski yang harus disesalkan adalah ketika yang ramai diunggah melalui media sosial saat kejadian awal salah paham itu terjadi, sehingga menimbulkan keresahan diarus bawah, menganggap bahwa tindakan polisi sudah berlebihan, seolah mencurigai setiap orang tanpa kecuali.
Apresiasi berikutnya yakni sikap bersama masyarakat yang melawan radikalisme dan kekerasan dalam bentuk apapun, sehingga tak ada tempat bagi terorisme di Indonesia. Dengan tagar #KamiTidakTakut menjadi aspirasi yang harus terus disuarakan sampai mendarah daging, menjadi laku dan kata bersama, serentak, kompak lalu diturunkan ke generasi berikut, anak-anak kita para pewaris dan penerus bangsa ini, agar ancaman apapun yang akan mengganggu disintegrasi bangsa dan kebhinekaan akan hengkang lari sejauh-jauhnya dari negara kita.
Terlebih jika UU Terorisme berhasil disahkan, atau bila tak ada titik terang Presiden yang akan mengambil alih dengan mengeluarkan Perppu Terorisme, sebagai legalitas formal langkah-langkah preventif, persuasif dan represif semua pihak terkait dengan terorisme. Tentu upaya tersebut harus kita dukung sepenuhnya, karena rasa aman dan nyaman untuk tinggal dan hidup menjadi warga negara Indonesia harus kita perjuangkan bersama, hingga entah kapan waktunya ketika hanya ada rasa sesal, semua kedamaian yang kita rasakan itu, tinggal hanya puing-puing luluh lantak bangunan, dan tubuh-tubuh tak bernyawa, korban dari terorisme dengan atau tanpa yang mengatasnamakan agama.
Penulis Adalah Aktivis Perempuan, Penggila Baca, Penyuka Sastra dan Hobi Menulis. Tinggal di Indramayu
Menyukai ini:
Suka Memuat...