Dalam tawanan sukarela di Tawangmangu
Berkat perlindungan Tuhan Yang Mahaesa saya terhindar dari pembunuhan oleh lawan politik saya. Di samping lawan saya di lain pihak saya rupanya mempunyai banyak kawan yang sepaham dengan pendirian saya untuk mempertahankan Indonesia Merdeka 100 persen. Sebab setelah sepuluh hari saya berdiam diri di Tasikmadu, pada suatu malam kira-kira pukul 9, saya mendapat kunjungan seorang berpakaian seragam polisi. Dia kenalan saya yang dapat dipercaya. Cepat-cepat dan secara berbisik-bisik ia menyatakan bahwa saya akan dibawa ke lain tempat yang lebih aman. Segera saya berpakaian lengkap, mohon diri dari tuan rumah dan naik di sebelah sepeda motor. Dalam suasana terang bulan sepeda motor itu bergerak dengan kecepatan luar biasa ke jurusan puncak gunung Lawu. Kami berhenti di suatu tempat yang terkenal sebagai tempat istirahat di zaman Belanda, bernama Tawangmangu, di lereng gunung Lawu.
Saya diajak masuk ke sebuah vila. Di situ sudah disediakan makanan dan minuman di meja bundar. Kawan saya mengatakan bahwa saya tidak usah khawatir, karena keamanan Tawangmangu dijaga ketat. Dia sendiri termasuk orang yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketentraman kota kecil itu.
Di vila yang bernama ‘Sole mio’ ada beberapa pelayan rumah tangga, sehingga saya dapat hidup teratur, makan pagi, siang dan sore. Tiap-tiap pagi saya bangun untuk berjalan-jalan di sekitar villa itu, menghirup hawa segar dan melihat-lihat kota Tawangmangu yang sungguh indah, dengan pemandangan luas, melihat kota Solo jauh di bawah dan ke atas lereng Gunung Lawu. Saya merasa berbahagia melihat ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa berupa alam di sekitar yang indah permai. Sungguh Mahabijaksana Allah swt yang membimbing dan melindungi saya, sehingga dapat lolos dari bahaya maut.
Sudah kira-kira satu minggu saya berada di Tawangmangu, dengan gembira saya menyaksikan kedatangan beberapa teman seperjuangan, antara lain saudara-saudara Abikusno Tjokrosuyoso, Muhammad Yamin, Iwa Kusuma Sumantri, Sukarni, bahkan Tan Malaka!
Rupanya mereka adalah tawanan Pemerintah Sjahrir-Amir Sjarifuddin, dibawa dari penjara ke Tawangmangu, tidak seperti saya yang berada dalam pengasingan sukarela.
Pertempuran rakyat melawan agresi Belanda berlangsung di mana-mana di pulau Jawa. Tempo-tempo kami di Tawangmangu dikunjungi oleh kawan-kawan sepaham politik yakni Dr. Buntaran, Mr. Budiarto, dan Mr. Sunario yang sengaja datang dari Jogyakarta. Dari mereka kami dapat banyak keterangan mengenai keadaan di Jogya dan tindakan-tindakan Pemerintah Republik menghadapi Belanda serta mengenai semangat perjuangan di kalangan pemuda-pemuda dan rakyat jelata.
Selama berada di Tawangmangu, kami sering berkumpul, bertukar pikiran dan memberi komentar atas apa yang kami dengar dari radio, baik dalam maupun luar negeri. Pendek kata, meskipun kami berada dalam pengasingan, namun lambat laun kami merasa “betah” dengan adanya banyak kawan senasib. Bahkan anggota masing-masing keluarga, seperti isteri saya beserta tiga anak, satu perempuan, Laksmi Pujiwati, berumur 10 tahun dan dua pria, Firman Laksamana berusia 8 tahun dan adiknya Rohman Yudhistira berusia 6 tahun, menyusul, datang ke Tawangmangu untuk berdiam di villa Sole Mio. Demikian pula masing-masing dari keluarga Abikusno, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan Sukarni. Tan Malaka tak beristeri. Ia kadang-kadang muncul, mengunjungi tiap-tiap keluarga kalau merasa kesepian, namun senantiasa bergairah dengan wajah yang berseri-seri serta optimis melihat keadaan dalam jangka panjang, mempunyai pandangan jauh ke depan, seolah-olah sudah memastikan apa yang akan terjadi.
