Covid-19 terus berjalan menjangkiti kehidupan manusia yang sebelumnya baik-baik saja, ia berjalan terus seakan tidak memperhatikan kegaduhan dan kesedihan manusia menghadapinya. Dampaknya juga semakin terasa di hampir seluruh unsur kehidupan, dari kesehatan fisik, ekonomi, politik, bahkan pola pikir manusia. Bagi dampak yang terakhir ini, Covid-19 banyak memberi pelajaran, memberi waktu untuk merenung, memikirkan kehidupan yang seharusnya. Ini memungkinkan sejak munculnya Covid-19 kehidupan manusia yang baik-baik saja akan menjadi lebih baik, hal ini dibuktikan oleh banyaknya renungan-renungan yang dilakukan oleh banyak orang.
Selain mematuhi aturan pemerintah, salah satu usaha manusia untuk menyelamatkan diri dari Covid-19 ini adalah berdoa kepada Tuhannya masing-masing, meminta perlindungan, karena bagi sebagian orang, ini adalah usaha yang paling manusiawi. Ada yang berseloroh “mau kabur ke mana lagi jika tidak kepada Sang Pemilik.” Bahkan NU sebagai organisasi Islam terbesar di dunia telah beberapa kali mengajak warganya untuk berdoa bersama, meminta perlindungan dan bertaubat bersama kepada Sang Pemilik.
Pemerintah menganjurkan menjaga kebersihan fisik, agamawan mengajak menyucikan batin. Para agamawan menyarankan kepada masyarakat agar lebih banyak berdoa kepada Tuhan, agamawan memberi bacaan-bacaan zikir yang menurutnya manjur memperpendek masa wabah di Indonesia. Bahkan para tokoh mistikus pun telah melakukan ritual-ritualnya demi keselamatan diri dan masyarakat luas dalam menghadapi wabah ini.
Dalam kondisi semacam ini, sila pertama Pancasila terlihat lebih jelas di masyarakat. Masyarakat memohon perlindungan kepada Tuhannya masing-masing, tidak lagi mengurus Tuhan agama lain, tidak sempat. Sungguh bagaimana pun, Indonesia adalah bangsa yang religius, hal ini tidak dapat dipungkiri, nyata. Dampak Covid-19 adalah bukti paling mutakhir yang menunjukkan tingginya religiusitas bangsa ini. Bahkan di awal masuknya Covid-19 ke Indonesia pemerintah kewalahan menghadapi egoisme-egoisme masyarakat untuk tetap menjalankan ritual keagamaannya secara berjamaah. Mereka lebih takut kepada Tuhan daripada kepada dampak Covid-19.
Sebagai pengalaman baru, egoisme-egoisme tersebut adalah hal wajar, tapi bukan berarti harus dibiarkan, mereka perlu diberi edukasi. Dan hingga saat ini banyak para ulama yang mengedukasi masyarakat luas tentang beragama yang kaffah dan tetap manusiawi. Sikap egoisme itu bukan wataknya yang selalu ingin melawan pemerintah, tapi wataknya sebagai bangsa yang memiliki religiusitas yang tinggi. Hal ini dibuktikan oleh penerimaan masyarakat untuk ibadah di rumahnya masing-masing setelah mungkin semakin memahami dampak virus itu. Pemerintah dan agamawan memang memiliki otoritas besar dalam hal ini, dan mereka telah menggunakan otoritas tersebut dengan cukup tepat.
Dengan tampaknya religiusitas yang tinggi itu mereka menunjukkan keindonesiaannya, ini yang membedakan demokrasi yang dianut oleh bangsa lain dengan demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia. Sepertinya cuma Indonesia yang menganut demokrasi yang paling khas, yakni demokrasi Pancasila dengan karakternya yang religius. Indonesia yang asri ini selain dibangun dengan keberagaman, juga diperkokoh dengan karakternya yang nasionalis sekaligus religius. Di Indonesia, spiritualisme dan nasionalisme saling berkelindan membangun peradaban kemanusiaan yang lebih bermartabat. Kedua karakter ini tidak bisa dipisahkan, usaha memisahkannya adalah tindakan mengingkari fitrah keindonesiaan.
Di samping semakin tampaknya keindonesiaan semacam itu, oknum-oknum yang mengancam keindonesiaan semakin menyusut, seperti salah satunya pengusung sistem khilafah atau negara Islam, atau mereka hanya rehat sejenak? Yang pasti saat ini semuanya fokus menghadapi pandemi ini, tidak mengambil kesempatan dalam riuhnya masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi wabah besar ini. Bahkan jika benar mereka hanya rehat, itu sudah cukup manusiawi. Meskipun mereka tidak ikut menunjukkan keindonesiaan, tapi paling tidak mereka menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan.
