Pada hari ini 18 Desember tengah malam, tepatnya di tahun 1948 tentara Belanda melancarkan agresi Militer. Pagi-pagi buta lapangan terbang Maguwo di Yogya dihujani bom, kemudian disusul dengan diterjunkannya pasukan payung. Dengan cepat lapangan terbang direbut. Dimulailah penyerbuan masuk ibu kota. Aksi ini samasekali tidak diduga oleh pihak Republik. Saat penyerangan telah dipilih dengan tepat. Perdana Menteri Hatta ada di Kaliurang bersama Komisi Tiga Negara dan harus bergegas turun ke Yogya. Presiden Soekarno pada hari itu sudah siap berangkat ke Konperensi Pan-Asia di India, atas undangan Perdana Menteri Nehru. Pesawat terbang yang dikirim Nehru untuk menjemput delegasi, telah mendarat dan diparkir di antara pesawat-pesawat terbang Belanda.
Kabinet bersidang dan memutuskan untuk menyerahkan diri, berbeda dari rencana sebelumnya untuk ikut serta bersama TNI menghadapi lawan dengan perang gerilya. Hatta mengatakan kepada Nasution sebagai Kepala Staf Perang yang menyusun rencana untuk menjawab kemungkinan serangan Belanda, evakuasi dari Yogya dipandang terlalu berbahaya karena tentara Belanda sudah masuk terlalu jauh. Kabinet akhirnya memutuskan Menteri Perekonomian Sjafruddin Prawiranegara, yang berada di Sumatra, diberi kuasa untuk membentuk pemerintah darurat.
Soedirman yang sakit payah pada pagihari masih berunding dengan Soekarno, tapi ia tidak ikut bersama-sama menyerahkan diri. Soedirman menuju ke Jawa Timur dengan mobil dan di tempat-tempat yang jalannya tidak bisa dilalui kendaraan, dengan ditandu.
Soekarno dan Hatta tidak mendapat kemungkinan untuk memperdengarkan suara mereka melalui radio karena pemancar untuk itu sudah diputus. Kedua-duanya menyerukan pernyataan mereka, namun tidak pernah disiarkan, agar meneruskan perjuangan. Kemerdekaan Indonesia sudah menjadi kenyataan dan tidak bisa dihapus. Republik tidak bergantung pada pribadi-pribadi kepala negara atau para menteri.
Belanda menawan Soekarno, Hatta dan tujuh orang menteri. Juga Sjahrir, Assaat, dan pejabat tinggi lainnya menyerahkan diri. Sultan Hamengkubowono menarik diri masuk kompleks kraton, dan tidak akan mau keluar sebelum kedaulatan Republik dikembalikan. Sultan menolak setiap ajakan kerjasama dan berunding dengan Belanda, sebaliknya Belanda tidak berani menangkapnya.
Empat orang menteri yang lolos dari penangkapan di Jawa, antara lain Soekiman, juga membentuk pemerintahah darurat. Menteri Maramis yang sedang di Paris selaku delegasi Indonesia ke Dewan Keamanan juga terhindar dari penangkapan. Para pembesar militer meninggalkan Yogya. Hanya Panglima Angkatan Udara Suriadarma tertangkap oleh Belanda.
Dari arah Barat beberapa pasukan dari wilayah pendudukan Belanda memasuki Yogyakarta. Mereka tidak banyak menjumpai perlawanan. TNI menghindari pertempuran dan menghilang ke pedalaman, setelah menghancurkan jalan-jalan dan jembatan-jembatan, serta sarana-sarana penting di kota-kota dan perusahaan-perusahaan. Rencana untuk menyingkirkan TNI samasekali tidak terlaksana.
Sementara itu Tan Malaka di Kediri pada tanggal 19 Desember memutuskan bertaruh nyawa melakukan Perang Gerilya di bulan Desember yang basah di musim penghujan. Bagi Tan Malaka, Merdeka 100% adalah sebuah Revolusi Kebudayaan dengan jalan Gerpolek.
Kalau Madilog merupakan sebuah Revolusi Mental akibat cara berfikir, Merdeka 100% syarat untuk pelaksanaan Madilog. Tanpa Merdeka 100%, Revolusi Mental tidak akan tuntas.
Revolusi kemerdekaan Indonesia telah lama selesai, dan Tan Malaka tak sempat melihat penyelesaiannya itu. Kalau seandainya dia masih hidup sekarang, apakah dia dapat menganggap bahwa ide revolusinya sudah terealisir, yaitu dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan mental? Apakah “merdeka 100%” seperti yang diinginkannya sudah tercapai? Agaknya Tan Malaka akan menjawab “belum”.
Lalu, apakah Tan Malaka melihat terlaksananya “Merdeka 100%” itu? Jawaban terhadap pertanyaan ini perlu dicari pada apa yang dianggap Tan Malaka mendasar bagi terciptanya perubahan masyarakat yang menuju kepada kemerdekaan penuh itu. Sebagaimana telah diungkapkan Tan Malaka, terutama dalam karya terbaiknya Madilog, kunci dari perubahan masyarakat terletak pada cara berfikir. Cara berfikir yang mampu memerdekakan suatu masyarakat secara politis, ekonomis, sosial, budaya dan sebagainya menurut Tan Malaka ialah cara berfikir materialisme, dialektis, dan logis. Melalui cara berfikir kritis dan dinamis, orang akan menjadi intelektual-aktif yang tidak memungkinkannya menjadi dogmatis atau bermental budak. Oleh karena intelektuil-aktif orang itu akan kreatif, dan akan menghargai kebebasan berfikir. Seseorang yang bermental budak, menurut Tan Malaka, akan menjadi intelektuil pasif yang tak mungkin kreatif. Dia tak mungkin dapat menghargai betul arti kebebasan berfikir. Selama cara berfikir yang begitu tidak berubah, orang atau masyarakat itu tidak akan mampu memerdekakan dirinya 100%. Perubahan cara berfikir, atau tepatnya perubahan mental, adalah kunci atau fundamental bagi Tan Malaka. Pengertian Tan Malaka tentang kekuatan ide dalam proses perubahan masyarakat berkaitan erat. Itulah kiranya hal utama dari Tan Malaka yang antara lain dapat dibaca dalam Madilog.