Tan Malaka tinggal di sebuah rumah yang paling jauh dari villa “Sole mio”. Untuk mencapai rumahnya harus melalui lereng-lereng gunung. Saat-saat saya mengunjunginya, ia selalu sibuk di belakang meja menulis suatu karangan. Otaknya tidak henti-hentinya mengeluarkan pikiran; kesenangannya ialah menganalisa keadaan menurut hukum dialektika.
Jenderal Sudirman kadang-kadang datang di Tawangmangu untuk sekadar beristirahat dalam satu atau dua hari, di sebuah villa tidak jauh dari tempat kami. Rupanya hasrat untuk saling bertemu antara Jenderal Sudirman dan kami yang berada di Tawangmangu nampak ketika kami menyatakan keinginan kepada Komandan Penguasa yang bertanggung jawab atas keamanan wilayahnya, yang kami sebut dengan singkat Saudara “Sastro Lawu”.
Ia mengatakan kepada kami: “Kebetulan saya dapat permintaan dari Jenderal Sudirman agar saudara-saudara yang berada di Tawangmangu hendaknya dapat berkumpul di tempat kediamannya.”
Sebenarnya saya tidak merasa heran lagi akan permintaan Jenderal Sudirman tersebut, karena saya dan Iwa Kusuma Sumantri semenjak menjadi anggota badan penasehat politiknya, belum pernah diberhentikan. Sepanjang kami dan kawan-kawan duduk di badan penasehat tersebut, kami mendapat kesan bahwa Jenderal Sudirman ialah patriot yang berjuang atas dasar tujuan melaksanakan Indonesia Merdeka 100 persen. Beliau dapat menerima analisa kami mengenai situasi umum yang berubah-ubah dengan pertempuran di mana-mana antara rakyat yang bersemangat “merdeka atau mati” menghadapi agresi Belanda.
Jenderal Sudirman pada hakekatnya menerima pendapat kami itu, khusus tatkala perjanjian Linggarjati antara pemerintah kabinet Amir Sjarifuddin dengan Belanda disetujui oleh pemerintah kita itu.
Kami mengerti pula bahwa Jenderal Sudirman berada dalam keadaan sangat sulit sebagai Panglima Perang yang harus menjalankan politik berdiplomasi dari Pemerintah. Di lain pihak kami mengerti pula bahwa beliau sebagai seorang patriot memihak kepada cita-cita rakyat untuk mempertahankan kedaulatan Negara Indonesia Merdeka 100 persen.
Akibat dari pertentangan dalam hati sanubari Jenderal Sudirman, beliau lambat laun menderita penyakit tbc yang melemahkan fisiknya sehingga beliau harus dipikul dengan tandu ke medan peperangan.
Dalam pada itu kami di Tawangmangu berada dalam keadaan tenteram dan damai. Kami mengikuti siaran radio yang menyiarkan berita-berita dari luar dan dalam negeri. Rupanya Perdana Menteri Sjahrir sudah mengadakan pertukaran pikiran dengan Letnan Jenderal Van Mook di Jakarta (yang sudah diduduki oleh Belanda) mengenai langkah-langkah yang harus diambil untuk menyiapkan perundingan resmi antara kedua belah pihak untuk mencapai suatu persetujuan mengenai hubungan Belanda-Indonesia.
Kami mendengar bahwa ada usaha Pemerintah Sjahrir membantu India dengan pengiriman beras untuk rakyat India yang menderita kelaparan. Untuk itu PM Sjahrir dengan rombongan pergi ke Jawa Timur guna memeriksa persiapan kiriman beras ke India itu.
Pada kira-kira akhir bulan Juni 1946 saya berniat pergi ke Jogyakarta untuk berhubungan dengan rumah sakit di sana guna menyiapkan kelahiran anak saya yang ke-4.
Niat saya itu rupanya diketahui oleh Mr. Muhammad Yamin dan Iwa Kusuma Sumantri di Tawangmangu sehingga pada saat saya hendak berangkat ke Jogya, kedua mereka menyatakan akan ikut serta dengan kendaraan mobil yang lain. Sebenarnya, Yamin dan Iwa Kusuma Sumantri menjadi tawanan resmi Pemerintah Sjahrir, sehingga mereka tidak bebas meninggalkan tempat pengasingan Tawangmangu tanpa izin dari Penguasa Militer di Tawangmangu. Saya tidak memperbincangkan hal itu dengan saudara-saudara Yamin dan Iwa, dan saya sendiri tidak mengetahui bahwa mereka dapat izin atau tidak dari penjaga tempat pengasingan mereka di Tawangmangu.
Saya berangkat sendirian ke Jogya pada tanggal 27 Juni 1946 dan menuju ke tempat kediaman mertua saya di dalam benteng. Saya menginap di situ.
Pada malam hari tanggal 29 Juni, saya didatangi oleh seorang anggota polisi kira-kira pukul 12 malam. Dia mengatakan bahwa saya sebagai penasehat Menteri Luar Negeri Sjahrir diharap kedatangan saya di Istana Presiden. Pemerintah sedang mengadakan rapat.
Dengan tidak ragu-ragu saya naik mobil polisi yang “menjemput” saya itu untuk menghadiri rapat kabinet di Istana Presiden di Malioboro.
Alangkah kagetnya, ketika saya tidak dibawa ke Istana Presiden namun ke kantor polisi. Saya disuruh menunggu di ruangan besar. Lebih terperanjat lagi ketika tidak lama, saya melihat Sajuti Melik datang membawa koper masuk ke ruangan di tempat saya duduk
“Eh, saudara, mengapa datang ke sini membawa koper?” tanya saya. Sajuti Melik dengan senyum mengatakan: “Saya diminta datang untuk berapat, tapi melihat polisi yang menjemput saya, saya pikir pasti akan ditahan, dan karena itu tidak ragu-ragu lagi saya ambil koper dari dalam kamar tidur yang sudah terisi dengan pakaian, yang satu buat saya yang lain buat istri saya Trimurti. Kami suami isteri silih berganti ditangkap polisi Belanda. Kalau saya kembali dari penjara, tidak lama kemudian isteri saya Trimurti “dijemput” lagi. Waktu dulu itu kami suami isteri bekerja sebagai wartawan. Karena karangan kami sangat tajam mengkritik Pemerintah Belanda, kami ditangkap karena pers-delict.” Saya turut ketawa, karena memang benar apa yang diceritakan oleh Sajuti Melik. Pada tahun 1934 ketika saya menjadi advokat di Semarang, saya sudah berkenalan dengan Sajuti Melik dan isterinya Trimurti.
Tidak lama kemudian, kami berdua melihat Mr. Budiarto dan kakaknya, Dr. Buntaran, datang dengan polisi, bahkan juga selanjutnya Wiranatakusumah, bekas Bupati Bandung yang menjadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Presiden Pertama, tahun 1945. Entah alasan apa ia turut ditangkap. Masih banyak lagi yang ditangkap pada malam hari itu, antara lain juga Muhammad Saleh dari Masyumi.
Esok harinya setelah bermalam di kantor polisi, kami semua dibawa dengan “gevangenis wager” sebuah bis polisi dicat hitam ditutup rapat biasanya untuk membawa penjahat-penjahat setelah ditangkap – ke penjara Wirogunan. Di sana kami satu-persatu dijebloskan dalam sel, tertutup rapat denga kunci.
Pada kira-kira pukul 3 pagi saya dengan Mr. Muh. Yamin mendengar orang yang berteriak: “Saudara-saudara, lekas-lekas keluar dan ikuti saya.” Kami yang ditahan pada malam hari itu, meninggalkan sel-sel kami dan mengikuti Yamin ke luar penjara. Di muka penjara sudah tersedia sebuah truk yang kami naiki untuk kemudian dibawa ke arah Selatan kota Jogya, Wiyoro namanya.
Di tempat kami turun dan dipersilakan menunggu. Kemudian kami lihat hadir Jenderal Polisi Sudarsono, yang terbukti bahwa beliaulah yang memerintahkan pengurus penjara Wirogunan menyerahkan kunci sel-sel kami kepada Mr. Muh. Yamin.
Tidaklah ada kesempatan untuk tidur. Kami berbaring diatas bale-bale. Kemudian saya didekati oleh Yamin yang memberitahukan kepada saya, bahwa ia sedang menyusun suatu petisi (permohonan) kepada Presiden Sukarno untuk mengubah susunan Kabinet Sjahrir dengan orang-orang yang mempunyai pendirian anti-perundingan dengan Belanda dan melaksanakan Indonesia Merdeka 100 persen. Ditanyakan kepada saya apakah saya sanggup diusulkan kepada Presiden Sukarno agar menjabat Menteri Luar Negeri lagi?
Mendengar usul Yamin, timbul pertanyaan dalam hati saya, apakah mungkin Presiden Sukarno dapat menerima usul itu. Namun sebagai prinsip saya berkewajiban menerimanya seandainya usul Yamin itu diterima oleh Presiden Sukarno.
Pada kira-kira pukul 6.30 pagi kami dipersilakan naik ke sebuah truk yang telah siap di muka tempat penginapan kami. Jenderal Sudarsono bersama Yamin sudah berada di truk. Truk berangkat dan berjalan perlahan-lahan menuju ke suatu tempat, dekat Istana Presiden. Jenderal Sudarsono turun dari truk menyampaikan suatu pesanan kepada tuan rumah. Kemudian kami berangkat lagi, langsung menuju ke Malioboro, ke Istana Presiden.
Di depan istana, truk berhenti. Kami semua disuruh turun dan mengikuti Jenderal Sudarsono berjalan ke pekarangan istana. Dengan heran saya melihat sudah dipasang sebuah mitraliur, dengan mulutnya ke arah jalan Malioboro. Tetapi tidak ada orang di belakangnya.
Kami berjalan terus ke ruangan depan istana. Kami melihat ajudan Presiden, Pramurahardjo, yang rupanya telah mengetahui kedatangan kami. Atas pertanyaan ajudan Presiden, apa maksud membawa rombongan ke istana pagi-pagi, Jenderal Sudarsono menjawab: “Kami ingin menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan sebuah petisi.”
“Presiden sedang berpakaian,” jawab Pramurahardjo dengan mempersilakan kami duduk di ruangan tamu, sebelah kanan ruangan besar. Pada waktu itu jam menunjukkan kira-kira pukul 7.30 pagi.
Pada pukul 8, Jenderal Sudarsono dipersilakan pergi ke ruangan belakang untuk menghadap Presiden Sukarno.
Kami yang tinggal di ruangan tamu menunggu kedatangan kembali Jenderal Sudarsono, namun beliau tidak muncul lagi.
Sementara itu jam menunjukkan sudah pukul 9. Kira-kira pukul 9.30 kami melihat kesibukan di depan istana dengan kedatangan rombongan mobil, penuh dengan abu.
Kami lihat turun dari mobil Jenderal Sungkono dan alangkah kagetnya saya melihat PM Sjahrir turut turun degan beberapa orang pengikutnya, langsung pergi ke ruangan belakang dengan dikepalai oleh Jenderal Sungkono. Kiranya menemui Presiden Sukarno.
Kami belum juga mendapat panggilan dari Presiden Sukarno, sedang kami lihat bahwa Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin lewat tergesa-gesa menuju ke ruangan belakang menghadap Presiden Sukarno. Kira-kira pukul 11.30 kami dipersilakan ke luar dari kamar tamu, dengan dugaan akan dibawa menghadap Presiden Sukarno.
Namun tidak demikian halnya. Kami tidak dibawa ke ruang belakang untuk menemu Presiden Sukarno, tapi dipersilakan masuk ke lain ruangan yang tertutup, di sebelah kiri gedung istana.
Di sana kami melihat sudah banyak orang yang berada, antara lain Dr. Sukiman, Mr. Sunario dan lain-lain yang saya lupa namanya.
Dr. Sukiman dan Mr. Sunarto minta kepada penjaga ruangan untuk menyampaikan sepucuk kattebelletje, tulisan di atas kertas kecil, kepada Presiden Sukarno.
Beberapa menit kemudian kedua mereka itu dikeluarkan dari ruangan kami, entah ke mana dibawanya. Sejak saat itu, tidak lagi saya berjumpa dengan kawan-kawan saya itu.
Kami mengintip ke lar melalui jendela tertutup, ke sebuah kebun di sisi ruangan istana sebelah kiri, dan saya melihat Zulkifli Lubis mondar-mandir di kebun itu. Zulkifli Lubis ialah kepala intelligence RI membantu Mr. Amir Sjarifuddin, Menteri Pertahanan pada waktu itu.
Kami berada di ruangan itu sampai malam hari dan ditahan di sana dua hari dua malam. Kemudian kami semua dibawa ke luar menuju jalan Malioboro, untuk dijebloskan dalam kamar-kamar yang cukup besar di bekas Benteng Belanda, suatu bangunan militer yang diduduki oleh Belanda untuk mengawasi Kraton Jogyakarta, yang dihadapinya.
Di benteng itu saya menemu Chairul Saleh dan kawan-kawan yang rupanya gembira melihat saya turut ditawan. Untuk melupakan keadaan nasib malang, saya diminta memberi ceramah mengenai sejarah hukum internasional.
Penjara/Tawanan di Tretes
Pada suatu hari kami dibawa nai bis polisi ke setasiun Jogyakarta. Kereta api yang kami naiki menuju ke Jawa Timur. Saya duduk dengan Mr. Yamin, Mr. Budiarto, Dr. Buntaran, Chairul Saleh, Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan kawan-kawan lain. Hampir satu hari dari pagi sampai sore kereta api membawa kami ke Jawa Timur. Di Mojokerto kami disuruh turun dan dibawa ke kantor polisi. Waktu itu sudah maghrib. Kira-kira pukul 11 malam kami dibawa ke jurusan pegunungan. Waktu bis berhenti, terbukti kami sampai di Tretes, suatu kota peristirahatan. Di sini banyak bungalow dan villa yang pada zaman Belanda dimiliki oleh orang-orang Belanda yang kaya, seperti Direktur Bank, Menteri Pertanian dan lain-lain perusahaan yang mempunyai kantor di Surabaya.
Saya sendiri dijebloskan dalam garasi mobil di Hotel Tretes, tanpa lampu dan penuh kecoa. Kawan yang lain-lain entah ditempatkan di mana. Saya tidak merasa kecewa mengalami nasib demikian itu, karena dalam keadaan suka-duka saya biasa berpegang pada pedoman yang diberikan oleh agama Islam, yakni menyerah kepada Allah swt dengan melakukan sembahyang.
Pada waktu saya berada di garasi yang gelap gulita itu, saya bersembahyang dan berdoa: “Ya Allah, ya Tuhan kami. Berikanlah kekuatan lahir dan batin kepada kami dalam menghadapi tantangan yang Engkau berikan. Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan Engkaulah Yang Maha bijaksana. Lindungilah keluarga kami yang kami tinggalkan dan berikanlah karunia-Mu kepadanya!”
Pada esok harinya saya dipindahkan dari garasi ke suatu kamar di Hotel Tretes dengan beberapa jendela yang memberi pandangan luar biasa indahnya ke bawah dan ke puncak gunung. Hotel itu dibangun di atas gunung. Namun seindah-indahnya tempat itu, kami tidak diperbolehkan keluar dari kamar hotel oleh penjaga, sehingga terasa lagi keadaan kami sebagai tawanan politik.
Pada suatu hari saya melihat dari kamar hotel seorang yang berjalan turun dari atas ke bawah – jalannya miring karena di atas lereng gunung – orang itu agaknya pernah saya kenal. Ia memakai topi besar cara Cowboy Mexico miring di atas kepala sehingga tidak kelihatan mukanya.
Tingkah laku dan badannya mirip Bung Tomo, yang terkenal sebagai pahlawan arek Suroboyo dalam pertempuran dengan Inggris 10 Nopember 1945.
Memang benar, dialah Bung Tomo. Hal ini dapat saya ketahui beberapa tahun kemudian tatkala saya sudah bebas. Dia ceritakan kepada saya, bahwa ketika rombongan dibawa dari Mojokerto ke Tretes, dia menerima tilpon bahwa rombongan kami itu ialah “agen-agen NICA”. Dan diminta “supaya agen-agen NICA itu dihabiskan saja nyawanya.”
Namun setelah Bung Tomo mengetahui bahwa rombongan itu terdiri dari orang-orang yang ia kenal sebagai pejuang-pejuang kemerdekaan, ia tidak melaksanaka permintaan supaya kami dibunuh.
Penjara Magelang
Kami berada di penjara Magelang waktu Belanda melakukan Aksi Militer ke-I. Kekuatan militer Belanda dikerahkan jauh ke pedalaman Republik Indonesia, di Jawa dan di Sumatra.
Di penjara Magelang kami ditempatkan di ruangan penjara agak besar. Sebelah kanan saya ditempatkan Mr. Budyanto, di sebelah kiri Iwa Kusuma Sumantri. Tiap-tiap hari pukul 8 pagi semua tawanan dikeluarkan dari kamar masing-masing untuk “luchten” menurut istilah Belanda, yaitu supaya menghirup hawa segar dari pekarangan penjara yang agak luas.
Pada kesempatan itu waktu pertama kali keluar, baru saya tahu bahwa Sukarno, Abikusno, bahkan Tan Malaka turut dipenjarakan.
Direktur penjara Magelang rupanya kenalan lama Budhyarto, waktu ia pada zaman Belanda ditempatkan di Jember sebagai Direktur Penjara di sana. Pada waktu itu Mr. Budhyarto sebagai advokat sering-sering mengunjungi penjara di Jember itu untuk menemui orang yang terlibat dalam perkara kriminil. Demikianlah riwayat perkenalan antara Mr. Budyarto dengan Direktur penjara di Magelang itu.
‘
Berkat adanya Direktur penjara yang dikenal oleh Budhyarto itu, maka kami beruntung dengan diperlakukan agak baik. Makanan yang kami dapat tiga kali sehari enak dan lezat sehingga kami merasa sehat dan segar dengan hawa sejuk yang meliputi kota Magelang.
Oleh Direktur penjara itu kami diberitahu bahwa di kota Magelang berada suatu laskar rakyat yang dipimpin oleh Ir. Sukirman berhaluan komunis, anggota partai sosialis dari Mr. Amir Sjarifuddin. Bahkan katanya laskar rakyat itu menempatkan sebuah meriam dekat dinding penjara.
Pada suatu hari kami terperanjat oleh suara seperti bom meledak sampai dinding ruangan kami bergetar sedikit. Direktur penjara mengatakan kepada kami bahwa atas perintah Ir. Sakirman meriam itu dibunyikan tanpa peluru. Dia katakan bahwa Ir. Sakirman menghendaki supaya tahanan politik yang berada dalam penjara diserahkan saja kepadanya agar diadili oleh rakyat.
Sudah terang maksudnya bahwa kami harus dilenyapkan dari bumi ini, karena menentang kabinet Sjahrir-Amir Sjarifuddin. Namun Direktur penjara menolak mentah-mentah permintaan Ir. Sakirman itu.
Karena marahnya dengan tidak berhasil siasat penyerahan para tawanan politik kepadanya, maka ia perintahkan tembakan meriam itu. Seolah-olah mereka menakut-nakuti kami. Pada satu waktu tersiar kabar bahwa Belanda akan menyerbu Magelang. Direktur penjara minta supaya kami semuanya bersiap-siap untuk dipindah ke lain tempat.
Penjara Ponorogo
Dengan secara tergesa-gesa semua tawanan politik disuruh naik bis besar menuju Jogyakarta. Kira-kira pukul 7 pagi kami sudah sampai di kota Jogya dan beristirahat di kantor polisi. Pukul 9 kami berangkat lagi ke arah Timur dengan sebuah truk. Pada waktu itu kami tidak makan dan tidak minum, kebetulan memang waktu bulan Ramadhan. Pada waktu maghrib kami tiba di Ponorogo berhenti di muka rumah penjara. Kami melihat gerombalan rakyat siap dengan bambu runcing. Waktu truk berhenti, bambu runcing ditujukan ke arah kami. Pemimpin laskar rakyat itu mengatakan kepada pengikut-pengikutnya bahwa kami “agen-agen NICA”. Setelah kami turun dari truk, laskar rakyat sudah siap menyerbu kami, tapi pemimpinnya menyatakan bahwa kami dimasukkan penjara dulu untuk diperiksa satu persatu.
Kami masuk ke ruangan besar. Di situ sudah disediakan tempat untuk berbaring. Pemimpin laskar lalu menyingkir ke depan pintun. Abikusno dan saya minta air wudhu untuk sembahyang maghrib. Melihat Abikusno, pemimpin laskar itu rupanya terperanjat dan mengatakan dalam bahasa Jawa:
“Nandalem punika punapa ndara Abikusno?” (Apakah tuan itu, tuan Abikusno?) “Ya, aku Abikusno.” (Ya, memang saya Abikusno).
“Kowe sapa? “ (“Kamu siapa?”), tanya Abikusno.
“Dalem Kasim.” (“Saya Kasim”).
“Rumiyin dalem ngalosi ndara ing Kabupaten.” (“Dulu saya pernah melayani tuan di Kabupaten.”)
Kedua mereka itu rupanya saling mengenal. Lalu pemimpin laskar itu lari keluar penjara dan saya mendengar ia berkata kepada pengikut-pengikutnya dalam bahasa Jawa: “Mereka bukanlah agen-agen NICA, tetapi bapak-bapak kita sendiri.” Lalu laskar bambu runcing itu disuruh pulang.
Demikianlah peristiwa di penjara Ponorogo itu yang hampir menjadi peristiwa berdarah dengan pembunuhan kami semua.
Dengan heran tapi gembira kami pada esok harinya melihat banyak kenalan yang ke luar dari ruangan lain, di antaranya Darwis Djamin dari Tegal, komandan Angkatan Laut RI di Tegal. Saya melihat pula Hanafi dari Angkatan Polisi Republik Indonesia, dan lain-lain yang namanya saya tidak ingat lagi. Tapi puluhan orang menjadi tawanan politik pemerintah Sjahrir-Amir Sjarifuddin.
Keadaan kami di penjara Ponorogo menggembirakan karena kami merasa bersatu-padu dalam tujuan kami, yakni berjuang untuk Indonesia Merdeka 100 persen. Setiap pagi, setelah makan sarapan kami ke luar untuk bebas berolah-raga, berjalan mengelilingi ruangan yang letaknya berderet-deret sehingga kami semua berkesempatan untuk berjalan-jalan di samping bangunan-bangunan itu.
Banyak anggota Masyumi berada dalam penjara Ponorogo, sehingga kami dapat bersembahyang bersama. Di antaranya ada Muhammad Saleh, Kyai Hadji Mukti, Abikusno. Kepada Tan Malaka, yang bersama kami dipindah dari Magelang ke Ponorogo, saya sarankan agar menulis riwayat hidupnya mumpung masih ada kesempatan menulisnya, siapa tahu apa nasib kami kemudian. Kita berada dalam Revolusi, kata saya, jadi selalu menghadapi bahaya maut.
Terbukti bahwa saran saya itu diperhatikan sebab tiap-tiap pagi pukul 9, Tan Malaka duduk di belakang meja kecil di muka ruangan tawanan menulis riwayat hidupnya yang kemudian dia memberikan judul: “Dari penjara ke penjara”
Penjara Mojokerto
Di Mojokerto kami ditawan dalam asrama Mobil Brigade, di bawah pimpinan Komandan Mobrig Suyono Prawirobismo. Pada suatu hari terjadi suatu peristiwa yang tak terlupakan. Asrama Mobrig dikelilingi oleh pasukan PESINDO. Mereka minta supaya semua tawanan politik diserahkan kepada mereka. Kalau tidak, asrama Mobrig akan diserbu dan tawanan politik akan diambil secara kekerasan.
Komandan Suyono tidak kehilangan akal. Dia mengangkat tilpon, minta bala bantuan. Dalam kira-kira 15 menit, bala bantuan itu datang dan mengelilingi pasukan PESINDO dari belakangnya. Serbuan PESINDO tidak terjadi. Mereka bubar dan menyingkir. Kami terhindar dari malapetaka pembunuhan.
Penjara Madiun
Pada satu ketika kami ditawan di penjara Madiun di Jalan Wilis. Di sana kami dijaga, kecuali oleh pengurus penjara sendiri, juga rupanya oleh pasukan Angkatan Darat Siliwangi, karena kami dengar mereka berbahasa Sunda kalau bicara antara mereka.