Gotong-royong yang sempat dicadangkan oleh Bung Besar sebagai tunggal sila untuk menggantikan jika Pancasila tidak diterima oleh para tokoh pendiri bangsa ini yang lain, tampaknya semakin jelas di masyarakat. Bangsa ini menunjukkan jati dirinya dalam menangani Covid-19, saling bahu-membahu. Bahkan di Sulawesi ada anak kecil yang rela menahan keinginannya memiliki sepeda baru dengan menyumbangkan seluruh tabungannya selama enam bulan kepada pihak pencegahan persebaran virus yang sedang viral itu. Keindonesiaan memang mengharukan, hal ini dibaca oleh Bung Besar dulu.
Di samping keindonesiaan yang ditunjukkan oleh masyarakat luas, institusi pemerintahan juga menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Berawal dari Presiden yang menginstruksikan kepada seluruh menterinya agar memangkas pengeluaran-pengeluaran biaya yang tidak mendesak untuk membantu menjaga stabilitas ekonomi masyarakat selama pandemi ini. Dan instruksi tersebut disusul oleh tindakan-tindakan nyata baik yang dilakukan langsung oleh Presiden maupun yang ditindaklanjuti oleh para menterinya. Semua kementerian saling bahu-membahu dalam menanggulangi pandemi ini. Pajak ditangguhkan, hotel disulap menjadi rumah sakit, dan masih banyak aksi nyata mereka yang lain.
Para pemimpin daerah juga menunjukkan keindonesiaan ini, sejak akhir bulan kemarin telah banyak yang meminta izin untuk menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Bahkan saat ini di Jakarta sebagai wilayah yang paling tinggi persebaran virus itu telah menerapkan pembatasan sosial berskala besar, meskipun belum begitu optimal, ini harus dimaklumi sebagai sebuah proses. Di Surabaya sampai ada dapur umum demi meningkatkan gizi makanan masyarakat, setiap hari masyarakat diberi telur rebus untuk meningkatkan imunitas tubuhnya, agar pertahanan tubuhnya lebih kuat dalam melawan virus. Bahkan wali kota Tegal telah menerapkan sistem lockdown sejak awal merebahnya Covid-19. Meskipun secara teoretis dan bercermin kepada pengalaman negara-negara lain yang sebelumnya telah pernah menerapkannya, sistem lockdown dapat memperbesar kemungkinan semakin memacu persebaran Covid-19, karena kebutuhan tubuh manusia yang berada di dalamnya juga terkurangi, imunitas tubuh semakin menurun.
Semua elemen masyarakat telah bekerja sama dalam menghadapi pandemi ini; bagi agamawan, selain mengabulkan doa-doa, Tuhan juga melihat aksi nyata hambanya dalam menghadapi wabah ini. Berdoa saja tidak cukup, tapi juga harus disertai aksi-aksi kemanusiaan yang nyata. Sangat mungkin Tuhan akan menyudahi pandemi ini bukan karena doa-doa, tapi karena usaha hambanya yang sungguh-sungguh dalam menyelamatkan diri dari wabah ini. Bagi tim medis, mereka merasa bangga karena usaha-usahanya yang paling nyata itu mendapat dukungan masyarakat luas. Bagi pemangku jabatan pemerintahan merasa dihargai oleh masyarakat, karena konsep-konsepnya yang tulus telah dijalankan. Dengan kondisi bangsa yang demikian, Indonesia semakin optimis untuk menang dalam melawan wabah ini.
Namun, di tengah hangatnya kerja sama semua kalangan masyarakat dalam melawan pandemi ini, negara dalam keadaan mendesak, DPR tidak menghiraukan. Pembahasan dalam persidangan-persidangannya lebih banyak masalah-masalah yang tidak mendesak, seolah DPR mengambil kesempatan untuk memenuhi keinginannya yang selama ini hampir selalu terhalang oleh protes yang dilakukan masyarakat luas. DPR tidak menunjukkan keindonesiaan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kondisi mendesak ini, sebagai dewan perwakilan, sesungguhnya siapa yang diwakili DPR? Dalam hal ini, posisi DPR sama dengan Covid-19, harus kita lawan.
- Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Direktur Komunitas Maos Boemi (KMB)