Sebagaimana dapat dilihat, visi revolusi total Tan Malaka kandas di tengah jalan. Pada suatu saat, di permulaan tahun 1946, Tan Malaka menemukan momentumnya dalam Persatuan Perjuangan, muncul sebagai sesuatu yang sangat diterima bagi banyak orang, dan oleh karena itu merupakan alternatif terbaik bagi mereka. Sungguhpun begitu, visi revolusi demokrasi Sjahrir bukannya tidak mempunyai kekuatan, walaupun kekuatan itu lebih banyak terletak pada kenyataan bahwa ia yang memerintah dan berkuasa.
Pertarungan antara kedua visi itu melahirkan suatu visi baru, sebagai kompromi dari keduanya, sebagaimana tercermin dalam program Kabinet Sjahrir II. Tetapi visi baru ini masih lebih berat pada visi Sjahrir semula. Kalau kita lihat proses pertarungan kedua visi itu melalui cara berfikir dialektis Tan Malaka, maka visi Sjahrir adalah thesis, visi Tan Malaka sendiri antithesis, dan visi baru yang dilahirkan keduanya adalah synthesis.
Kalau diamati secara cermat, kelahiran synthesis itu terutama dimungkinkan oleh pengaruh peranan Sukarno dan Hatta. Tan Malaka tidak mau menerima synthesis itu, dan itu telah membawa risiko buruk baginya. Sjahrir yang menerimanya, antara lain karena tentu merasa dimenangkan, terus ikut berkuasa. Akan tetapi, melalui proses terjadinya synthesis itu dapat pula dilihat bahwa kekuatan politik Sjahrir sudah semakin merosot. Sukarno dan Hatta yang memainkan peranan penting dan menentukan dalam proses itu muncul sebagai pemenang yang sebenarnya. Mereka berdualah, sebagai dwitunggal, yang akhirnya menjadi simbol persatuan dan revolusi Indonesia. Kekuatan pengaruh kharisma mereka, terutama Sukarno, melampaui jauh Sjahrir dan Tan Malaka. Sebagaimana di ketahui, dalam suasana revolusi yang amat emosionil kharisma pemimpin memainkan peranan yang amat penting, dan sering menentukan.
Walaupun ide revolusi total Tan Malaka akhirnya mengalami kekandasan, hal itu tetap menimbulkan pertanyaan. “Bagaimanakah hasilnya kalau seandainya visi revolusinya yang menang dan diikuti?” Memang sulit pula buat menjawabnya. Visi revolusi yang barangkali mendekati Tan Malaka ialah yang dipunyai oleh Ho Chi Minh di Vietnam. Sebagaimana dapat dilihat, pelaksanaan yang konsekwen dari visi itu berhasil dengan gemilang mengalahkan dua kekuatan kapitalis-imperialis besar, Perancis dan Amerika Serikat. Semangat nasionalisme serta kepercayaan kepada kekuatan sendiri yang tinggi, sebagaimana diperlihatkan oleh rakyat Vietnam, membuktikan bahwa pada akhirnya visi revolusi total bisa dimenangkan oleh mereka yang walaupun secara materi dan persenjataan adalah lemah. Revolusi itu memang berjalan lama sekali dan telah memakan banyak korban.
Revolusi Vietnam yang panjang itu sekaligus mempunyai dua tombak, yaitu mengusir imperialisme Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politik, ekonomi, sosial dan bahkan mental. Dan itu berarti “lahirnya masyarakat Baru” yang diinginkan Tan Malaka dan sekaligus menjadi tujuan revolusinya ialah masyarakat yang merdeka dan sosialis. Masyarakat semacam itu hanya bisa lahir kalau dilandasi oleh dasar kerakyatan. Kerakyatan itulah, dalam terminologi politiknya “murbaisme”, yang menjadi tujuan akhir dari revolusi Tan Malaka.
Hal itu bisa dilihat juga pada RRC yang mencapai kemerdekaannya pada 1 Oktober 1949 dan pada hari ini sudah tampil sebagai Negara Adikuasa. Atau pada bangsa Palestina yang sampai hari ini rakyatnya masih berjuang untuk Merdeka 100%. Bangsa Belanda pada hari itu tidaklah lebih cerdik dari Israel pada hari ini yang “dibacking” Amerika Serikat. Perang adalah tragedi kemanusiaan. Bagaimanapun perang berkepanjangan mencapai kemerdekaan 100% telah merevolusi “cara berfikir” bangsa Palestina dibandingkan bangsa Arab lain. Kelak ini akan menjadi modal buat Bangsa Palestina menjadi bangsa yang maju dan modern dibandingkan bangsa-bangsa Arab lainnya.
Penulis adalah anggota Tan Malaka Institute (TMI)
Menyukai ini:
Suka Memuat...