Penulis: Atiqurrahman
Minggu, 24 September 2017 - 21:43 WIB
Sumber Foto: antifa-nusantara.blogspot.com
Anarkisme merupakan sebuah wacana alternatif dari sekian banyak wacana yang saat ini bertebaran. Kehadirannya menjadi anti tesis terhadap wacana arus utama yang memiliki oreintasi pada penindasan, seperti kapitalisme, dovelementalisme (pembangunan), liberalisme, neoliberalisme bahkan sosialisme.
Salah satu alasan anarkisme menentang dan melawan kapitalisme, neoliberalisme dan lain sebagainya, karena wacana tersebut mengalami kebuntuan dan kegagalan dalam membangun tatanan masyarakat, semisal kapitalisme yang digagas oleh Adam Smits, memiliki doktrinasi pemikiran mengenai kebebasan individu untuk melakukan kompetisi di bidang ekonomi, mengejar akumulasi kapital (keuntungan) sebesar-besarnya serta menganjurkan adanya supremasi pasar bebas, sehingga konsekuensinya praktek penindasan menjadi sebuah keniscayaan dalam wacana kapitalisme.
Selain itu, anarkisme menentang eksistensi negara yang dominatif-sentralistik serta pemerintahan yang bersifat hirarkis, karena telah merampas kodrat manusia yang pada dasarnya adalah makhluk yang otonom dan memiliki kebebasan. Apalagi manusia mempunyai kekuatan dan kemapuan secara alamiah yang ada dalam dirinya untuk menentukan nasibnya sendiri.
Maka sederhanya, anarkisme itu lahir dari protes moral terhadap segela bentuk praktek penindasan dan ketidakadilan. Sebab dalam dinamika masyarakat sendiri sudah memperlihatkan adanya relasi konfliktual antara mereka yang ingin memerintah dan mereka yang menolak diperintah.
Sejarah Dan Pemikir Anarkisme
Wacanan anarkisme berangkat dari tradisi filsafat politik yang berkembang di Eropa pada abad 18. Kata “Anarki” berasal dari bahasa Yunani kuno yang berati “tidak adanya pimpinan/tidak adanya pemerintahan”. Atau pengertian lainnya dari anarkisme ini, yaitu menolak terhadap otoritas tersentral atau negara tunggal (Sean Sheehan, 2014).
Sedangkan Davit Weick mengartikulasikan anarkisme sebagai sebuah ekspresi pengingkaran terhadap semua kekuasaan, kedaulatan, dominasi dan divisi yang hirarkis, serta adanya kehendak untuk menghancurkannya. Maka arena perlawanan anarkisme mencakup tiga hal: yaitu arena politik (pemerintah/negara dominatif-sentalistik), ekonomi (kapitalisme) dan hirarki sosial. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Kropotkin bahwa anarkisme itu bukan hanya sebatas melawan atau menyerang kapitalisme saja, namun juga sumber-sumber kekauatan utama kapitalisme seperti hukum, kekuasaan dan negara.
Secara historisnya, anarkisme digagas oleh Pierre Joseph Proudhon (1809-1865) seorang ekonom dan filsuf Perancis yang merupakan orang pertama yang menyebut dirinya sebagai “Anarkis”, dan dianggap salah satu pemikir anarkis yang pertama. Kemudian gagasan ini mempengaruhi banyak pemikir-pemikir anarkis diantaranya Michael Bakunin dan Max Stirner. Michael Bakunin merupakan sosok sentral anarkis modern, karena tergolong sebagai anarkisme kolektif, yang mengunakan cara-cara radikal seperti pemberontakan massa dan revolusi dalam melawan segala bentuk penindasan.
Sedangkan Max Stirner termasuk seorang anarkisme individual, yang mengedepankan kebebasan indvidu, sebagaimana ucapannya yang sangat memikau yaitu “ Tak ada hakim selain diriku sendiri yang bisa memutuskan apakah aku benar atau salah”. Dan seiring berjalannya waktu, pemikir anarkis mulai bermunculan seperti Peter Kropotkin, Errico Malatesta, Alexender Berkman, Murray Bookchin, Emma Goldman dan lain sebagainya yang memperkaya khazanah keilmuan anarkisme dengan menghadirkan beragam perspektif.
Anarkisme memiliki sebuah proyeksi dan cita-cita dalam membangun tatanan masyarakat alternatif. Mengingat anarkisme adalah hasil dari proses panjang pergulatan sejarah umat manusia yang berjalan secara dinamis dan dialektis. Berbagai rentetan upaya perlawanan terhadap penindasan menjadi ciri khas tersendiri dalam wacana anarkisme.
Adapun proyeksi gagasan anarkisme mengenai masyarakat, diantaranya: pertama, masyarakat tanpa hirarkis, yaitu masyarakat yang tidak menghendaki adanya hirarki dalam kehidupan sehari-harinya, baik hirarki politik, ekonomi maupun sosial. Karena hirarki pasti menimbulkan penindasan terhadap orang lain, serta menyebabkan hubungan yang dominatif-hegemonik antar sesama masyarakat.
Kedua, membangun masyarakat federatif, yaitu masyarakat yang mandiri dan otonom dalam menentukan segala hal apapun yang diinginkankanya berdasarkan pada kesepakatan bersama yang bernafaskan kebebasan, persamaan dan solidaritas.
Ketiga, masyarakat munisipalisme liberatarian; Murray Bookchin menyebutnya sebagai masyarakat yang berupaya mencipta ulang dan mengembangkan politik demokrasi sebagai wilayah dari komunitas swa-kelola, serta segala keputusannya diambil berdasarkan pada kepentingan masyarakat yang ada diakar rumput.
Walhasil, benang merah dari wacana anarkisme ini adalah keyakinan bahwa masyarakat harus menentukan masa depannya sendiri berdasarkan kebebasan, solidaritas dan kreativitas mereka, hidup dan bekerja dibawah sistem ekonomi dan politik yang memungkinkan mereka dapat mengatur nasibnya sendiri.
“Terbinanya insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridhoi
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada