Di lemari buku saya ada dongeng Aesop lengkap yang saya beli bertahun-tahun lalu saat bertugas keluar negeri. Salah satu kisah di dalamnya yang masih melekat erat di benak saya ingin saya bagikan saat ini karena relevan dengan tanda-tanda zaman now.
Seorang anak desa diminta menggembalakan domba bosnya di tepi hutan. Untuk membunuh rasa sepinya, dia bermain-main dengan anjingnya dan kadang-kadang meniup serulingnya. Mula-mula hal itu bisa menghiburnya. Namun, lama-lama tidak cukup untuk mengisi jiwa yang haus hiburan.
Dari cerita yang pernah dia dengar, jika dia teriak, “Serigala!” maka orang-orang desa akan datang menolongnya. Otaknya yang usil mulai bekerja. Dia berlari ke tepi desa dan dengan lantang berteriak, “Ada serigala datang!”
Orang-orang desa kaget, meletakkan apa saja yang sedang mereka kerjakan dan berlari ke arahnya. Mereka kaget, terkejut sekaligus jengkel saat melihat anak itu tertawa terbahak-bahak karena tipuannya berhasil.
Pada hari berikutnya, karena senang dengan kesuksesan tipu-menipu kemarin, dia melakukannya lagi. Sekali lagi orang kampung berlarian menghampirinya saat dia berteriak, “Ada serigala!”
Lagi-lagi mereka tertipu. Dengan bersungut-sungut mereka meninggalkan anak yang masih tidak bisa berhenti tertawa.
Pada minggu berikutnya, ketika hari menjelang malam, saat anak itu bersiap untuk pulang, tiba-tiba sekawanan serigala datang menyerbunya. Kali ini dengan wajah pucat, dia berlari sekencang-kencangnya dan berteriak selantang-lantangnya: “Serigala. Ada serigala. Serigala datang!”
Kali ini tak seorang pun muncul. Serigala itu berhasil memangsa domba-domba yang dia gembalakan. Anak itu hanya bisa menangis sendirian. Penyesalan selalu datang kemudian.
Kisah Aesop itu mengingatkan saya akan cara orang dulu berkomunikasi, terutama menyampaikan kabar kepada orang banyak. Di perumahan saya yang dulu, di gardu ronda tersedia kentongan. Di tembok ada arti penggunaannya.
Baca Juga: Hujan Emas di Negara Orang
Dipukul sekali dan diulang lagi artinya ada pembunuhan. Dipukul dua kali dan diulang ada perampokan. Dipukul tiga kali berturut-turut ada kebakaran. Empat kali bertutur-turut bencana alam. Lima kali berturutan pencurian hewan dan enam kali berturut-turut serta berulang-ulang artinya uluk-uluk (Bali = tipu).
Seorang teman bercerita, suatu kali kentongan itu dipukul dengan nada yang aneh dan urutan yang berbeda. Saat orang-orang di perumahan datang, ternyata kentongan itu dipukul oleh orang gila!
Ternyata berita bohong alias hoaks sudah ada sejak dulu dalam bentuknya yang paling primitif. Yang menarik, kalau dulu yang melakukannya orang gila atau—dalam kasus anak penggembala itu—adalah penipu untuk iseng, saat ini berita bohong justru disebarkan oleh orang pandai yang hatinya jahat sekali. Jika kentongan dipakai agar hewah, harta, rumah, bahkan nyawa bisa diselamatkan, pada zaman modern ini, yang katanya manusianya sudah berpikiran maju, ternyata mentalnya mengalami kemunduran yang luar biasa. Dekadensi moral dan degradasi etika dipandang sebagai upaya yang halal untuk memenangkan pilkada.
Nah, jika tanggal 1 April ini diusulkan sebagai Hari Penyiaran Nasional, karena pada 77 tahun yang lalu, lembaga penyiaran modern pertama milik bangsa Indonesia bernana Soloche Radio Vereeniging (SRV) berdiri di Solo. Hari itu juga diusulkan menjadi Hari Radio Nasional yang dulu diperingati setiap 11 September.
Berasal dari pemikiran itu pula Hari Pers Nasional seharusnya diambil berdasarkan tanggal pertama kali media massa cetak diterbitkan, bukan lahirnya PWI karena toh sekarang organisasi pers bukan hanya PWI.
Sebagai pekerja pers yang sekian belas tahun menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah, dan sekarang menjadi pemred majalah keluarga, saya netral saja apakah tanggal 1 April dijadikan Hari Penyiaran Nasional atau tidak.
Bukan kebetulan jika tanggal 1 April tahun ini bersamaan dengan Perayaan Paskah bagi umat Nasrani. Mengapa? Karena salah satu ikon Paskah adalah Anak Domba yang dikorbankan untuk menebus umat manusia. Jangan sampai pengorbanan tokoh-tokoh penyiaran dan pers pada zaman dulu, kita balas dengan menulis serta menyebarluaskan berita kebohongan. Bukan hanya domba gembala desa itu yang jadi korban, melainkan kita semua penduduk Indonesia. Apalagi ada yang memberi warning bahwa Indonesia bisa bubar pada tahun 2030. Jangan sampai pula ramalan yang dilandaskan dari novel Ghost Fleet: A Novel of the Next World War karya P.W. Singer dan August Cole menjadi kenyataan karena self-fulfilling prohecy. Masa ‘nyanyian’ singer (penyanyi) sumbang itu bisa menumbangkan dan mengakhiri peringatan 17 ‘August’ (Agustus) 1945. Itu sebabnya ada orang yang membuat meme dengan tulisan begini: “Indonesia adalah negara yang paling pendek umurnya. Merdeka 19:45. Bubar 20:30.”
Mari jadikan momentum usulan Hari Penyiaran Nasional 1 April ini sebagai tonggak sejarah untuk mengakhiri juga April Fools‘ Day! Jangan ada dusta di antara kita. Setuju?
Penulis Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa
Menyukai ini:
Suka Memuat...