Kami mengalami beberapa kejadian yang serba aneh. Abikusno pada satu hari memotong kayu pohon kemuning yang berada di kebun kecil di dalam rumah penjara. Dia kemudian membikin suatu tongkat kecil dari kayu pohon kemuning itu. Saya tanya: “Buat apa saudara membikin tongkat itu?” Dijawabnya dengan senyum: “Ini soal gaib.” Sambil mesem dia cerita:
“Saya dulu di Jakarta dinasehati oleh seorang beragama Budha untuk membikin tongkat dari kayu kemuning. Dia mengatakan bahwa dengan menggerakkan tongkat itu di muka seseorang, orang itu akan tunduk dan mengucapkan sesuatu yang bermanfaat bagi saya.”
Saya menyaksikan sendiri kebenaran dari apa yang diceritakan oleh Abikusno. Sebab pada satu malam pukul 3, saya mendengar suara wanita yang menyanyikan lagu Jawa seperti seorang “pesinden” mengiringi tabuhan gamelan dalam pertunjukan wayang orang.
Esok harinya terbukti bahwa semua tawanan turut mendengarnya. Siapa yang menyanyi di malam yang sunyi itu? Kami memutuskan untuk menanyakan kepada kepala penjara. Dia mengatakan bahwa memang ada seorang wanita yang sudah beberapa waktu ditawan di ruangan penjara bagian wanita, di belakang tempat kami. Kami dapat izin melihat tempat tawanan wanita itu. Waktu Abikusno melihat wanita di belakang tirai besi itu, wanita itu berpakaian compang camping seperti gelandangan dengan rambut panjang sampai ke kakinya hampir telanjang. Lalu Abikusno menggerakkan tongkat kayu kemuning di muka wanita dengan menggambarkan swastika, simbol dari kehidupan abadi. Wanita itu segera menjongkoko dan menyembah Abikusno secara adat Jawa kalau menghadapi seorang pembesar.
“Kowe sapa?” (“Engkau siapa?”) tanya Abikusno
“Dalem pesinden Kraton.” (“Saya adalah tukang menyanyi dari Kraton.”) jawab wanita itu.
Ia selanjutnya mengatakan bahwa tadi malam ada kumpulan pembesar-pembesar di suatu Kraton Jawa yang menurutu keputusan rapat harus mengirim suatu senapati dengan tentaranya ke arah Selatan untuk menghadapi musuh yang akan mengacau Negara
Kami semua mendengarkannya, sambil merenungkan apa yang diceritakan oleh wanita itu yang kami anggap sinting.
Aneh bin ajaib! Dua hari kemudian Abikusno dapat izin dari kepala penjara untuk pergi ke rumah sakit di tengah kota Madiun agar diperiksa oleh dokter karena merasa tidak sehat. Sejak ia meninggalkan penjara, ia tidak kembali lagi. Kami dengar baru lama kemudian bahwa Abikusno setelah beberapa hari berada di rumah sakit beberapa anggota laskar Hisbullah mengunjunginya dan membawanya ke arah Selatan.
Kami berada di penjara Jalan Wilis Madiun sampai bulan Agustus 1948. Pada tanggal 17 Agustus 1948, kepala penjara mengatakan bahwa seorang utusan Pemerintah menunggu kami di ruangan tamu. Alangkah kagetnya kami melihat Mr. Sartono duduk di ruangan tamu itu. Dia mengatakan bahwa berdasarkan keputusan Presiden Sukarno kami semua dibebaskan, pada hari 17 Agustus 1948. Justru hari itu hari tanggal 17 Agustus, Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-3.
Berbahagialah perasaan kami dan kami masing-masing kembali ke Jogyakarta. Pembebasan kami merupakan rahmat Tuhan Yang Mahaesa, yang mengarunia kami, agar kami terhindar dari malapetaka berdarah yang menimpa kota Madiun. Sebab satu bulan kemudian terjadi pemberontakan komunis. Dan kemudian kami mendengar bahwa penjara di Jalan Wilis diserbu untuk mengeluarkan penjahat-penjahat, namun terjadi pertempuran hebat yang mengakibatkan di ruangan-ruangan penjara mengalir darah bercecer di mana-mana.
Penulis adalah anggota Tan Malaka Institute (TMI)
Menyukai ini:
Suka Memuat...